BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ledakan
penduduk merupakan masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini,
pertumbuhan penduduk yang cepat terjadi akibat dari tingginya angka laju
pertumbuhan penduduk. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan bahwa
total populasi dunia pada tahun 2013 mencapai 7,2 milyar dan akan mencapai 9,2
milyar pada tahun 2050 (UNFPA, 2014).
Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah penduduk
terbesar di dunia. Diperkirakan setiap hari terlahir sepuluh ribu bayi, dengan
kata lain penduduk Indonesia bertambah sekitar 3,5 juta jiwa setiap tahunnya.
Laju pertumbuhan yang sangat pesat ini akan menjadi masalah bagi pembangunan
bangsa Indonesia kedepannya (BKKBN, 2012). Angka kesuburan total telah
mengalami penurunan secara global, namun di negara berkembang penurunan terjadi
sangat lambat karena masih rendahnya penggunaan kontrasepsi modern yaitu hanya
31% (Sherpa, 2012).
Pemberian
konseling Keluarga Berencana dan metode kontrasepsi selama masa pasca
persalinan dapat meningkatkan kesadaran Ibu untuk menggunakan kontrasepsi (USAID,2008). Hal ini dikarenakan pada sebagian wanita
setelah melahirkan biasanya tidak menginginkan kehamilan atau menunda kehamilan
sampai 2 tahun setelah melahirkan tetapi mereka tidak menggunakan kontrasepsi (unmet
need).
Unmet need adalah tidak terpenuhinya pemakaian
kontrasepsi pada wanita yang ingin mengakhiri atau menunda kehamilan sampai 24
bulan
(Widyastuti, 2010).
Wanita pada masa pasca persalinan mempunyai unmet
need untuk kontrasepsi, wanita pada masa ini menunjukkan keinginan untuk
tidak hamil selama 2 tahun setelah melahirkan tetapi mereka tidak menggunakan
kontrasepsi (Widyastuti, 2010). Studi mengenai penggunaan kontrasepsi pasca persalinan pada
wanita di Indonesia masih terbatas. Namun demikian, berdasarkan hasil
pemantauan BKKBN terhadap pelayanan Keluarga Berencana pasca persalinan dan
pasca-keguguran di 22 Rumah Sakit (14 provinsi) pada tahun 2008-2009, wanita
yang ber-KB setelah bersalin dan keguguran rata-rata hanya 5-10% (Ekoriano, 2012).
Adapun salah satu alat kontrasepsi yang termasuk dalam
KB pasca-partum adalah alat kontrasepsi yang dapat langsung dipasang
pada saat 10 menit setelah plasenta dilahirkan, yaitu IUD (Intra
Uterine Device). Pemasangan alat kontrasepsi ini setelah plasenta
dilahirkan dirasakan menguntungkan untuk beberapa alasan tertentu, seperti pada
masa ini wanita tersebut tidak ingin hamil dan motivasinya untuk memasang alat
kontrasepsi masih tinggi. IUD ini dapat digunakan bertahun-tahun dan ini
akan menghemat biaya apalagi jika pemasangan dapat langsung dilakukan di
fasilitas kesehatan tempat Ibu melahirkan (Grimes, 2010).
Insersi IUD post-placenta memiliki angka ekspulsi
rata-rata 13-16%, dan dapat hingga 9-12,5% jika dipasang oleh tenaga terlatih.
Angka ekspulsi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan waktu pemasangan pada
masa segera pasca-persalinan (immediate post partum), yaitu 28-37%.
Sayangnya, pemasangan IUDpost-placenta belum terlalu banyak digunakan
karena masih kurangnya sosialisasi mengenai hal ini dan masih adanya ketakutan
pada calon akseptor mengenai terjadinya komplikasi seperti perforasi uterus,
infeksi, perdarahan, dan nyeri. Padahal pemasangan pada masa ini aman, memiliki
risiko kecil untuk infeksi, sedikit perdarahan, dan angka perforasi yang
rendah. Angka kehamilan yang tidak direncanakan (unplanned pregnancy)
pada pemasangan alat kontrasepsi pada masa ini adalah 2-2,8 per 100 pemakai
selama 24 bulan pemasangan IUD Copper modern (Grimes, 2010).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa
mampu menggali dan memahami serta dapat melakukan asuhan kebidanan Kontrasepsi IUD Pasca
Plasenta pada klien
1.2.2 Tujuan Khusus
1.
Diharapkan mahasiswa mampu
melakukan pengkajian data pada klien Kontrasepsi IUD Pasca
Plasenta
2.
Diharapkan mahasiswa mampu
melakukan interpretasi data pada klien Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta
3.
Diharapkan mahasiswa mampu
mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial pada klien Kontrasepsi IUD Pasca
Plasenta
4.
Diharapkan mahasiswa mapu
mengidentifikasikan kebutuhan segera pada klien Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta
5.
Diharapkan mahasiswa mampu
menentukan rencana tindakan pada klien Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta
6.
Diharapkan mahasiswa mampu
melaksanakan rencana tindakan kepada klien Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta
7.
Diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan
evaluasi atas tindakan yang dilakukan kepada klien Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1
Konsep
Dasar Persalinan dengan Tindakan
2.1.1 Persalinan dengan tindakan
Persalinan tindakan
adalah persalinan yang tidak dapat berjalan normal secara spontan atau tidak
berjalan sendiri, oleh karena terdapat indikasi adanya penyulit. Sehingga
persalinan dilakukan dengan memberikan tindakan menggunakan alat bantu.
Persalinan tindakan dilakukan jika kelahiran spontan diduga berisiko lebih
besar pada ibu dengan anak daripada tindakannya.
Persalinan tindakan terdiri dari:
1.
Persalinan tindakan pervaginam
Apabila persyaratan
pervaginam memenuhi. Persalinan tindakan pervaginam meliputi : ekstraksi vakum
dan forsep untuk bayi yang masih hidup dan embriotomi untuk bayi yang sudah
meninggal.
2.
Persalinan tindakan perabdominam
Apabila persyaratan
persalinan pervaginam tidak memenuhi. Persalinan tindakan ini berupa seksio
sesarea.
Hal-hal yang
menyebabkan persalinan dilakukan dengan tindakan adalah adanya faktor penyulit
pada saat persalinan yang berasal dari faktor kekuatan his ibu (power), faktor bayi (Passanger),
faktor jalan lahir (Passage).
2.1.2 Persalinan Operasi Seksio Sesarea
Persalinan seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina. Persalinan ini dilakukan apabila persalinan pervaginam tidak dimungkinkan.
2.1.3 Faktor-faktor risiko yang
berpengaruh terhadap persalinan tindakan
Adapun faktor-faktor risiko yang
berpengaruh terhadap persalinan antara lain:
1.
Faktor ibu, meliputi:
a.
Umur ibu
Umur, tinggi badan dan
berat badan wanita merupakan risiko selama kehamilan. Wanita berumus 15 tahun
atau lebih muda meningkatkan risiko preeklampsia. Wanita berumur 35 tahun atau
lebih meningkat risikonya dalam masalah-masalah seperti tekanan darah tinggi,
gestasional diabetes dan komplikasi persalinan.
b.
Paritas
Jumlah anak yang pernah
dilahirkan oleh seorang wanita. Pada wanita multipara, angka kejadian
persalinan sesarea lebih sering dibandingkan dengan wanita nulipara.
c.
Jarak kehamilan atau kelahiran sebelumnya
Agudelo dan Belizan menemukan bahwa
jarak kehamilan atau kelahiran yang terlalu dekat (< 6 bulan) dan terlalu
jauh (> 5 tahun) dengan riwayat kehamilan dan persalinan yang buruk
sebelumnya, seperti seksio sesarea akan meningkatkan risiko terjadinya
komplikasi persalinan berikutnya.
Masalah atau faktor lain yang
memengaruhi persalinan adalah:
1. Potensi gawat
obstetri
a.
Ibu hamil pertama < 16 tahun
b.
Usia hamil pertama setelah kawin 4 tahun
atau lebih dan ibu hamil pertama pada usia > 35 tahun
c.
Anak terkecil usia <2 tahun
d.
Ibu hamil dengan persalinan terakhir
>10 tahun
e.
Grande multipara
f.
Ibu hamil berumur > 35 tahun
g.
Tinggi badan 145 cm atau kurang
h.
Riwayat obstetri jelek (kehamilan kedua
atau lebih, dimana kehamilan sebelumnya mengalami keguguran, lahir belum cukup
bulan, lahir mati, lahir hidup kemudian mati dalam waktu < 7 hari)
i.
Persalinan sebelumnya dengan tindakan
j.
Bekas operasi sesarea
2.
Ada gawat obstetri
a.
Penyakit pada ibu hamil.
b.
Preeklampsi
c.
Hamil kembar
d.
Hambil kembar air
e.
Janin mati dalam rahim
f.
Hamil lebih bulan
g.
Letak sungsang
h.
Letak lintang
3.
Ada gawat darurat obstetri
a.
Perdarahan sebelum bayi lahir
b.
Preeklampsi berat
Dengan mengetahui faktor tersebut,
diharapkan ibu hamil mengetahui keadaan dirinya pada kelompok yang mana, apakah
risiko rendah, tinggi atau sangat tinggi.
2.2
Konsep Dasar Kontrasepsi
2.2.1 Konsep Dasar Kontrasepsi
Pengertian Kontrasepsi adalah suatu
cara untuk menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma
tersebut (Depkes RI, 2006). Sedangkan menurut
Sarwono (2009) Kontrasepsi adalah Cara untuk mencegah terjadinya kehamilan.
2.2.2 Cara Kerja Kontrasepsi
Cara kerja dari kontrasepsi adantara
lain adalah:
1.
Mengusahakan agar tidak terjadi
ovulasi.
2.
Melumpuhkan sperma.
3.
Menghalangi pertemuan sel telur
dengan sperma
2.2.3 Macam-macam Kontrasepsi
Pada umumnya cara/metode kontrasepsi dapat dibagi
menjadi :
1.
Metode Sederhana
a.
Tanpa Alat/Obat
(1)
Senggama terputus
(2)
Pantang berkala
b.
Dengan alat/obat
(1)
Kondom
(2)
Diafragma atau cap
(3)
Cream, Yelly dan
cairan berbusa
(4)
Tablet berbusa (vagina
tablet)
2.
Metode Efektif
a.
Kontrasepsi
pil
b.
AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim) atau IUD.
c.
Kontrasepsi
suntikan
d.
Implant
3.
Metode mantap dengan cara
operasi (Kontrasepsi mantap)
a.
Pada wanita : tubektomi
b.
Pada pria : vasektomi
2.2.4 Syarat-Syarat Kontrasepsi
1.
Aman pemakaiannya
2.
Efek samping yang mengikuti
tidak ada.
3.
Lama kerjanya dapat diatur
menurut keinginan.
4.
Tidak menggangu hubungan seksual.
5.
Tidak memerlukan bantuan medik
atau kontrol yang ketat selama pemakaian.
6.
Cara penggunaanya sederhana.
7.
Harga murah dan dapat
terjangkau masyarakat luas.
8.
Dapat diterima oleh pasangan
suami-istri.
2.3
Konsep Dasar Metode Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta
2.3.1 Definisi
Alat kontrasepsi
dalam rahim (AKDR) atau
disebut juga Intra Uterine Device (IUD)
termasuk kontrasepsi mekanik karena merupakan benda asing dalam rahim yang
mempunyai mekanisme kerja lokal dengan menimbulkan reaksi benda asing,
menghalangi kapasitasi spermatozoa dan penebalan endometrium sehingga blastokis
kesulitan nidasi (Ida Ayu Manuaba, 2012).
IUD post
plasenta adalah IUD yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya
plasenta pada persalinan pervaginam (Engender Help, 2008). Menurut Saifudin
(2013), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan IUD pasca plasenta adalah IUD
yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya placenta pada persalinan
pervaginam maupun persalinan dengan Secsio Sesarea. IUD merupakan pilihan
kontrasepsi yang tepat digunakan pada masa pasca persalinan tanpa melihat
status menyusui ibu, karena tidak mempengaruhi kadar hormonal (Shulman, 2011).
Pemasangan IUD
pasca persalinan bisa dibagi menjadi 3 macam (USAID, 2008).
1.
Pemasangan post plasenta
Pemasangan IUD
dalam 10 menit setelah lahirnya plasenta pada persalinan pervaginam. Pemasangan
bisa dilakukan dengan menggunakan ringed
forceps atau secara manual. Pada saat ini serviks masih berdilatasi
sehingga memungkinkan untuk penggunaan tangan atau forsep. Penggunaan inserter
IUD interval tidak bisa digunakan pada pemasangan post plasenta, karena ukuran
inserter yang pendek sehingga tidak bisa mencapai fundus. Selain itu, karena uterus yang masih lunak
sehingga memungkinkan terjadinya perforasi lebih besar dibandingkan dengan
menggunakan ringed forceps atau secara manual.
2.
Pemasangan segera pasca persalinan
Pemasangan IUD
pada masa ini dilakukan setelah periode post plasenta sampai 48 jam pasca
persalinan. Teknik pemasangan IUD pada saat ini masih bisa dengan menggunakan ringed forsep, karena serviks masih
berdilatasi, tetapi tidak bisa dilakukan secara manual. Penggunaan inserter IUD
interval sebaiknya tidak digunakan, karena kemungkinan terjadinya perforasi
yang lebih tinggi.
3.
Pemasangan IUD transcesarian
Pemasangan pada transcesarian
dilakukan sebelum penjahitan insisi uterus. Bisa dilakukan dengan
meletakkan IUD pada fundus uteri secara manual atau dengan menggunakan alat.
Pemasangan IUD setelah 48 jam sampai 4 minggu pasca persalinan tidak dianjurkan
karena angka kejadian ekspulsi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
pemasangan segera pasca persalinan dan pemasangan IUD interval (WHO, 2010).
Pemasangan IUD berdasarkan waktu pemasangan dapat
dibagi menjadi 3
1.
Immediate
postplacental insertion (IPP) yaitu IUD dipasang dalam waktu 10 menit
setelah plasenta dilahirkan.
2.
Early
postpartum insertion (EP) yaitu IUD dipasang antara 10 menit sampai
dengan 72 jam postpartum.
3.
Interval
insertion (INT)
yaitu IUD
dipasang setelah 6 minggu postpartum.
Pemasangan IUD dalam 10 menit setelah plasenta
lahir dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a.
Dipasang dengan tangan secara langsung
Setelah plasenta
dilahirkan dan sebelum perineorafi (penjahitan luka episiotomi di perineum),
pemasang melakukan kembali toilet vulva dan mengganti sarung tangan dengan yang
baru. Pemasang memegang IUD
dengan jari telunjuk dan jari tengah kemudian dipasang secara perlahan-lahan
melalui vagina dan servik sementara itu tangan yang lain melakukan penekanan
pada abdomen bagian bawah dan mencengkeram uterus untuk memastikan IUD dipasang di tengah-tengah yaitu di
fundus uterus. Tangan pemasang dikeluarkan perlahan-lahan dari vagina. Jika IUD ikut tertarik keluar saat tangan
pemasang dikeluarkan dari vagina atau IUD belum terpasang di tempat yang seharusnya, segera
dilakukan perbaikan posisi IUD.
b.
Dipasang dengan ring forceps
Prosedur
pemasangan dengan IUD
menggunakan ring forceps hampir sama dengan pemasangan dengan menggunakan tangan
secara langsung akan tetapi IUD
diposisikan dengan menggunakan ring forceps, bukan dengan tangan.
2.3.2 Jenis
IUD yang paling
sering digunakan adalah jenis yang mengandung tembaga seperti Copper T-380A dan NOVA T. IUD jenis Copper T-380A sangat banyak tersedia. Pada program pilihan KB pasca
persalinan, jenis IUD yang paling banyak digunakan adalah IUD Copper T-380A ini paling banyak digunakan karena selain
karakteristiknya yang baik, harga IUD jenis ini juga lebih terjangkau dibanding dengan jenis IUD yang lain
(WHO, 2010). IUD tembaga mencegah
kehamilan dengan menghambat fertilisasi, melalui penghambatan transportasi
sperma dan ovum. Ini terjadi karena efek sitotoksikdan fagositik sebelum ovum
sampai di rongga uetrus. Setelah IUD dilepas, fertilisasi segera normal
kembali.
1. IUD Copper T-380A
IUD Copper T-380A adalah IUD berukuran kecil, terbuat
dari kerangka plastik yang fleksibel berbahan polyethylene, berbentuk huruf T, pada
batang dan tiap-tiap lengannya dibungkus dengan kawat tembaga halus (Cu) yang
mempunyai efek antifertilisasi (anti pembuahan) yang cukup baik. Dalam setiap
batang plastic “T” terdapat 176 mg kawat tembaga (Cu) pada bagian vertical, dan
66,5 mg tembaga pada bagian horizontal. Total luas permukaan tembaga adalah 380
mm2. Jangka waktu penggunakan IUD Copper T-380A adalah 10 tahun, dan setelah 10 tahun IUD
tersebut harus dilepascan namun dapat pula dilepascan lebih awal sesuai dengan
keinginan pasien (Saifuddin,2010).
2. NOVA T
Merupakan alat
kontrasepsi intrauterus terbuat dari bahan plastik berwarna putih, berbentuk T
termodifikasi, dengan kawat tembaga yang berwarna perak di bagian tengahnya di
sekitar lengan vertikal dan tali benang yang dapat dilepascan terhadap putaran
lengan vertikal. Alat ini terbuat dari polietilen berbalut kawat tembaga dengan
perak di bagian tengahnya. Luas permukaan tembaga sekitar 200 mm2.
Alat ini efektif hingga 5 tahun.
2.3.3 Efektivitas
Evektivitas sangat tinggi. Tiap
tahunnya 3-8 wanita mengalami kehamilan dari 1000 wanita yang menggunakan IUD
jenis Copper T 380A. Kejadian hamil yang tidak diinginkan pada pasca insersi
IUD post plasenta sebanyak 2,0-2,8 per 100 akseptor pada 24 bulan pemasangan
setelahnya. Walaupun sesuai dengan kesepakatan WHO dapat dipakai selama 10 tahun. (WHO,
2010).
2.3.4 Cara Kerja
IUD post plasenta langsung bekerja
secara efektif segera setelah pemasangan selesai. IUD bekerja dengan cara
menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopi, mempengaruhi fertilitas
sebelum ovum mencapai kavum uteri, IUD bekerja terutama mencegah sperma dan
ovum bertemu (IUD membuat sperma sulit masuk dalam alat reproduksi perempuan
dan mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi), dan memungkinkan untuk
mencegah implantasi telur dalam uterus (Saifuddin, 2013).
Selain itu, Handayani (2010)
menjelaskan mekanisme kerja alat kontrasepsi IUD yaitu sifat-sifat dari cairan uterus mengalami
perubahan-perubahan pada pemakaian AKDR yang menyebabkan blastokista tidak
dapat hidup dalam uterus, produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan sering
adanya kontraksi uterus pada pemakaian AKDR yang dapat menghalangi nidasi, AKDR yang mengeluarkan
hormon akan mengentalkan lendir serviks sehingga menghalangi pergerakan sperma
untuk dapat melewati cavum uteri, pergerakan ovum yang bertambah cepat didalam tuba fallopii, sebagai metode biasa
(yang dipasang sebelum hubungan seksual terjadi) AKDR mengubah transportasi tuba dalam rahim dan
mempengaruhi sel telur dan sperma sehingga pembuahan tidak terjadi. Sebagai
kontrasepsi darurat (dipasang setelah hubungan sexual terjadi) dalam beberapa
kasus mungkin memiliki mekanisme yang lebih mungkin adalah dengan mencegah
terjadinya implantasi atau penyerangan sel telur yang telah dibuahi ke dalam
dinding rahim.
2.3.5 Keuntungan dan Kelemahan
1. Keuntungan
Menurut Nisa (2011), IUD pasca
plasenta memiliki beberapa keuntungan, yang diantaranya adalah :
a. Langsung bisa didapatkan oleh ibu yang melahirkan
ditempat pelayanan kesehatan.
b. Efektif dan tidak berefek pada produksi ASI
c. Kesuburan dapat segera kembali setelah pelepasan.
d. Resiko terjadinya infeksi rendah yaitu dari 0,1-1,1%
e. Kejadian perforasi rendah yaitu sekitar 1 kejadian
perforasi dari jumlah populasi 1150 sampai 3800 wanita
f. Kasus perdarahan lebih sedikit dari pada IUD yang
dipasang pada saat menstruasi
2. Kelemahan AKDR pasca plasenta:
Menurut Nisa (2011) kelemahan AKDR pasca
plasenta adalah angka keberhasilannya ditentukan oleh waktu pemasangan, tenaga
kesehatan yang memasang dan tekhnik pemasangannya. Waktu yang diperlukan pada
saat pemasangan dalam 10 menit setelah keluarnya plasenta memungkinkan angka
ekspulsi lebih kecil ditambah dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang
terlatih (dokter dan bidan) serta tekhnik pemasangan sampai ke fundus dapat
meminimalisir kegagalan pemasangan.
Menurut Saifudin (2013) kekurangan IUD pasca
plasenta antara lain:
1. IUD dapat keluar dari uterus secara spontan, khususnya
selama beberapa bulan pertama pemakaian.
2. Angka ekspulsi lebih tinggi (6-10%)
3. Kemungkinan terjadi perdarahan atau spotting beberapa
hari setelah pemasangan.
4. Perdarahan menstruasi biasanya akan lebih lama dan
lebih banyak.
5. IUD tidak melindungi diri terhadap IMS termasuk virus
AIDS. Jika pasangan beresiko, maka harus menggunakan kondom.
2.3.6 Efek Samping
1. Amenorea (kehamilan)
Periksa apakah ibu sedang hamil, apabila tidak, jangan
lepascan IUD, lakukan konseling dan selidiki penyebab amenorea. Apabila hamil,
jelaskan dan sarankan untuk melepas IUD apabila benang IUD terlihat dan
kehamilan kurang dari 13 minggu. Apabila benang tidak terlihat atau kehamilan
lebih dari 13 minggu, IUD jangan dilepascan. Apabila klien hamil dan tidak
ingin melepakan IUD, jelaskan adanya resiko kemungkinan terjadinya kegagalan
kehamilan dan infeksi serta gangguan perkembangan kehamilan. Kehamilan yang
terjadi setelah pemasangan IUD post plasenta terjadi antara 2,0 -2,8 per 100
akseptor pada 24 bulan. Setelah 1 tahun, studi menyatakan angka kegagalannya
0,8% dibandingkan dengan pemasangan IUD saat menstruasi.
2. Kejang
Pastikan dan tegaskan adanya penyakit radang panggul
dan penyebab lain dari kejang kemudian tangani kejang sesuai penyebab yang
ditemukan. Apabila penyebab tidak ditemukan, dari analgesic untuk sedikit
meringankan kejang. Apabila klien mengalami kejang yang berat, lepascan IUD dan
bantu klien menentukan metode lainnya.
3. Perdarahan vagina yang hebat dan tidak teratur
Pastikan dan tegaskan adanya infeksi pelvik dan
kehamilan ekopik. Apabila tidak ada kelainan patologis, perdarahan
berkelanjutan serta perdarahan hebat, lakukan konseling dan pemantauan. Beri
ibuprofen (800mg, 3x sehari selama seminggu). Untuk mengurangi perdarahan dan
beri tablet besi ( 1 tablet setiap hari selama 1-3 bulan). Apabila klien
menghendaki, maka IUD mungkin untuk dilepascan. Apabila klien telah menggunakan
IUD lebih dari 3 bulan dan diketahui menderita Anemia (HB< 7 gr/%) anjurkan
untuk melepas IUD dan bantu pasien memilih kontrasepi lain yang sesuai.
4. Benang yang hilang (ekspulsi)
Angka kejadia ekspulsi pada IUD sekitar 2-8 perseratus
wanita pada tahun pertama setelah pemasangan. Angka Kejadian ekspulsi setelah
post partum juga tinggi, pada insersi setelah plasenta lepas, kejadian ekspulsi
lebih rendah daripada insersi yang
dilakukan setelahnya. Gejala ekspulsi antara lain: kram, pengeluaran peraginam,
spotting, atau perdarahan, dan
dispareni.
Pastikan adanya kehamilan atau tidak, tanyakan apakah
IUD terlepas. Apabila tidak hamil dan IUD tidak lepas berikan kondom. Periksa
benang IUD didalam saluran endoserviks dan kavum uteri setelah haid berikutnya.
Apabila tidak ditemukan, rujuk klien ke dokter. Lalu
lakukan pemeriksaan X ray atau pemeriksaan ultrasonografi. Apabila tidak hamil
dan IUD yang hilang tidak ditemukan, pasang IUD baru dan bantu klien menentukan
metoda kontrasepsi lainnya.
5. Adanya pengeluaran cairan dari vagina, atau dicurigai
adanya (infeksi)
Lakukan pemeriksaan IMS. Lepascan IUD apabila ditemukan
klien menderita atau sangat dicurigai menderita gonorhoe, atau infeksi
klamidia, dan lakukan pengobatan yang memadai. Bila klien mengalami PRP, obati
dan lepascan IUD setelah 48 jam. Apabila IUD dikeluarkan,berimetode lain sampai
masalah teratasi dan bantu klien menemukan metode kontrasepsi lainnya.
Prevalensi infeksi cenderung rendah yaitu sekitr 0.1%-1,1%.
6. Perforasi
Perforasi rendah yaitu sekitar 1 kejadian perforasi,
dari jumlah populasi 1.150-3800 wanita.
2.3.7 Kontraindikasi pemasangan
1.
Ruptur membrane yang lama (lebih dari 24
jam)
2.
Demam atau gejala PID
3.
Perdarahan antepartum atau post partum
yang berkelanjutan setelah bayi lahir
4.
Gangguan pembekuan darah, misal DIC yang
disebabkan oleh pre eklamsi atau eklamsi
5.
Perdarahan pervagina yang belum
diketahui sebabnya
6.
Penyakit trofoblas dalam kehamilan
(jinak atau ganas)
7.
Abnormal uterus
8.
Adanya dugaan kanker uterus (TBC pelvic)
9.
AIDS tanpa tanpa terapi anteretrioviral
(Saifuddin, 2010)
2.3.8 Faktor yang Mempengaruhi
Pemasangan IUD Pasca Plasenta
1. Umur
Umur menunjukkan pengaruh yang sukup
signifikan
terhadap penggunaan alat kontrasepsi salah satunya IUD pasca
plasenta. Semakin meningkatnya umur seseorang dan telah tercapainya jumlah anak
ideal akan mendorong pasangan untuk membatasi jumlah anak dalam keluarga, hal
ini merupakan peluang untuk menggunakan IUD pasca plasenta. Sesuai dengan hasil
penelitian yang di lakukan di India bahwa pengguna IUD Cu T 380A yang digunakan
oleh wanita berumur lebih dari 30 tahun dan wanita yang telah mencapai ukuran
keluarga yang diinginkan (Pastuti dan Siswanto, 2007).
2. Jumlah Anak
Menurut Suratun (2008) sebaiknya
keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30 tahun tidak
hamil lagi. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan kontrasepsi yang
mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan dengan risiko tinggi bagi ibu dan anak. Di
samping itu jika pasangan akseptor tidak mengharapkan untuk mempunyai anak
lagi, kontrasepsi yang paling cocok disarankan adalah IUD.
Tingkat paritas mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap penggunaan IUD. Semakin banyak jumlah anak yang telah
dilahirkan semakin tinggi keinginan responden untuk membatasi kelahiran. Pada
akhirnya hal ini akan mendorong responden untuk menggunakan IUD (Dewi,
2012).
3.Pendidikan
Menurut Pastuti dan Siswanto (2007)
menunjukkan bahwa responden yang berpendidikan tinggi secara signifikan
berpeluang lebih tinggi untuk menggunakan IUD dan implan dibandingkan dengan
responden yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan secara statistik
berpengaruh positif terhadap penggunaan metode kontrasepsi, namun berpengaruh
negatif terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Tingkat pendidikan berpengaruh
terhadap akses dan status wanita dalam meningkatkan prevalensi penggunaan
kontrasepsi.
4.Peran Suami
Peran suami yang sangat besar dalam
rumah tangga menyebabkan banyak istri yang patuh terhadap suami. Demikian
halnya dalam pemakaian alat kontrasepsi, banyak istri yang meminta izin kepada
suami bahwa dirinya menggunakan alat kontrasepsi tersebut, tetapi setelah suami
mengetahui bahwa istri menggunakan alat kontrasepsi maka sang suami
menganjurkan untuk menghentikan pemakaian tersebut (Hartanto, 2008).
2.3.9 Pemantauan
Menurut saifuddin (2010), pemantauan kondisi IUD Post
Plasenta dilakukan pada :
1. Pemantauan dapat dilakukan 4 sampai 6 minggu setelah
pemasangan IUD
2. Pemantauan kondisi IUD dapat pula dilakukan bila
terdapat keluhan (nyeri, perdarahan, demam dan sebagainya)
3. Benang IUD harus diperiksa secara rutin selama bulan
pertama penggunaan IUD terutama setelah haid.
4. Pemantauan juga harus dilakukan apabila benang IUD
tidak teraba, merasakan bagian yang keras dari IUD, IUD terlepas, keluar cairan
yang mencurigakan dari vagina, serta adanya infeksi.
Bagi ibu-ibu yang sudah menggunakan KB
IUD, maka dapat melakukan pengontrolan IUD ke dokter dan bidan dengan jadwal
sebagai berikut (Marmi, 2016):
1. Satu bulan setelah pemasangan
2. Tiga bulan setelah kontrol pertama
3.
Setiap 6 bulan berikutnya
4.
Satu
tahun sekali
5.
Bila
terlambat haid 1 minggu
6.
Bila terjadi perdarahan banyak dan tidak teratur
2.3.10 Indikasi Pencabutan IUD
Menurut Saifuddin (2013), indikasi untuk mengeluarkan
IUD adalah sebagai berikut:
1. Indikasi medis: sakit atau kram daerah pelvis
terus-menerus, perdarahan pervaginam yang abnormal atau berlebihan, PID akut,
perubahan letak IUD di dalam uterus, kehamilan (bila mudah mengerjakannya)
keganasan uterus atau cervix, menopause.
2. Atas permintaan suami-istri.
3. IUD telah kadaluarsa.
4. Akseptor bercerai atau suami meninggal.
5. Ingin hamil atau ganti cara kontrasepsi lain.
6. Keadaan/keluhan yang dirasakan, seperti:
a. Perubahan siklus. (umumnya pada 3 bulan pertama dan
akan berkurang setelah 3 bulan)
b. Sakit dan kejang selama 3-5 hari setelah pemasangan
c. Perdarahan pada waktu haid atau diantaranya yang
memungkinkan penyebab anemia
d. Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila
pemasangannya benar)
e. Haid lebih lama dan banyak
f. Perdarahan (spotting) antara menstruasi
g. Saat haid lebih sakit
h. Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan
dengan IMS memakai AKDR. Penyakit radang panggul memicu infertilitas.
2.4
Konsep Dasar Asuhan Kebidanan KB IUD Pasca Plasenta
No. Rekam Medik :
Tanggal/jam pengkajian :
Tempat pengkajian :
Oleh :
2.4.1 Pengkajian
1)
Data Subyektif
1.
Identitas
a.
Umur
Kontrasepsi IUD pasca plasenta dapat digunakan oleh
semua wanita usia reproduksi. Hal
ini sangat terkait dengan tujuan penggunaan kontrasepsi, seperti menunda
kehamilan (usia <20 tahun), mengatur/ menjarangkan kehamilan (20-35 tahun),
dan mengakhiri kehamilan/ tidak ingin hamil lagi (usia >35 tahun). Yang
bisa menggunakan kontrasepsi
IUD pasca plasnta adalah wanita usia reproduktif
(Saifuddin, 2013).
b.
Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian di Kenya tingkat pendidikan
ibu dengan pemakaian kontrasepsi modern mempunyai hubungan yang signifikan. Ibu
dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memilih menggunakan metode
kontrasepsi modern dengan efektifitas yang lebih tinggi (Copollo, 2011).
c.
Pekerjaan
Banyak penelitian menemukan bahwa
perempuan yang bekerja dan ikut berpartisipasi dalam menyumbang sumber
perekonomian keluarga cenderung lebih mengatur kesuburannya, dengan memiliki
satu anak atau bahkan tidak sama sekali, persaingan dalam karir dan pekerjaan
bahkan kebijakan dari tempat kerja membuat mereka memilih untuk tidak mempunyai
anak, sehingga mereka harus memilih kontrasepsi yang paling efektif dan
berlangsung dalam waktu yang lama (Mosha & Ruben, 2013).
2.
Keluhan
Utama
Pada data kunjungan sebagai akseptor kontrasepsi IUD
pasca plasenta menurut Saifuddin (2013) banyak didapatkan alasan yaitu misalnya nyeri
panggul dan pinggang, keputihan atau perdarahan yang banyak dari kemaluan atau
datang karena kontrol ulang atau karena yang lain.
3.
Riwayat menstruasi
Pada akseptor IUD pasca plasenta,
siklus mestruasi biasanya tidak teratur. Pengeluaran darah lebih banyak setelah pemasangan,
spotting diantara haid atau setelah bersenggama (Saifuddin,
2010).
4.
Riwayat riwayat obstetri yang lalu
Kontrasepsi jangka panjang IUD pasca
plasenta biasanya digunakan oleh ibu nulipara/ multipara, pasca melahirkan atau
pasca abortus tanpa disertai infeksi, sedang atau tidak menyusui.
5.
Riwayat kontrasepsi
Hal ini penting untuk mengetahui
penggunaan kontrasepsi apa saja yang pernah digunakan, lama pemakaian, keluhan/
efek samping/ komplikasi yang pernah dialami, serta alasan mengganti cara (bagi
klien akseptor lama yang ingin ganti cara kontrasepsi).
6.
Riwayat kesehatan ibu
Kontrasepsi IUD pasca plasenta tidak dapat digunakan
pada ibu gangguan
pembekuan darah, kanker uterus (TBC pelvic), PID, perdarahan pervaginam yang
belum diketahui penyebabnya, abnormal uterus, HIV-AIDS
(Saifuddin, 2010)
7.
Riwayat psikososial
Penggunaan kontrasepsi perlu
didiskusikan bersama suami karena berhubungan dengan fungsi kesuburan.
8.
Data fungsional kesehatan
a)
Nutrisi
Pada akseptor kontrasepsi IUD pasca plasenta memerlukan
nutrisi yang cukup karena salah satu keluhan dari akseptor IUD adalah
perdarahan berlebih setelah pemasangan
2)
Data Obyektif
1.
Pemeriksaan umum
- |
Keadaan umum |
: |
baik |
|
- |
Kesadaran |
: |
compos mentis |
|
- |
Tanda Vital |
|
|
|
|
|
TD |
: |
normalnya 100/70 – 130/80 mmHg |
|
|
N |
: |
normalnya 60 – 100 kali/menit |
|
|
S |
: |
normalnya 36 – 37ºC (jika > 38ºC menandakan
adanya infeksi) |
|
|
RR |
: |
normalnya 16 – 24 kali/menit |
2.
Pemeriksaan fisik
§ Wajah
Tidak pucat dan tidak oedema.
Konjungtiva merah muda, sklera putih. Tidak ada pernapasan cuping hidung. Bibir
lembab dan tidak pucat.
§ Genetalia
Menyingkirkan
kontraindikasi dari penggunaan IUD seperti penyakit kelamin dan kanker maupun
kista organ reproduksi
§ Ekstremitas
Tidak terdapat oedema pada ekstremitas bagian atas maupun bagian
bawah
2.4.2 Identifikasi diagnosis dan
masalah
§ Diagnosis
P.... akseptor
kontrasepsi IUD pasca
plasenta
§ Masalah
yang mungkin terjadi :
a)
Amenorhea
b)
Infeksi
c)
Perdarahan
pervagina yang banyak
d)
Benang
yang hilang
e)
Perforasi
2.4.3 Identifikasi diagnosis dan
masalah potensial
§ Diagnosa
potensial : -
§ Masalah
potensial : Infeksi dan Perforasi (Saifuddin, 2013)
2.4.4 Identifikasi kebutuhan
tindakan segera
Kolaborasi dengan dr. SpOG untuk penatalaksanaan dan
pemberian terapi untuk masalah potensial
2.4.5 Perencanaan
1.
Jelaskan hasil pemeriksaan pada
ibu
R/ Informasi yang jelas akan mengoptimalkan asuhan yang
diberikan
2.
Berikan KIE tentang penatalaksanaan
pemasangan IUD pasca
plasenta
R/ dengan pemberian KIE ibu menjadi
lebih tenang dalam menghadapi keadaannya saat ini
3.
Berikan KIE pada ibu menganai
keuntungan, kerugian, serta efek samping dari penggunaan kontrasepsi IUD pasca
plasenta
R/ dengan memberikan KIE pada ibu, maka ibu akan menjadi
lebih tenang dalam pengambilan keputusan
4.
Lakukan informed consent
R/ informed consent merupakan informasi
dan bukti persetujuan tindakan yang akan
dilakukan
5.
Anjurkan untuk kontrol 1 minggu atau
sewaktu-waktu jika ada keluhan
R/ kontrol sesering mungkin akan
memudahkan petugas untuk mengevaluasi lokasi IUD
2.4.6 Implementasi
Melakukan asuhan
sesuai kebidanan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat
2.4.7 Evaluasi
Melakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang telah
diberikan, apakah telah sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Selain itu
juga memantau kemajuan dan kesejahteraan ibu terhadap dari asuhan yang telah
diberikan.
BAB 3
TINJAUAN KASUS
PENGKAJIAN
No. RM : 38-04-xx Oleh : Rina
Septi Andriani
Tanggal : 21-02-2019 Pukul :
08.00 WIB
Tempat : Ruang Nifas F1 kamar 2 Rumkital XX
I.
Data Subjektif
1.
Identitas
Nama : Ny. ”N” Nama
suami : Tn. “Y”
Umur : 36 tahun Tahun : 38 Tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : D3 Pendidikan : SMA
Pekerjaan : - Pekerjaan : TNI
Alamat : Rumdis TNI AL
2.
Keluhan:
Tidak ada keluhan.
3.
Riwayat Menstruasi
HPHT : 21 April 2018 HPL
: 28 Januari 2019
HPL USG : 22 Februari 2019
Siklus haid teratur 28 hari, lama 7
hari, dismonorhea tidak ada, tidak mengalami keputihan, menarche usia 12 tahun.
4.
Riwayat
Obstetri yang Lalu
Kehamilan |
Persalinan |
Anak |
Nifas |
KB |
|||||||||
Suami ke |
Anak ke |
UK |
Pylt |
Penol |
Jenis |
Tem |
Pylt |
JK |
BB |
H/M |
Pylt |
ASI |
|
1 |
1 |
9 bl |
- |
Bidan |
Spt |
RS |
- |
P |
3,4 |
M (3 hr) |
asfiksia |
- |
Stk, klender |
1 |
2 |
7 bl |
- |
Bidan |
Spt |
RS |
- |
P |
1,7 |
7 th |
- |
2 th |
klender |
1 |
3 |
HAMIL INI |
5.
Riwayat
Kehamilan ini
Pertama kali melakukan pemeriksaan
kehamilan saat usia 8/9 minggu di dokter spesialis kandungan dan dilakukan USG.
Periksa kehamilan rutin setiap bulan di dokter spesialis kandungan, tidak ada
keluhan selama kehamilan, hasil pemeriksaan keseluruhan dalam batas normal.
Dijadwalkan untuk SC elektif pada usia kehamilan 38/39 minggu.
6.
Riwayat Kontrasepsi dahulu
Ibu menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan selama 1 tahun setelah melahirkan anak pertama
tetapi ganti cara karena ibu merasa tidak cocok dengan efek samping yaitu
merasa sakit kepala. Ibu ganti cara menggunakan kontrasepsi sederhana jenis
kalender dengan bantuan aplikasi HP. Setelah lahir anak kedua ibu menggunakan
kontrasepsi kalender selama hampir 7 tahun kemudian berhenti karena ingin hamil
lagi.
7.
Riwayat Penyakit Ibu
Tidak pernah atau sedang
menderita tumor, kanker, varises di tungkai atau di vulva,
TBC, maupun penyakit radang panggul, tidak sedang
menderita hipertensi,
jantung, riwayat stroke, ginjal, DM dan hepatitis.
8. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluargaada yang menderita penyakit jantung yaitu bapak, dan asma
yaitu ibu. Tidak ada yang mempunyai
penyakit hepatitis, hipertensi, ginjal, DM, epilepsy, TBC pelvik.
8
Riwayat psikososial budaya
Menikah 1 kali, lama pernikahan 11 tahun, suami mendukung kehamilan sekarang dan setuju untuk melakukan
pemasangan IUD sebagai metode kontrasepsi istri.
9
Pola Fungsional Kesehatan
-
Nutrisi : pasien
puasa sejak jam 00.00 WIB
-
Eliminasi : BAB setiap pagi, BAK ±5-6 kali/hari
-
Personal Hygiene : mengganti celana dalam setiap habis mandi,
membasuh genetalia dari depan kebelakang dan mengeringkannya sebelum
berpakaian.
-
Seksual : belum berhubungan sejak
hamil 7 bulan.
II.
Data Objektif
1.
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum :
Baik
Kesadaran :
Compos Mentis
BB :
59 kg
TB :
150 cm
TD : 120/70mmHg N
: 81 x/menit RR : 20 x/menit
S :
36,8 OC
2. Pemeriksaan
Fisik
Muka : tidak pucat, tidak odema
Mata : conjungtiva merah muda, sklera putih.
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
pembesaran
kelenjar linfe, dan tidak ada bendungan vena
jugularis
Payudara : simetris, hiperpigmentasi pada kedua
payudara,
pengeluaran ASI (+/+)
Abdomen :
Tidak ada bekas luka operasi
Leopold I
: TFU pertengahan pusat dan prosesus
xifoideus, pada bagian fundus teraba bulat lunak, dan tidak
melenting
Leopold II :
bagian kanan perut ibu teraba keras dan
memanjang seperti papan, bagian kiri perut ibu teraba
bagian-bagian kecil janin.
Leopold III : teraba bulat, keras, dan masih sudah tidak bisa
digoyangkan
Leopold IV : 4/5
TFU McDonald : 30 cm
DJJ : (+) 148 x/menit teratur (puka)
Anogenital : rambut
pubis sudah dicukur, tidak ada pengeluaran lendir, darah, maupun air-air
Ekstremitas : tidak ada oedema dan varices,
terpasang infus RL di
tangan kiri
3.
DATA REKAM MEDIK
-
Tanggal 20 Februari 2019 (klinik hamil
Rumkital XX)
Ibu direncanakan masuk
ruangan F1 untuk opname dan pro SC ai ROJ dan usia >35 tahun + insersi IUD,
dilakukan Informed consent untuk
pemasangan IUD pasca plasenta.
-
Tanggal 20 Februari 2019 jam 13.20 WIB
(Transfer poli hamil ke ruang F1 Rumkital XX)
Ibu di observasi TTV dan DJJ, bidan
di ruangan melapor OK dan operator untuk jadwal operasi, jadwal tgl 21-02-2019
jam 09.00 WIB. Ibu mendapat terapi antibiotik profilaksis cefazolin dan
disiapkan WB 1 bag untuk operasi. Jam 22.00 WIB dilakukan pencukuran pubis dan
pasien dianjurkan puasa mulai pukul 00.00 WIB untuk persiapan operasi besok. Tanggal
21-02-2019 jam 05.00 WIB pasien personal hygiene dan dilakukan pemasangan infus
RL di tangan kiri
III.
Analisis
G3P1101 39/40
minggu THIU letkep, pro SC elektif ai ROJ dan usia > 35 tahun + insersi IUD
IV.
Penatalaksanaan
Waktu |
Penatalaksanaan |
Ket. |
21/02/19 08.15 |
Transfer F1 ke ruang Primed menggunakan brankar S : merasa cemas O : kesadaran : CM, GCS : E 4, V 5, M 6 KU
: baik TD : 120/70 mmHg RR : 19 x/menit N
: 88x/menit S : 36,5 oC DJJ : 142 x/menit SpO2
: 98% Terpasang infus cairan RL 20 tpm di
tangan kiri. A : G3P1101 39 minggu THIU
letkep, pro SC ai ROJ dan usia > 35 tahun + pro insersi IUD P : - Identifikasi pasien - Konsultasi
dr Sp.OG - Observasi
TTV dan DJJ |
Bidan F1 dengan bidan Primed, Rina |
08.45 |
Sign In Transfer Primed ke ruang OK no 11 menggunakan brankar S : tidak ada keluhan O : kesadaran : CM, GCS : E 4, V 5, M 6 KU
: cukup TD :
120/70 mmHg RR : 19
x/menit N
: 88 x/menit
S : 36,5 oC
Terpasang infus cairan RL 20 tpm di tangan kiri. A : G3P1101 39 minggu THIU
letkep, pro SC ai ROJ dan usia > 35 tahun + pro insersi IUD P : - Identifikasi pasien Memberikan dukungan mental - Konsultasi
dr. Spesialis - Persiapan
seluruh data dan alat operasi untuk pasien Ny. N diantaranya informed consent
untuk anestesi, tindakan SC, serta pemasangan IUD. - Persiapan
pasien, diantaranya memastikan pasien sudah berpuasa, tidak menggunakan
perhiasan, gigi palsu, cat kuku, pewarna bibir, dan lain sebagainya. |
Bidan Primed dengan Perawat Anastesi dan Bidan, Rina |
09.00 |
Dilakukan anestesi oleh dr. Sp.An dan perawat anestesi
dengan jenis anestesi Sub Aragnoid Blok pada spinal. |
Dokter dan Perawat
Anestesi |
09.20 |
Dilakukan pemasangan kateter |
Bidan OK |
09.30 09.37 09.50 09.55 10.00 10.05 |
Time Out Dipimpin oleh dr. Sp.OG Dilakukan insisi Dilakukan operasi Sesarea bayi lahir SC, JK perempuan, AS 8-9, BB: 3300 gram, PB:
49 cm, menangis kuat Dilakukan pengeluaran plasenta secara manual lengkap
dengan tarikan ringan Dilakukan insersi IUD NOVA T Dilakukan penjahitan |
Dokter Sp.OG dan tim Operasi, Rina |
10.30 |
Sign Out Operasi selesai Tidak ditemukan komplikasi dan perdarahan |
Tim Operasi, Rina |
10.40 |
Transfer pasien dari OK ke Recovery Room S : pasien masih dalam reaksi anestesi. O : kesadaran : CM, KU : cukup TD :
118/70 mmHg N : 91 x/menit SpO2
: 99% TFU 2
jari dibawah pusat, kontraksi uterus keras Luka
bekas operasi tertutup dengan kassa, tidak ada
pengeluaran cairan
Perdarahan pervaginam minimal ± 10 cc Terpasang
kateter dan infus di tangan kiri A : P2102 post SC ai ROJ dan usia
>35 tahun + akseptor baru kontrasepsi IUD P : - Identifikasi pasien - Konsultasi
dr. Spesialis - Observasi
TTV dan luka - Terapi
parenteral : cefazolin 2 gr IV jam
09.00 WIB ondansetron 8 mg (2
ampul) IV jam 09.00 WIB penitoin 2 ampul drip
jam 09.30 WIB ketorolac 30 mg IV
jam 10.00 WIB tomit 1 ampul IV jam
10.00 WIB |
Perawat OK dan Perawat RR |
CATATAN
PERKEMBANGAN
Tanggal 21 Februari 2019 jam 15.00 WIB
(Transfer dari Recovery Room ke Ruang
F1 Rumkital XX)
S : nyeri luka jahitan
O : kesadaran : CM, KU
: baik
TD : 100/60 mmHg N
: 92 x/menit SpO2 : 99%
RR : 16 x/menit S : 36 OC
TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi
uterus keras
Luka bekas operasi tertutup dengan
kassa, tidak ada pengeluaran cairan
Perdarahan pervaginam minimal ± 10 cc
Terpasang kateter dan infus di tangan
kiri
A : P2102 post SC + akseptor
kontrasepsi IUD pasca plasenta
P : - Identifikasi pasien
- Pasien
rawat bagung dengan bayinya
- Observasi
TTV dan luka
- Mengajarkan
teknik relaksasi
- Terapi
parenteral : cefazolin 2 gr, ondansetron 8 mg, penitoin 2 ampul, ketorolac 30
mg, tomit 1 ampul
- Konsultasi
dr. Spesialis
- Timbang
terima untuk terapi yang masi dilanjutkan : antibiotik dihentikan, 4-6 jam post
operasi anjurkan pasien makan sedikit-sedikit, ketorolac 3x30 mg, diet Nasi
Biasa estimasi 10.108 kal.
- Tidak
boleh bangun dan duduk sampai jam 21.00 WIB
- Tanggal
22 Februari jam 05.00 WIB lapor dr. Sp.OG
Tanggal 22 Februari 2019 jam 07.00 WIB
(Ruang F1 Rumkital XX)
S : nyeri luka operasi
O : kesadaran : CM, KU : baik
TD : 100/60 mmHg N
: 84 x/menit SpO2 : 99%
RR : 20 x/menit S :
36,5 OC
Skala nyeri 2
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi
uterus baik
Luka bekas operasi tertutup dengan
kassa, tidak ada pengeluaran cairan, Perdarahan pervaginam minimal ± 5 cc
Terpasang kateter dan infus di tangan
kiri
A : P2102 post SC + akseptor
kontrasepsi IUD pasca plasenta hari ke 1
P : - Menganjurkan untuk mobilisasi
bertahap
- Konsultasi
dr. Spesialis, dengan hasil :
Anjurkan pasien untuk
makan sedikit-sedikit dengan diet nasi biasa
Terapi : meloxicam 1 x
15 mg
Aff infus dan kateter
Bila tidak ada keluhan,
pro KRS besok (tanggal 23-02-2019) dan kontrol 1 minggu kemudian tanggal 1
maret 2019
- Observasi
TTV dan luka
- Menganjurkan
ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif
Tanggal 23 Februari 2019 jam 07.00 WIB
(Ruang F1 Rumkital XX)
S : tidak ada keluhan
O : kesadaran : CM, KU : baik
TD : 100/60 mmHg N
: 81 x/menit SpO2 : 99%
RR : 23 x/menit S :
36,6 OC
Abdomen : TFU 2 jari bawah pusat,
kontraksi baik
Luka bekas operasi tertutup dengan
kassa, tidak ada pengeluaran cairan, dan sudah dilakukan rawat luka jam 6.30
WIB
Vulva vagina : Lokea sedikit, rubra
A : P2102 post SC + akseptor
kontrasepsi IUD pasca plasenta hari ke 2
P : - observasi TTV dan luka
- Konsultasi
dr. Spesialis, dengan hasil :
Diet bebas
Terapi : meloxicam 1 x
1
pro KRS dan jadwalkan
kontrol 1 minggu kemudian tanggal 1 maret 2019
- Memberikan
KIE tentang :
1.
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya
sesering mungkin
2.
Menjelaskan tentang perawatan bayi
sehari-hari termasuk perawatan tali pusat
3.
Mengonsumsi makanan gizi seimbang untuk
mendukung penyembuhan luka
4.
Personal hygiene terkait untuk menjaga
sekitar luka jahitan tetap kering dan bersih, serta kebersihan alat genitalia
5.
Menjelaskan kepada ibu bahwa IUD tidak
memengaruhi aktivitas seksual dan tidak memengaruhi produksi ASI, menjelaskan
efek samping dari IUD yaitu menstruasi akan menjadi banyak daripada biasanya
namun masih dalam batas normal, IUD sudah bisa langsung digunakan setelah
dipasang selagi ibu sudah siap untuk melakukan hubungan seksual, serta masa
aktif IUD NOVA T adalah 5 tahun sehingga pada februari 2024 ibu harus mengganti
IUDnya karena habis masa aktif.
6.
Mengingatkan untuk kontrol jahitan dan
IUD pada tanggal 1 Maret 2019 di klinik KB rumkital Dr. Ramelan atau segera
bila ada keluhan maupun bila terjadi pengeluaran IUD, serta melakukan
pemeriksaan USG pada saat 1 bulan setelah pemasangan IUD untuk mengecek posisi
IUD.
BAB 4
PEMBAHASAN
Berdasarkan data rekam medik, Ny. N
datang ke poli hamil saat usia kehamilan 39/40 minggu untuk operasi sesar
elektif atas indikasi riwayat obstetri jelek dan usia lebih dari 35 tahun dan
direncanakan untuk dilakukan pemasangan IUD paska plasenta. Ny. N dijadwalkan
untuk operasi sesar pada hari kamis tanggal 21 Februari 2019. Berdasarkan
teori, persalinan dengan tindakan berupa seksio sesarea merupakan persalinan
yang dilakukan jika terdapat indikasi adanya penyulit. Faktor penyulit bisa
berasal dari his ibu, faktor bayi, maupun faktor jalan lahir. Berdasarkan teori
Saifuddin (2013) faktor yang memengaruhi terhadap persalinan antara lain umur
ibu yaitu umur 35 tahun atau lebih dapat meningkatkan risiko dan komplikasi
persalinan, paritas yaitu pada multipara angka kejadian sesar lebih tinggi,
jarak kehamilan > 5 tahun dengan riwayat persalinan yang buruk sebelumnya,
riwayat obstetri jelek yaitu melahirkan anak hidup kemudian mati dalam waktu
< 7 hari. Pada kasus ini didapatkan indikasi yaitu riwayat obstetri Ny, N
yang jelek serta usia Ny. N sudah lebih dari 35 tahun. Ny N sudah pernah hamil
3 kali, saat melahirkan anak pertama, anaknya mengalami asfiksia dan meninggal
saat usia 3 hari. Selain itu Ny. N melahirkan anak kedua dengan usia kehamilan 7
bulan dengan BBL 1700 gram. Oleh karena hal tersebut maka Ny. N direncanakan
oleh dokter Sp.OG untuk melahirkan secara sesar.
Berdasarkan pengkajian, Ny. N
berencana untuk tidak hamil lagi karena merasa sudah tua dan sudah cukup
mempunyai anak dua. Namun usia Ny. N masih termasuk dalam rentang usia reproduktif dan kemungkinan hamil lagi masih ada. Umur
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan IUD. Semakin
meningkatnya umur seseorang dan telah tercapainya jumlah anak ideal akan
mendorong pasangan untuk membatasi kelahiran, hal ini meningkatkan peluang
responden untuk menggunakan IUD menurut Prastuti dan Siswanti (2007). Didukung juga oleh hasil penelitian di India
bahwa penggunaan IUD lebih dipilih oleh wanita berumur 30 tahun dan yang telah
mencapai ukuran keluarga yang diinginkan. Sehingga Ny. N beserta suaminya
memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi jangka panjang. Saat dilakukan KIE
mengenai kontrasepsi, metode jangka panjang yang dipilih oleh suami dan istri
adalah kontrasepsi IUD.
Riwayat kontrasepsi Ny. N pernah
menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan selama setahun tetapi mendapat efek
samping pusing. Efek samping ini sangat mengganggu sehingga Ny. N memutuskan
untuk menggunakan metode non hormonal yaitu metode kalender selama hampir 7
tahun karena siklus menstruasi Ny. N adalah teratur 28 hari. Namun jika Ny. N
menggunakan metode kalender kembali, angka kegagalannya akan tinggi dan jika
terjadi kehamilan maka kehamilannya merupakan kehamilan risiko sangat tinggi. Sehingga
sangat cocok jika Ny. N memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi IUD karena
angka kegagalannya yang relatif rendah dan efektivitasnya tinggi.
Sebelum dilakukan
tindakan pemasangan IUD, dilakukan
informed consent terhadap Ny. N dan suaminya karena salah satu syarat
kontrasepsi adalah dapat diterima oleh pasangan baik suami maupun istri. Terdapat
3 jenis waktu pemasangan IUD menurut teori yaitu dalam waktu 10 menit setelah
plasenta dilahirkan, dipasang antara 10 menit sampai 72 jam postpartum, dan
insersi interval yaitu setelah 6 minggu melahirkan. Jenis pemasangan
kontrasepsi yang dilakukan pada Ny. N adalah metode kontrasepsi IUD paska
plasenta. Menurut Engender Help (2008) dan Saifuddin (2013) IUD paska plasenta
atau Immediate Postplacental Insertion
(IPP) merupakan IUD yang dipasang dalam waktu 10 menit setelah lepasnya
plasenta pada persalinan pervaginam maupun persalinan dengan seksio saesarea.
Selain itu WHO (2010) menyatakan bahwa pemasangan IUD pada transcaesarian
dilakukan sebelum dilakukan penjahitan insisi uterus, bisa dilakukan dengan
meletakkan IUD pada fundus uteri secara manual atau dengan menggunakan alat. Pada
kasus Ny. N, pengeluaran plasenta terjadi pada pukul 9.55 WIB dan pemasangan
IUD dilakukan pukul 10.00 WIB. Terdapat selisih waktu 5 menit antara
pengeluaran plasenta dengan insersi IUD dan pemasangan IUD dilakukan secara
manual, sehingga tatalaksana ini sesuai dengan teori yang ada. Saifuddin (2013)
juga mengatakan bahwa pemasangan dalam 10 menit setelah keluar plasenta, angka
ekspulsinya lebih kecil.
Pada pemeriksaan
riwayat kesehatan, Ny. N tidak termasuk kedalam kontra indikasi
penggunaan IUD paska plasenta. Menurut
Saifuddin (2013) yang tidak boleh menggunakan metode IUD paska plasenta yaitu memiliki gejala PID, perdarahan antepartum
atau post partum yang berkelanjutan, gangguan pembekuan darah, perdarahan
pervaginam yang belum diketahui penyebabnya, penyakit trofoblas, abnormal
uterus, kanker uterus (TBC perlic), dan AIDS. Sehingga Ny. N dapat menggunakan metode tersebut dan dipasang oleh dokter
spesialis yang terlatih.
Ny. N berencana
memberikan ASI eksklusif untuk anaknya. Sehingga penggunaan kontrasepsi IUD
sesuai dengan kebutuhan karena tidak mengganggu produksi ASI, hal ini juga
sudah dijelaskna kepada Ny. N saat tatalaksana KIE. Jenis IUD yang dipilih oleh
Ny N adalah jenis yang mengandung tembaga yaitu NOVA T. Jenis IUD yang
mengandung tembaga memang banyak beredar penggunaannya di Indonesia. NOVA T
memiliki masa kerja selama 5 tahun setelah dipasang. Sehingga pada tatalaksana
KIE sudah sesuai teori untuk penjelasan terkait masa kerja dari IUD jenis NOVA
T. Selain itu Ny. N masih dalam masa nifas, sehingga KIE yang diberikan adalah
kontrasepsi ini bisa langsung digunakan selagi Ny. N sudah siap untuk melakukan
hubungan dengan suami karena menurut saifuddin (2013) mengatakan bahwa IUD
paska plasenta bisa langsung bekerja secara efektif segera setelah pemasangan
selesai karena cara kerjanya adalah menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke
tuba falopii, mempengaruhi fertilitas sebelum ovum mencapai kavum uteri, dan
memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.
Dalam catatan
perkembangan Ny. N mengaku masih mengalami nyeri luka jahitan, tetapi hal ini
sudah ditangani dengan pemberian ketorolac dan saat dipulangkan Ny. N mendapat
terapi oral piroxicam yang dikonsumsi 1 hari 1 kali. Ny. N dijadwalkan untuk
kontrol ulang 1 minggu kemudian di klinik KB Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, hal
ini bertujuan untuk memantau kesehatan masa nifas Ny. N, perawatan luka bekas
sayatan sesar, dan pemantauan IUD apakah mengalami ekspulsi atau tidak, serta
terdapat keluhan yang dirasakan atau tidak. Ny. N juga diberikan KIE untuk kebersihan alat
genetalia serta nutrisi makanan. Karena paska IUD
terkadang masih sering terjadinya pengeluaran darah sehingga asupan makanan
harus adekuat agar ibu tidak mengalami anemia.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Menurut Saifudin (2013), menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan IUD pasca plasenta adalah IUD yang dipasang dalam waktu 10
menit setelah lepasnya placenta pada persalinan pervaginam maupun persalinan
dengan Secsio Sesarea.
IUD Pasca Plasenta yang dilakukan Ny. N sesuai dengan teori yaitu
ibu telah melahirkan 3 orang anak,
jumlah ideal yang telah tercapai untuk penggunaan IUD pasca plasenta. Keluarga
yang telah memiliki dua orang anak dan umur istri lebih dari 30 tahun serta
tidak ingin hamil lagi, kondisi keluarga seperti ini dapat memilih menggunakan metode
kontrasepsi yang memiliki efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan hal
ini dapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan risiko tinggi bagi ibu dan
anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak mengharapkan untuk mempunyai
anak lagi, kontrasepsi yang paling cocok disarankan adalah IUD paska plasenta.
Kondisi kesehatan ibu pun tidak
termasuk kategori kontraindikasi pengguna IUD paska plasenta. Sehingga pemilihan metode ini tergolong
tepat digunakan oleh Ny. N.
5.2 Saran
Saran untuk klien, untuk merencanakan
menggunakan kontrasepsi steril karena usia ibu yang sudah 36 tahun dan telah melahirkan 3 anak sehingga
disarankan untuk mengakhiri kehamilannya. Ibu memiliki keinginan untuk tidak
menambah anak lagi dan dirasa jumlah anak untuk keluarganya sudah cukup.
Keadaan ini juga didasari pada kondisi medis yang apabila terlalu lama terpapar
dengan kontrasepsi yang sama akan menyebabkan gangguan dalam tubuh. Sehingga
pemilihan metode lain diperlukan setelah metode kontrasepsi yang digunakan saat
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
BKKBN, 2003.Kamus Istilah Kependudukan, KB dan Keluarga Sejahtera.
Jakarta : BKKBN
BKKBN, 2003.Umpan Balik Laporan Pencapaian Program KB Nasional
Propinsi Jawa Timur.Surabaya : BKKBN
BKKBN, 2010.Profil hasil pendataan keluarga Tahun 2010.Jakarta :
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
Febriana, Indah, 2013. Asuhan Kebidanan Pada Akseptor KB IUD Dengan
Erosi Portio.Surakarta : Stikes Kusuma Husada
Ferri, A. G, 2007. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur Dasar.
Jakarta : EGC
Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana.
Yogyakarta: Pustaka Rihama
Hartanto, Hanafi. 2004. KB dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan Dan KB Untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC
Saifuddin, Abdul Bari, 2009. Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin, Abdul Bari. 2013. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohadjo
Sulaiman, 2004.Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta : Salemba Medika
WHO. 2007. Ragam metode kontrasepsi. Jakarta : Terjemahan, EGC
Winkjosastro, Hanifa, 2009. Ilmu Kandungan.Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Komentar
Posting Komentar