Langsung ke konten utama

LAPORAN KOMPREHENSIF ASUHAN KEBIDANAN PADA MOLA HIDATIDOSA + KISTA OVARIUM + SUSP. HEMATOCELE DENGAN PRO KURETASE + PRO MOW + PRO KISTEKTOMI

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1         Latar belakang

Upaya kesehatan reproduksi salah satunya adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu hamil dan bersalin. Adapun penyebab langsung dari kematian ibu di Indonesia adalah trias klasik yaitu perdarahan, infeksi, toksemia gravidarum.Perdarahan sebanyak 30% dari total kasus kematian, eklamsi (keracunan kehamilan) 25%, infeksi 12%. Salah satu dari ketiga ketiga faktor tersebut adalah perdarahan, perdarahan dapat terjadi pada saat kehamilan, persalinan dan masa nifas. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan, bisa terjadi pada awal kehamilan maupun kehamilan lanjut, dengan besar angka kejadiannya 3% pada kehamilan lanjut dan 5% pada awal kehamilan. Perdarahan yang terjadi pada awal kehamilan meliputi abortus, mola hidatidosa dan kehamilan ektopik. Pada kehamilan lanjut antara lain meliputi Solutio Plasenta dan Plasenta Previa. Dari kasus perdarahan diatas ternyata didapatkan besar kasus paling tinggi adalah perdarahan pada awal kehamilan yang dari salah satu perdarahan awal kehamilan tersebut terdapat kehamilan molahidatidosa. 

Molahidatidosa adalah tumor jinak dari trofoblast dan merupakan kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan edematous, janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus menerus, sehingga gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. Penyebab pasti terjadinya kehamilan Mola hidatidosa belum diketahui pasti, namun ada beberapa faktor yang memengaruhinya yaitu faktor ovum, imunoselektif trofoblast, usia, keadaan sosio-ekonomi yang rendah, paritas tinggi, defisiensi protein, infeksi virus dan faktor kromosom yang jelas, dan riwayat kehamilan mola sebelumnya. Jenis pada molahidatidosa yaitu Molahidatidosa Komplet (MHK) dan Molahidatidosa Parsial (MHP). Angka kematian yang diakibatkan oleh kehamilan Molahidatidosa berkisar antara 2,2% - 5,7%. 

Penatalaksanaan pada Molahidatidosa ada tiga tahap yaitu perbaikan keadaan umum ibu, pengeluaran jaringan mola dengan cara Kuretase atau Histerektomi, dan pemeriksaan tindak lanjut yaitu follow up selama 12 bulan, dengan mengukur kadar β-HCG dan mencegah kehamilan selama 1 tahun. Tindak lanjut serta penatalaksanaan saat ini berpusat pada pengukuran serial kadar β-HCG serum untuk mendeteksi Tumor Trofoblast Persisten. 

Penyakit ini, baik dalam bentuk jinak atau ganas, banyak ditemukan di Negara Asia, sedangkan di Negara bagian Barat lebih jarang. Angka di Indonesia umumnya berupa angka Rumah Sakit yaitu RSCM, untuk Mola Hidatidosa berkisar 1:50 sampai 1:141 kehamilan. Angka ini jauh lebih tinggi disbanding Negara-negara barat dimana insidennya berkisar 1:1000 sampai 1:2500 kehamilan untuk kejadian Molahidatidosa. 

Hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 orang, meningkat pesat jika dibandingkan dengan tahun 1990 dan tahun 2000. Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang terus menerus apabila tidak dikendalikan akan membawa dampak yang kurang baik, diantaranya menjadi beban pembangunan, termasuk pembangunan di bidang kesehatan (Kemenkes RI, 2011).

Indikator penting dalam program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) adalah prevalensi KB dan angka fertilitas. Jumlah akseptor KB di Indonesia tahun 2013 adalah 65,4%. Terkait dengan pengaruh prevalensi KB terhadap penurunan fertilitas, komposisi pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) memegang peranan penting dalam membantu menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun demikian, beberapa hasil penelitian kesertaan KB di Indonesia belum mencapai target. Berbagai faktor berpengaruh terhadap rendahnya pemakaian MKJP, seperti pengguna pelayanan KB yang cenderung lebih memilih metode non MKJP serta aspek ketersediaan tenaga medis terlatih untuk memberikan pelayanan MKJP belum merata antar wilayah, serta peralatan penunjang pelayanan juga belum mencukupi di setiap klinik KB (BKKBN, 2013).

Keluarga berencana menurut WHO (World Health Organisation) Expert Committee 1970 adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Tujuan utama program KB nasional adalah untuk memenuhi perintah masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat atau angka kematian Ibu, bayi dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil berkualitas (Anggraini, 2011).

Kontrasepsi adalah cara untuk menghindari/ mencegah terjadinya kehamilan akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma sehingga dapat mencegah terjadinya kehamilan. Konsep mengenai kontrasepsi pasca persalinan bukanlah hal yang baru, akan tetapi tidak banyak perhatian yang diberikan pada masa yang penting dari kehidupan wanita ini. Pada saat sekarang ini perhatian dari pengelola program kesehatan, penyedia jasa pelayanan kesehatan dan pembuat kebijakan semakin meningkat, karena menyadari akan tingginya efektivitas dan keberhasilan program keluarga berencana jika pengenalan kontrasepsi dilakukan pada saat pasca persalinan (Widyastuti, 2011).

Salah satu MKJP adalah metode kontrasepsi mantap yang terdiri dari dua macam yaitu Medis Operatif Wanita (MOW) dan Medis Operatif Pria (MOP). Medis Operatif Wanita (MOW) sering dikenal dengan tubektomi (sterilisasi) karena prinsip metode ini adalah memotong atau mengikat saluran tuba fallopi sehingga mencegah pertemuan antara ovum dan sperma. Sedangkan Medis Operatif Pria (MOP) sering dikenal dengan vasektomi yaitu memotong atau mengikat saluran vas deferens sehingga cairan spermatidak ejakulasi(Handayani, 2010)

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat lebih dari 150 juta wanita yang memilih sterilisasi sebagai metode kontrasepsi mereka. Di Inggris, hampir 30% pasangan, dan hampir 50% dari mereka yang berusia lebih dari 40 tahun menggunakan sterilisasi, di Cina (37%) dan India (22%). Di Kanada, Korea Selatan dan Puerto Rico, lebih dari 40% populasi usia subur menjalani sterilisasi. Di beberapa negara lain, termasuk Brazil, Republik Domanika, Elsavador, Panama, Sri Langka, Thailand, Taiwan, Amerika Serikat dan Inggris, lebih dari 25% dari warga tersebut yang berusia subur mengandalkan kontasepsi mantap wanita sebagai metode kontrasepsi (Glasier, Gabbie, 2005).

Mekanisme kerja Medis Operatif Wanita (MOW) yaitu dengan mencapai tuba fallopi dan menutup atau mengoklusi tuba fallopi (mengikat dan memotong atau memasang cincin) sehingga spermatozoa tidak dapat bertemu dengan ovum (Pinem, 2009).

Sterilisasi wanita adalah satu-satunya metode kontrasepsi wanita yang permanen. Metode ini pertama kali dilontarkan oleh Hipokrates. Saat ini sterilisasi wanita dilakukan melalui abdomen, baik dengan laparotomi mini maupun dengan sterilisasi laparoskopik atau melalui vagina dengan kuldoskopi. Sterilisasi wanita dapat dilakukan sebagai prosedur 1 hari, baik dengan anestesi umum maupun lokal (Everet, 2008).

Kontrasepsi mantap atau sterilisasi merupakan metode keluarga berencana yang paling efektif, murah, aman, dan mempunyai nilai demografi yang sangat tinggi. Peningkatan jumlah peserta, bahkan terdapat peserta dari jumlah golongan usia yang masih muda. Ternyata kontap mendapat tanggapan baik dari masyarakat sehingga jumlahnya makin membesar (Manuaba, 2008).

Peran bidan sebagai konselor KB bertujuan agar masyarakat khususnya ibu tidak bingung mengenai pemakaian KB. Masih banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena keterbatasan metode yang tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut.

Berbagai faktor harus dipertimbangkan, termasuk status kesehatan, efek samping potensial, konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan bahkan norma budaya lingkungan dan orang tua. Untuk itu semua, konseling merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pelayanan keluarga berencana.

1.2         Tujuan

1.2.1  Tujuan Umum

Mahasiswa mampu melaksanakan penerapan asuhan kebidanan pada pada kasus abortus dd mola hidatidosa dan metode operatif wanita (MOW) sesuai dengan manajemen kebidanan dan mendokumentasikannya.

1.2.2  Tujuan Khusus

Mahasiswa mampu :

1.    Menjelaskan konsep dasar kasus abortus dd mola hidatidosa

2.    Menjelaskan konsep dasar kasus MOW

3.    Menjelaskan konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

4.    Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW menggunakan manajemen Varney, yang meliputi :

a.    Pengakajian data Subyektif dan data Obyektif pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

b.    Interpretasi data dasar yang terdiri dari diagnosa, masalah dan kebutuhan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

c.    Identifikasi masalah potensial pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

d.   Identifikasi kebutuhan segera / kolaborasi / rujukan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

e.    Perencanaan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

f.     Penatalaksanaan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

g.    Evaluasi pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW

5.    Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW menggunakan dokumentasi SOAP.

6.    Mengetahui kesenjangan antara konsep dasar teori dengan penerapan nyata di lapangan.

 

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1         Konsep Dasar Mola Hidatidosa

2.1.1   Pengertian

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir semua villi korialis mengalami perubahan hidropik. Dalam hal demikian demikian disebut mola hidatidosa atau complete mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian dari janin disebut mola parsialis atau partial mole (Prawiroharjo, 2007).

Mola hidatidosa adalah kehamilan yang mengalami penyimpangan dalam pertumbuhan dan perkembangannya di mana tidak terdapat janin dan seluruh vili korealis mengalami perubahan. (Manuaba, 2007)

Mola hidatidosa merupakan bagian dari penyakit trofoblastik gestasional yang disebabkan oleh kelainan pada vili khorionik yang mengalami proliferasi trofobalstik dan edema. (Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, 2013)

Dalam kehamilan normal, plasenta menyediakan makanan untuk bayi yang sedang berkembang dan menghilangkan produk-produk limbah. Plasenta terdiri dari jutaan sel yang dikenal sebagai sel trofoblas. Dalam kehamilan mola, sel-sel ini berperilaku abnormal seperti halnya sel telur telah dibuahi oleh sperma. Hal ini menyebabkan massa sel abnormal yang dapat tumbuh sebagai kantung berisi cairan (kista) dengan penampilan seperti anggur putih. Sel-sel ini tumbuh pesat dalam rahim, dan tidak berkembang berkembang menjadi janin. Sel-sel yang abnormal yang disebut sebagai "mol", yang berasal dari bahasa Latin untuk massa atau benjolan. Kehamilan mola juga disebut mola hidatidosa dan merupakan bentuk pra-kanker dari penyakit trofoblas gestasional (NHS,2016).

2.1.2   Klasifikasi mola hidatidosa

Mola hidatidosa terdiri dari dua jenis menurut Myles (2009), yaitu:

a.    Mola Hidatidosa komplit/ Complete Mola Hydatid/CMH

Pada mola jenis ini, tidak terdapat adanya tanda-tanda embrio, tali pusat, atau membran. Kematian terjadi sebelum berkembangnya sirkulasi plasenta. Villi korionik berubah menjadi vesikel hidropik yang jernih yang menggantung bergerombol pada pedikulus kecil, dan memberi tampilan seperti seikat anggur. Ukuran vesikel bervariasi, dari yang sulit dilihat sampai yang berdiamete beberapa sentimeter. Hiperplasi menyerang lapisan sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas. Massa mengisi rongga uterus dan dapat cukup besar untuk menyerupai kehamilan.

Pada kehamilan normal, trofoblas meluruhkan desidua untuk menambahkan hasil konsepsi. Hal ini berarti bawa mola yang sedang berkembang dapat berpenetrasi ke tempat implantasi. Miometrium dapat terlibat, begitu pula dengan vena walaupun jarang terjadi. Ruptur uterus dengan perdarahan massif merupakan salah satu akibat yang dapat terjadi.

Mola komplit biasanya memiliki 46 kromosom yang hanya berasal dari pihak ayah (paternal). Sperma haploid memfertilasi telur yang kosong yang tidak mengandung kromosom maternal. Kromosom paternal berduplikasi sendiri. Koriokarsinoma dapat terjadi dari mola jenis ini.

b.    Mola Hidatidosa Parsial/Partial Mola Hydatid/PMH

Tanda-tanda adanya suatu embrio, kantong janin, atau kantong amnion dapat ditemukan karena kematian terjadi sekitar minggu ke-8 atau ke-9. Hiperplasia trofoblas hanya terjadi pada lapisan sinsitotrofoblas tunggal dan tidak menyebar luas dibandingkan dengan mola komplet. Analisis kromosom biasanya akan menunjukkan adanya triploid dengan 69 kromosom, yaitu tiga set kromosom (satu maternal dan dua paternal). Secara histologi, membedakan antara mola parsial dan keguguran laten merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini memiliki signifikansi klinis karena walaupun resiko ibu untuk menderita koriokarsinoma dari mola parsial hanya sedikit, tetapi pemeriksaan tindak lanjut tetap menjadi hal yang sangat penting.

2.1.3   Etiologi

a.    Faktor Ovum

Penyebab terjadinya mola hidatidosa tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan adanya peranan kelainan kromosomal. Sel sperma membuahi ovum abnormal yang tidak memiliki nukleus (atau kromosom) pada CMH. Penyebab terbentuknya ovum abnormal tersebut tidak diketahui. Bila fertilisasi dengan kondisi tersebut berlangsung, perkembangan normal tidak akan terjadi, tidak akan terbentuk chorion, amnion atau korda umbilikalis dan fetus juga tidak terbentuk. Sebaliknya sel trofoblast pembentuk plasenta akan berkembang pesat menjadi CMH(Kumar et al, 2010).

b.    Imunoselektif dari trofoblast

Proliferasi dari sel-sel trofoblas yaitu sel-sel sototrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang berbeda. Sel-sel trofoblast yang mengalami proliferasi pada mola hidatidosa komplit adalah sitotrofoblast sedangkan parsial sinsitiotrofoblast (Sajin et al, 2012).

c.    Faktor Kromosom

Ditemukannya daerah kromosom yang menjadi bakal calon yaitu kromosom 19q13 dan terbanyak pada kromosom 11p15.5 dominan terekspresi dari allele maternal, yang merupakan familial dan diturunkan sebagai autosomal resesif (Baranyai et al.,2010).

2.1.4   Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan kehamilan mola hidatidosa antara lain:

a.    Usia ibu

Mola hidatidosa dapat terjadi pada setiap usia selama masa subur. Faktor risiko mola hidatidosa akan lebih tinggi pada usia kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetrik, etnis, dan genetik(Syafii dkk., 2006; Jaffar et al., 2011). Mola komplit memiliki risiko dan angka kejadian yang lebih besar dibandingkan mola parsial, serta sering ditemui pada usia pertengahan dengan risiko lebih tinggi terkena mola komplit 5 sampai 10 kali lipat lebih besar pada wanita hamil yang berusia belasan atau antara 40 sampai 50 tahun. Bahkan satu dari tiga wanita hamil berusia 50 tahun kehamilannya merupakan kehamilan mola (Genest et al., 2003). 

b.    Usia gestasi (usia kehamilan)

Makin tinggi usia kehamilan maka kehamilannya akan semakin berisiko. Usia kehamilan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: usia 1-2 bulan, 2-5 bulan, dan >5 bulan (Jaffar et al., 2011).

c.    Riwayat kehamilan sebelumnya

Risiko terjadinya mola komplit dan parsial juga akan meningkat pada kehamilan seorang wanita dengan riwayat mola hidatidosa, abortus spontan, dan pada infertilitas (Genest et al., 2003; Kumar et al., 2010).

d.    Paritas tinggi

Ibu multipara cenderung berisiko karena trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi genetik. Paritas ibu hamil diklasifikasikan berdasarkan paritas 0-1, 2-4, dan >4 (Jaffar et al., 2011).

e.         Keadaan sosial ekonomi yang rendah

Selama masa kehamilan diperlukan zat-zat gizi yang meningkat untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Pemenuhan zat-zat gizi yang kurang yang dialami oleh ibu hamil dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah, tentunya dapat mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan janin (Syafii dkk., 2006). Disebutkan dalam sebuah penelitian bahwa jika penghasilan seseorang kurang masuk dalam golongan orang yang status sosial ekonomi rendah sedangkan penghasilan yang sedang masuk dalam katergori kelas menengah dan apabila penghasilan lebih banyak masuk dalam katergori kelas ekonomi tingkat yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan nutrisi juga akan terpengaruh sehingga dapat terjadi gangguan mal nutrisi.

f.     Diet kurang vitamin A

Diet sehari-hari terutama yang kurang mengandung vitamin A (karoten) dapat menjadi faktor risiko terjadinya mola hidatidosa yang meningkat sampai 6,29 kali. Hal ini disebabkan karena asam retinoat yang terkandung dalam vitamin A berfungsi untuk mengontrol proliferasi sel dan merangsang apoptosis. Studi penelitian membuktikan bahwa penurunan kadar vitamin A menyebabkan proliferasi menjadi tidak terkontrol (Andrijono dkk., 2007).

g.    Kekurangan protein

Kebutuhan protein sebagai zat pembangun jaringan tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan janin akan sangat meningkat selama masa kehamilan. Jika terjadi malnutrisi berupa kekurangan protein, asam folat, dan karoten dalam makanan sehari-hari pada seorang ibu yang sedang hamil, dapat mengakibatkan bayi yang dilahirkan lebih kecil dari normal (Syafii dkk., 2006; Jaffar et al., 2011).

h.    Infeksi mikroorganisme (termasuk virus)

Mikroorganisme dapat mengenai semua orang termasuk ibu hamil. Terjadinya infeksi sangat tergantung dari jumlah yang masuk ke dalam tubuh, virulensi, serta daya tahan tubuh manusia (Sarwono dkk., 2006).

i.      Golongan darah

Seorang wanita dengan golongan darah A menikah dengan pria golongan darah O akan berisiko untuk terjadinya kehamilan mola. Hal tersebut terjadi karena pasangan tersebut kemungkinan akan melahirkan bayi kembar di mana akan dapat meningkatkankejadian mola hidatidosa (Genest et al., 2003).

2.1.5   Patofisologi

Menurut Purwaningsih (2010), patofisiologis mola didatidosa yaitu ovum Y telah dibuahi mengalami proses segmentasi sehingga terjadi blastomer kemudian terjadi pembelahan dan sel telur membelah menjadi 2 buah sel. Masing-masing sel membelah lagi menjadi 4, 8, 16, 32, dan seterusnya hingga membentuk kelompok sel yang disebut morula. Morula bergerak ke cavum uteri kurang lebih 3 hari dan didalam morula terdapat exozeolum. Sel-sel morula terbagi dalam 2 jenis yaitu trofoblas (sel yang berada disebelah luar yang merupakan dinding sel telur) sel kedua yaitu bintik benih atau nodus embrionale (sel yang terdapat disebelah dalam yang akan membentuk bayi). Pada fase ini sel seharusnya mengalami nidasi tetapi karena adanya poliferasi dari trofoblas atau pembengakakan vili atau degenerasi hidrifilik dari stroma vili dan hilangnya pembuluh darah stroma vili maka nidasi tidak terjadi. Trofoblas kadang berproliferasi ringan kadang keras sehingga saat proliferasi keras uterus menjadi semakin besar. Selain itu trofoblas juga mengeluarkan kormon HCG yang akan mengeluarkan rasa mual dan muntah. Pada mola hidatidosa tidak jarang terjadi perdarahan pervaginam, ini juga dikarenakan proliterasi trofoblas yang berlebihan. Pengeluaran darah ini kadang disertai gelembung vilus yang dapat memastikan diagnose mola hidatidosa.

2.1.6   Diagnosis

Penegakan diagnosa mola hidatidosa dapat didasarkan beberapa pemeriksaan:

1.    Gejala hamil muda yang sangat menonjol

a.    Adanya emesis gravidarum sampai terjadi hiperemesis gravidarum oleh karena peningkatan kadar beta hCG

b.    Terdapat komplikasi

·      Tirotoksikosis (2-5%)

·      Hipertensi menandakan adanya preeklmasi sampai eklampsi terjadi sebelum minggu ke-24 (10-15%)

·      Anemia akibat adanya perdarahan yang terjadi secara intermitten pada kehamilan kurang lebih 12 minggu.

·      Perdarahan bercak coklat pada awal trimester

·      Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan fungsi jantung dan paru-paru akibat adanya emboli paru-paru

2.    Pemeriksaan palpasi

a.    Ukuran uterus

·      Uterus lebih besar dari usia kehamilan (50-60%)

·      Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25%)

·      Lebih kecil  daripada usia kehamilan (5-10%)

b.    Palpasi

·      Tidak teraba bagian janin

·      Tidak terdengar denyut jantung janin

·      Terdapat bentuk asimetris dengan bagian menonjol agak padat dapat merupakan tanda dari mola destruen

  

3.    Pemeriksaan sonde intrauteri menurut Hanifa Wiknkosastro

Pemeriksaan menggunakan sonde uterus yang dimasukkan dalam kavum uteri tanpa tahanan dan dapat diputar 360 derajat dengan deviasi sonde kurang dari 10 derajat berarti tehnik Hanifa positif sehingga dapat mengarah ke diagnosa mola hidatidosa.

2.1.7   Pemeriksaan Penunjang

1.    Foto toraks

Pada klien dengan  mola hidatidosa akan terdapat gambaran emboli udara.

2.    Foto Abdomen

Dengan menggunakan kontras yang dimasukkan secara intrauteri akan didapatkan gambaran seperti sarang tawon.

3.    Laboratorium

a.    Beta hCG urin LHCG urin lebih tinggi dari 100.000 mIU/ml

Terjadi grafik peningkatan hCG paling sedikit empat kali (hari 1, 7, 14 dan 21) atau peningkatan hCG secara bertahap selama dua minggu (hari 7 dan 14) atau lebih lama. Nilai hCG bergantung pada individu masing-masing. hCG meningkat pada hari ke-100.

b.    Beta hCG serum di atas 40.000 IU/ml

4.    USG

a.    Pada mola akan terlihat badai salju (snow flake pattern) dan tidak terlihat janin.

b.    Apabila terdapat mola hidatidosa gambaran di layar USG seperti televisi rusak

c.    Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin

2.1.8   Diagnosa Banding

Beta-hCG terdapat pada beberapa penyakit yang dapat didiagnosa banding dengan mola hidatidosa, antara lain:

1.    Kehamilan multiple

2.    Hidramnion

3.    Abortus

4.    Mioma uteri

5.    Abortus imminens

6.    Koriokarsinoma       

2.1.9   Penatalaksanaan

a.    BPM dan Puskesmas

Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan tahun 2013 menyebutkan untuk kasus mola hidatidosa tidak boleh dilakukan di fasilitas dasar dan harus segera dirujuk. Apabila klien datang ke fasiliats dasar dalam keadaan tidak stabil harus ditangani dengan pertolongan pertama terutama untuk life saving, misalkan perbaikan kesadaran, pasang infus, dan segera dirujuk ke fasilitas yang lengkap dan tepat.

b.    Rumah sakit tersier

Terapi mola hidatidosa dapat dijelaskan berdasarkan dalam dua bentuk keadaan: Terapi mola terdiri dari 4 tahap yaitu: 

1)   Perbaikan keadaan umum.

Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi gejala yang terlihat sebelum mengevakuasi mola yaitu koreksi dehidrasi, transfuse darah bila anemia (Hb 8 gr%), jika ada gejala preeklampsia dan hiperemis gravidarum diobati sesuai dengan protokol penanganannya. Sedangkan bila ada gejala tirotoksikosis nadi meningkat di atas 100x/menit harus diperiksa kadar T3 dan T4 konsultasi ke bagian penyakit dalam. Pemeriksaan laboratorium dasar : darah lengkap, fungsi liver dan ginjal, foto toraks, Faal hemostasis, jumlah absolut trombosit.

2)   Pengeluaran jaringan mola

a)    Kuretase

·      Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan.

·      Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.

·      Lindungi dengan oksitosi drip sehingga uterus segera mengecil setelah jaringan dikeluarkan

·      Menggunakan sendok kuret tajam agar sebagian besar mola dapat dikeluarkan

·      Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan pemasangan infus dengan tetesan oxytocin 10 UI dalam 500 cc Dextrose 5%.

·      Mengobservasi tingginya fundus uteri, kontraksi dan perdarahan

·      Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval minimal 1 minggu.

·      Seluruh jaringan hasil kerokan dengan sendok kuret maupun dengan alat suctionkemu dikirim ke laboratorium PA.

b)    Histerektomi

Tindakan ini dilakukan pada wanita yang telah cukup (> 35 tahun) dan mempunyai anak hidup (>3 orang).

3)    Terapi profilaksis dengan sitostatika

Pemberian kemoterapi repofilaksis pada pasien pasca evaluasi mola hidatidosa masih menjadi kontroversi. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa kemungkinan terjadi neoplasma setelah evaluasi mola pada kasus yang mendapatkan metotreksat sekitar 14%, sedangkan yang tidak mendapat sekitar 47%. Pada umumnya profilaksis kemoterapi pada kasus mola hidatidosa ditinggalkan dengan pertimbangan efek samping dan pemberian kemoterapi untuk tujuan terapi definitive memberikan keberhasilan hampir 100%. Sehingga pemberian profilaksis diberikan apabila dipandang perlu pilihan profilaksis kemoterapi adalah: Metotreksat 20 mg/ hari IM selama 5 hari.

4)    Pemeriksaan tindak lanjut

·      Lama pengawasan berkisar satu sampai dua tahun

·      Setelah pengawasan penderita dianjurkan memakai kontrasepsi kondom, pil kombinasi atau diafragma dan pemeriksaan fisik dilakukan setiap kali pada saat penderita datang kontrol

·      Pemeriksaan kadar β-hCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan kadar β-hCG normal tiga kali berturut-turut

·      Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai kadar β-hCG normal selama 6 kali berturut-turut

·      Bila terjadi remisi spontan (kadar β-hCG, pemeriksaan fisis, dan foto thoraks setelah satu tahun semua-nya normal) maka penderita tersebut dapat berhenti menggunakan kontrasepsi dan hamil lagi.

·      Bila selama masa observasi kadar β-hCG tetap atau bahkan meningkat pada pemeriksaan klinis, foto thoraks ditemukan adanya metastase maka penderita harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.

2.1.10    Komplikasi

Komplikasi yang dialami oleh penderita mola hidatidosa dapat terjadi karena penyakitnya maupun tindakan penanganannya. Antara lain komplikasi tersebut adalah:

a.    Perdarahan yang masif dan syok

Sebelum terjadi keguguran tanda awal adanya perdarahan sedikit-sedikit yang berulang sehingga klien dapat menderita anemia. Keguguran mola hidatidosa akan mengakibatkan terjadinya perdarahan hebat sehingga apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat terjadi syok hipovolemik.

b.    Infeksi

Perdarahan yang terjadi dapat menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehinggga tubuh mudah terkena infeksi.

c.    Perforasi uterus karena tindakan kuretase

Mola hidatidosa yang ganas dan tindakan kuretase yang tidak hati-hati akan dapat menyebabkan perforasi, tindakan yang dilakukan adalah menghentikan kuretase, observasi kemungkinan adanya akut abdomen dan infeksi dengan suhu tubuh yang meningkat

d.   Adanya emboli saat dilakukan evakuasi mola

Sejumlah trombiast dengan adanya stroma vili keluar dari uterus dan masuk ke dalam vena terutama pada saat ekspulasi spontan atau evaluasi terapeutik, sehingga dapat menimbulkan sumbatan  di vena atau paru-paru. Emboli ditandai dengan dispnea, takikardi dan penurunan tekanan darah.

e.    Keganasan/PTG

Kemungkinan mola hidatidosa komplit menjadi koriokarsinoma dan trofoblast neoplasma ganas sekitar 20%, ditandai dengan kadar beta-hCG yang tetap tinggi setelah kuretase bahkan cenderung meningkat serta adanya tanda-tanda metastase.

2.1.11    Prognosa

Hampir kira-kira 20% wanita dengan kehamilan mola komplet berkembang menjadi penyakit trofoblastik ganas. Penyakit trofoblas ganas saat ini 100% dapat diobati. Faktor klinis yang berhubungan dengan resiko keganasan seperti umur penderita yang tua, kadar hCG yang tinggi (>100.000mIU/mL), eklamsia, hipertiroidisme, dan kista teka lutein bilateral. Kebanyakan faktor-faktor ini muncul sebagai akibat dari jumlah proliferasi trofoblas. Untuk memprediksikan perkembangan mola hidatidosa menjadi PTG masih cukup sulit dan keputusan terapi sebaiknya tidak hanya berdasarkan ada atau tidaknya faktor-faktor risiko ini.Risiko terjadinya rekurensi adalah sangat sekitar 1-2%. Setelah 2 atau lebih kehamilan mola, maka risiko rekurensinya menjadi 1/6,5 sampai 1/17,5.

 

2.2         Konsep Dasar Kista Ovarium

2.2.1   Definisi

Kista ovarium adalah suatu benjolan yang berada di ovarium yang dapat mengakibatkan pembesaran pada abdomen bagian bawah dimana pada kehamilan yang disertai kista ovarium seolah-olah terjadi perlekatan ruang bila kehamilan mulai membesar (Prawirohardjo, 2009: 664).

Kista indung telur adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan di dalam jaringan ovarium. Kista ini disebut juga kista fungsional karena terbentuk setelah telur dilepaskan sewaktu ovulasi (Yatim, 2005: 17).

Kista ovarium (kista indung telur) berarti kantung berisi cairan, normalnya berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium) (Nugroho, 2010: 101).

2.2.2   Etiologi Kista Ovarium

Penyebabnya saat ini belum diketahui secara pasti. Namun ada salah satu pencetusnya yaitu faktor hormonal, kemungkinan faktor resiko yaitu:

1.    Faktor genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan payudara.

2.    Faktor lingkungan (polutan zat radio aktif)

3.    Gaya hidup yang tidak sehat

4.    Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, misalnya akibat penggunaan obat-obatan yang merangsang ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat diuretik.

5.    Kebiasaan menggunakan bedak tabur di daerah vagina (Wiknjosastro, 2005)

Menurut Nugroho (2010: 101), kista ovarium disebabkan oleh gangguan (pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium. Beberapa teori menyebutkan bahwa penyebab tumor adalah bahan karsinogen seperti rokok, bahan kimia, sisa-sisa pembakaran zat arang, bahan-bahan tambang.

Beberapa faktor resiko berkembangnya kista ovarium, adalah wanita yang biasanya memiliki:

a.    Riwayat kista terdahulu

b.    Siklus haid tidak teratur

c.    Kegemukan atau perut buncit

d.   Menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda)

e.    Infertilitas (sulit hamil atau belum pernah hamil )

f.     Tamoxifen (terapi untuk kanker payudara)

g.    Adanya kontrasepsi hormonal yang tidak sesuai

h.    Merokok

i.      Penderita hipotiroid

 

2.2.3   Patofisiologi

Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan.

Fungsi ovarium yang normal tergantung kepada sejumlah hormon dan kegagalan pembentukan salah satu hormon tersebut bisa mempengaruhi fungsi ovarium. Ovarium tidak akan berfungsi secara normal jika tubuh wanita tidak menghasilkan hormon hipofisa dalam jumlah yang tepat. Fungsi ovarium yang abnormal kadang menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur, terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium karena itu terbentuk kista di dalam ovarium (Corvin, E.J 2008: 649).

Kista ovarium terbentuk oleh berbagai penyebab. Penyebab inilah yang nantinya akan menentukan tipe dari kista. Diantara beberapa tipe kista ovarium, tipe folikular merupakan tipe kista yang paling banyak ditemukan. Kista jenis ini terbentuk oleh karena pertumbuhan folikel ovarium yang tidak terkontrol.

Cairan yang mengisi kista sebagian besar berupa darah yang keluar akibat dari perlukaan yang terjadi pada pembuluh darah kecil ovarium. Pada beberapa kasus, kista dapat pula diisi oleh jaringan abnormal tubuh seperti rambut dan gigi. Kista jenis ini disebut kista dermoid.

Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG. Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada neoplasia tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan diabetes, HCG menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif lutein.

Pasien dalam terapi infertilitas, induksi ovulasi dengan menggunakan gonadotropin (FSH dan LH) atau terkadang clomiphene citrate, dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan pemberian HCG. Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih dan tidak terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasia yang ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan ovarium. Sejauh ini, keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan (mesotelium) dan sebagian besar lesi kistik parsial. Jenis kista jinak yang serupa dengan keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan mucinous. Tumor ovari ganas yang lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk  jenis ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi elemen dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan mesodermal. Endometrioma adalah kista berisi darah dari endometrium ektopik. Pada sindroma ovari pilokistik, ovarium biasanya terdiri folikel-folikel dengan multipel kistik berdiameter 2-5 mm, seperti terlihat dalam sonogram.

2.2.4   Gejala dan Tanda

Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala kecuali jika kista tersebut pecah atau terpluntir sehingga menyebabkan rasa sakit yang hebat di daerah perut bagian bawah dan daerah tersebut menjadi kaku. Kista yang berukuran besar atau berjumlah banyak dapat menimbulkan gejala seperti rasa sakit pada panggul, sakit pinggang, sakit saat berhubungan seksual, serta perdarahan rahim yang abnormal (Setiati, 2009).

Menurut Setiati (2009), munculnya gejala klinis pada kista ovarium diakibatkan tiga hal berikut:

1.    Pertumbuhan kista yang dapat menimbulkan tekanan pada alat-alat disekitarnya

2.    Aktivitas hormonal, khususnya jenis kista yang memproduksi hormone

3.    Komplikasi yang ditimbulkannya

Menurut Nugroho (2010: 104), kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala sampai periode tertentu. Namun beberapa orang dapat mengalami gejala ini:

a.    Nyeri saat menstruasi.

b.    Nyeri di perut bagian bawah.

c.    Nyeri saat berhubungan seksual.

d.   Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki.

e.    Terkadang disertai nyeri saat berkemih atau BAB.

f.     Siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar banyak.

g.    Wanita post menopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau diare, obstruksi usus.

Karena sebagian besar dari kasus kanker ovarium bermula dari suatu kista, maka apabila pada seorang wanita ditemukan suatu kista ovarium harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah kista tersebut bersifat jinak atau ganas (kanker ovarium). Kewaspadaan terhadap kista yang bersifat ganas dilakukan bila:

1.    Kista cepat membesar.

2.    Kista pada usia remaja atau pascamenopause.

3.    Kista dengan dinding yang tebal dan tidak berurutan.

4.    Kista dengan bagian padat.

5.    Tumor pada ovarium

2.2.5   Pemeriksaan dan Diagnosis

Menurut Djuwantono, dkk (2011: 282-287), yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa kista ovarium adalah:

1.    Anamnesa

Anamnesa lengkap merupakan bagian penting dari diagnosis tumor adneksa. Pertanyaan tentang rasa nyeri, lokasi, dan derajat nyeri serta kapan mulai timbulnya rasa nyeri tersebut akan memudahkan penegakan diagnosis.

2.    Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik diagnostik yang lengkap dan tertuju pada gejala klinis atau tanda dari suatu infeksi atau tumor neoplastik sangat diperlukan untuk menentukan etiologi dari massa tumor di daerah rongga panggul. Pemeriksaan payudara secara sistematis diperlukan karena ovarium merupakan metastasis yang umum dijumpai karsinoma payudara.

Pemeriksaan bimanual dan pemeriksaan rekto vagina merupakan pemeriksaan pokok ginekologi yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk menegakkan diagnosis kelainan di daerah rongga pelvis.

3.    Pemeriksaan Penunjang

a.    Ultrasonografi (USG)

Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi lebih tinggi daripada kemampuan pendengaran telinga manusia, sehingga kita tidak bisa mendengarnya sama sekali. Suara yang didengar manusia mempunyai frekuensi 20-20.000 Cpd (Cicles per detik=Hz).

Masing-masing jaringan tubuh mempunyai impedence acustic tertentu. Dalam jaringan yang heterogen akan ditimbulkan bermacam-macam echo, disebut acho free atau bebas echo. Suatu rongga berisi cairan bersifat anechoic, misalnya kista, asites, pembuluh darah besar, pericardial atau pleural effusion.

USG pada kista ovarium akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-kadang oval) dan terlihat sangat echolucent dengan dinding-dinding yang tipis/tegas/licin dan di tepi belakang kista nampak bayangan echo yang lebih putih dari dinding depannya. Kista ini dapat bersifat unilokuler (tidak bersepta) atau multilokuler (bersepta-septa). Kadang-kadang terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus (internal echoes) di dalam kista yang berasal dari elemen-elemen darah di dalam kista.

·      Transabdominal sonogram

Pemeriksaan cara sonogram menggunakan gelombang bunyi untuk melihat gambaran organ tubuh. Pemeriksaan jenis ini bisa dilakukan melalui dinding perut atau bisa juga dimasukkan melalui vagina dan memerlukan waktu sekitar 30 menit, bisa diketahui ukuran dan bentuk kistanya. Syarat pemeriksaan transabdominal sonogram dilakukan dalam keadaan vesica urinaria terisi/penuh.

·      Endovaginal sonogram

Pemeriksaan ini dapat menggambarkan atau memperlihatkan secara detail struktur pelvis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara endovaginal. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan vesica urinaria kosong.

Dalam pemeriksaan USG, perlu dilakukan pemeriksaan Sassone Score yaitu sebuah skoring dengan pemeriksaan USG melalui transvaginal untuk menemukan massa di ovarium ataupun di adnexa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi risiko keganasan. Ovarium yang memiliki diameter > 5 cm, berisiko 2.5 kali untuk terjadi kanker. Adapun kriteria dalam Sassone Score adalah sebagai berikut:

Feature

Finding

Points

Inner wall structure

Smooth

Irregularities ≤ 3 mm

Papillarities > 3 mm

Lesion mostly solid

1

2

3

4

Wall thickness (mm)

Thin ≤ 3 mm

Thick > 3 mm

Lesion mostly solid

1

2

3

Septa (mm)

No septa

Thin ≤ 3 mm

Thick > 3 mm

1

2

3

Echogenicity

Sonolucent

Low echogenicity

Low echogenicity with echogenic core

Mixed echogenicity

High echogenicity

1

2

3

 

4

5

 

Interpretasi dari Sassone Score yakni :

1.    Skor minimal : 4

2.    Skor maksimal : 15

3.    Skor < 9 : risiko rendah keganasan (benigna)

4.    Skor > 9 : risiko tinggi kegananasan (malignancy)

b.    Laparaskopi

Dengan laparoskopi, alat teropong ringan dan tipis dimasukkan melalui pembedahan kecil dibawah pusar untuk melihat ovarium, menghisap cairan dari kista dan mengambil bahan percobaan untuk biopsy.

c.    Foto Rontgen

Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi dalam tumor.

d.   Parasentesis

Telah disebut bahwa pungsi pada asites berguna menentukan sebab asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemari cavum peritonei dengan isi kista bila dinding kista tertusuk (Wiknjosastro, 2005).

e.    MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Gambaran MRI lebih jelas memperlihatkan jaringan halus dibandingkan dengan CT-scan, serta ketelitian dalam mengidentifikasi lemak dan produk darah. CT-scan dapat memberikan petunjuk tentang organ asal dari massa yang ada. MRI tidak terlalu dibutuhkan dalam beberapa/banyak kasus.

USG dan MRI jauh lebih baik dalam mengidentifikasi kista ovarium dan massa/tumor pelvis dibandingkan dengan CT-scan.

f.     CA-125

Dokter juga memeriksa kadar protein di dalam darah yang disebut CA-125. Kadar CA-125 juga meningkat pada perempuan subur, meskipun tidak ada proses keganasan. Tahap pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada perempuan yang berisiko terjadi proses keganasan. Kadar CA125 < 35 U/ml dianggap normal. Penemuan awal kadar  CA 125 > 35 U/ml dapat mendiagnosis 83% pasien kanker ovarium tipe epithelial.

2.2.6   Penatalaksanaan

1)   Observasi

Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau) selama 1-2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan sendirinya setelah satu atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas (kanker) (Nugroho, 2010: 105).

2)   Kontrasepsi oral

Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas ovarium dan menghilangkan kista

3)   Terapi bedah atau operasi

Bila tumor ovarium disertai gejala akut misalnya torsi, maka tindakan operasi harus dilakukan pada waktu itu juga, bila tidak ada gejala akut, tindakan operasi harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan seksama.

Kista berukuran besar dan menetap setelah berbulan-bulan biasanya memerlukan operasi pengangkatan. Selain itu, wanita menopause yang memiliki kista ovarium juga disarankan operasi pengangkatan untuk meminimalisir resiko terjadinya kanker ovarium. Wanita usia 50-70 tahun memiliki resiko cukup besar terkena kenker jenis ini. Bila hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini disebut ovarian cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium termasuk tuba fallopi, maka disebut salpingo-oophorectomy.

Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain tergantung pada usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki anak, kondisi ovarium dan jenis kista.

Kista ovarium yang menyebabkan posisi batang ovarium terlilit (twisted) dan menghentikan pasokan darah ke ovarium, memerlukan tindakan darurat pembedahan (emergency surgery) untuk mengembalikan posisi ovarium.

Prinsip pengobatan kista dengan pembedahan (operasi) menurut Yatim, (2005: 23) yaitu:

·      Apabila kistanya kecil (misalnya, sebesar permen) dan pada pemeriksaan sonogram tidak terlihat tanda-tanda proses keganasan, biasanya dokter melakukan operasi dengan laparoskopi. Dengan cara ini, alat laparoskopi dimasukkan ke dalam rongga panggul dengan melakukan sayatan kecil pada dinding perut, yaitu sayatan searah dengan garis rambut kemaluan.

·      Apabila kistanya besar, biasanya pengangkatan kista dilakukan dengan laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan total. Dengan cara laparotomi, kista bisa diperiksa apakah sudah mengalami proses keganasan (kanker) atau tidak. Bila sudah dalam proses keganasan, operasi sekalian mengangkat ovarium dan saluran tuba, jaringan lemak sekitar serta kelenjar limfe. Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung tumor, akan tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi perlu dilakukan pengangkatan ovarium, biasanya disertai dengan pengangkatan tuba (salphyngoooforektomi). Jika terdapat keganasan operasi yang lebih tepat ialah histerektomi dan salphyngoooforektomi bilateral. Akan tetapi pada wanita muda yang masih ingin mendapat keturunan dan dengan tingkat keganasan tumor yang rendah, dapat dipertanggungjawabkan untuk mengambil resiko dengan melakukan operasi yang tidak seberapa radikal (Wiknjosastro 2008).

2.2.7   Prognosis

Prognosis untuk kista yang jinak baik. Walaupun penanganan dan pengobatan kista ovarium telah dilakukan dengan prosedur yang benar namun hasil pengobatannya sampai sekarang ini belum sangat menggembirakan termasuk pengobatan yang dilakukan di pusat kanker terkemuka di dunia sekalipun. Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita kista ovarium stadium lanjut hanya kira-kira 20-30%, sedangkan sebagian penderita 60-70% ditemukan dalam keadaan stadium lanjut sehingga penyakit ini disebut dengan silent killer.

Prognosis dari kista ovarium juga tergantung dari beberapa hal: stadium, jenis histologis, derajat diferensiasi kista, residu kista, umur penderita, ukuran kista dan free disease interval. Kista yang timbul pada wanita usia reproduktif umumnya baik dan tidak menimbulkan dampak. Kista yang timbul pada wanita menopause tidak boleh diabaikan karena merupakan gejala dari adanya tumor patologis maupun ganas. Dari tipe kista: kalau kista jinak umumnya tidak berbahaya namun, sebagian kecil berpotensi untuk menjadi ganas. Sedangkan , kista ganas berbahaya, bila kista ganas terdeteksi pada stadium lanjut maka survival rate akan semakin kecil

2.2.8   Klasifikasi Kista Ovarium

1)    Kista non Neoplasma

a.    Kista Non Fungsional

Suatu kista inklusi serosa terbentuk dari invaginasi pada epitel permukaan ovarium, yang dilapisi epitel dan berdiameter <1 cm (Sinclair, 2003: 603).

b.    Kista Fungsional

Indung telur merupakan rongga yang isinya cairan yang ada di dalam jaringan ovarium. Kista ovarium fungsional terjadi karena terbentuk setelah telur dilepaskan sewaktu ovulasi terjadi. Kista ovarium fungsional ini kemudian akan mengkerut dan menyusut dalam waktu beberapa bulan (1-3 bulan atau 2-3 siklus haid), hingga biasanya dokter yang menduga  dari adanya bentuk kista ini menganjurkan penderita untuk melakukan control 3 bulan selanjutnya. Dokter akan menganjurkan minum pil KB agar ovulasi tidak terjadi. Masalah kista ovarium fungsional ini tidak akan terbentuk ketika seorang perempuan sudah mengalami masa menopause. Pemeriksaan sonogram dilakukan untuk meyakinkan wanita mengalami masalah kista ovarium fungsional atau tidak.

·      Kista unilokular atau kista sederhana

Kista ini biasanya terbentuk dari folikel praovulasi yang mengandung oosit. Kista ini bisa memiliki ukuran 4 cm dan menetap ke siklus selanjutnya. Kista dapat kembali kambuh dan sering terjadi pada awal maupun akhir masa reproduksi. Lima puluh persen kista sembuh dalam 60 hari. Nyeri dapat timbul akibat ruptur, torsi, atau hemoragi (Sinclair, 2003: 603).

 

·      Kista folikel

Menurut Benson dan Pernoll (2008: 574) kista folikel adalah struktur normal, fisiologis, sementara dan sering kali multiple, yang berasal dari kegagalan resorbsi cairan folikel dari yang tidak berkembang sempurna. Paling sering terjadi pada wanita muda yang masih menstruasi dan merupakan kista yang paling lazim dijumpai dalam ovarium normal.

Kista folikel biasanya tidak bergejala dan menghilang dengan spontan dalam waktu <60 hari. Jika ruptur menyebabkan nyeri akut pada pelvis, evaluasi lebih lanjut dengan USG atau laproskopi. Operasi dilakukan pada wanita sebelum  pubertas, setelah menopause atau kista > 8 cm. Kista yang terus membesar dan menetap >60 hari memerlukan pemeriksaan lanjut. Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk     kista < 4 cm adalah pemeriksaan ultrasonografi awal, pemeriksaan ulang dalam waktu 6  minggu dan sekali lagi dalam waktu 8 minggu jika kista tetap ada. Pada kista folikel > 4 cm atau jika kista kecil menetap, pemberian kontrasepsi oral selama  4 - 8 minggu akan menyebabkan kista menghilang sendiri.

·      Kista Korpus luteum

Terjadi karena bertambahnya sekresi progesterone setelah ovulasi. Ditandai dengan keterlambatan menstruasi atau menstruasi yang panjang, nyeri abdomen bawah pelvis. Korpus luteum disebut kista korpus luteum jika  berukuran > 3 cm. Kadang-kadang diameter kista ini dapat sebesar 10 cm (rata-rata 4 cm). Penyulit proses ini dapat terjadi akibat perdarahan atau dari kista korpus luteum.

Tindakan operatif biasanya berupa kistektomi ovarii dengan mempertahankan ovarium. Operasi perlu dilakukan jika hemotorik cairan yang didapat melalui kuldosentesis > 15%. Namun jika perdarahan tidak begitu berat, rasa sakit dan nyeri tekan berhubungan dengan menstruasi yang terlambat atau amenorea, karena itu kista korpus luteum harus dibedakan dengan kehamilan ektopik, ruptur endometrium dan   torsi adneksa. Biasanya dilakukan dengan pemeriksaan HcG (Human Chorionik Gonadotropin) dan Ultrasonografi (USG). Kista yang menetap dapat menghilang setelah pemberian kontrasepsi oral selama 4 - 8 minggu.

 

·      Kista tuba lutein

Ditemui pada kehamilan mola, terjadi pada 50% dari semua kehamilan, dibentuk sebagai hasil lamanya stimulasi ovarium, berlebihnya HCG. Tindakannya adalah dengan mengangkat mola.

·      Kista teka luthein

Kista theka lutein merupakan kista yang berisi cairan bening dan berwana hitam seperti jerami. Timbulnya kista ini berkitan dengan tumor ovarium dan terapi hormon (Nugroho, 2010:103).

Kista theka lutein biasanya bilateral, kecil dan lebih jarang dibandingkan kista folikel atau kista korpus luteum. Kista teka lutein diisi oleh cairan berwana kekuning-kuningan. Berhubungan dengan penyakit trofoblastik kehamilan (misalnya mola hidatidosa dan koriokarsinoma), kehamilan ganda atau kehamilan dengan penyulit diabetes mellitus atau sensitisasi Rh, penyakit ovarium polikistik (sindrom Stein-Laventhel) dan pemberian zat perangsang ovulasi (misalnya klomifen atau terapi hCG). Komplikasi jarang terjadi meliputi ruptur (dengan perdarahan intraperitoneal) serta torsi ovarium (Benson dan Pernoll, 2008: 576).

·      Sindrom polikistik ovari (Policystic Ovarian Syndrom-PCOS)

Menurut Yatim (2005: 21-22), polikistik ovarium ditemukan pada 5-10% perempun usia dewasa tua sampai usia menopause, yang timbul karena gangguan perkembangan folikel ovarium hingga tidak timbul ovulasi. Penderita polikistik ini juga sering terlihat bulimia, androgen meningkat dan prolaktin darah juga meningkat (hiperprolaktinemia).

Polikistik ovarium sering dijumpai pada pemeriksaan USG perempuan usia pertengahan, tetapi bukan berarti tidak normal, mungkin ini ada kaitannya dengan prevalensi siklus tidak terjadi ovulasi tinggi pada kelompok usia ini.

Publikasi lain mengemukaan bahwa sindrom polikistik terdapat pada 5-10% perempuan menjelang umur menopause. Kejadian ini berkaitan dengan gangguan hormone yang mulai terjadi pada kelompok umur tersebut.

Perempuan yang mengandung polikistik dapat diketahui, antara lain:

a) Darah menstruasi yang keluar sedikit (oligomenorrhea).

b) Tidak keluar darah menstruasi (amenorrhea).

c) Tidak terjadi ovulasi.

d) Mandul.

e) Berjerawat.

·      Kista inklusi germinal

Terjadi oleh karena invaginasi dari epitel germinal dari ovarium. Biasanya terjadi pada wanita tua. Tidak pernah memberi gejala-gejala yang berarti.

·      Kista endometrium

Merupakan endometriosis yang berlokasi di endometrium

2)   Kista Neoplasma Jinak

·      Kistoma Ovarii Simpleks

Kistoma ovarii simpleks adalah kista yang permukaannya rata dan halus, biasanya bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis berisi cairan jernih yang serosa dan berwana kuning.

·      Kistadenoma Ovarii Musinosum

Kista ini berasal dari teratoma. Namun, pendapat lain mengatakan kista ini berasal dari epitel germinativum atau mempunyai asal yang sama dengan Tumor Brenner. Bentuk kista multilokular, biasanya unilateral, dapat tumbuh menjadi sangat besar.

Gambaran klinis terdapat perdarahan dalam kista dan perubahan degeneratif sehingga timbul perlakatan kista dengan omentum, usus-usus dan peritoneum parietale. Selain itu, bisa terjadi ileus karena perlekatan dan produksi musim yang terus bertambah akibat pseudomiksoma peritonei.

·      Kistadenoma Ovarii Serosum

Kista ini berasal dari epitel germinativum. Bentuk kista umumnya unilokular, bila multilokular perlu di curigai adanya keganasan. Kista ini dapat membesar, tetapi tidak sebesar kista musinosum. Gambaran klinis pada kasus ini tidak klasik. Selain teraba massa intraabdominal dapat timbul asites.

·      Kista Dermoid

Kista dermoid adalah teratoma kistik jinak dengan struktur ektodermal berdiferensiasi sempurna dan lebih menonjol daripada mesoderm dan entoderm. Dinding kista keabu-abuan dan agak tipis, konsistensi sebagian kistik kenyal dan sebagian lagi padat. Dapat terjadi perubahan kearah keganasan, seperti karsinoma epidermoid. Kista ini diduga berasal dari sel telur melalui proses partenogenesis. Gambaran klinis adalah nyeri mendadak diperut bagian bawah karena torsi tangkai kista.

2.2.9   Komplikasi Kista Ovarium

Menurut Wiknjosastro (2007: 347-349), komplikasi yang dapat terjadi pada kista ovarium diantaranya:

1)    Akibat pertumbuhan kista ovarium

Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan pembesaran perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Apabila tumor mendesak kandung kemih dan dapat menimbulkan gangguan miksi, sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas di rongga perut kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta dapat juga mengakibatkan edema pada tungkai.

2)    Akibat aktivitas hormonal kista ovarium

Tumor ovarium tidak mengubah pola haid kecuali jika tumor itu sendiri mengeluarkan hormon.

3)    Akibat komplikasi kista ovarium

·      Perdarahan ke dalam kista

Biasanya terjadi sedikit-sedikit sehingga berangsur-angsur menyebabkan kista membesar, pembesaran luka dan hanya menimbulkan gejala-gejala klinik yang minimal. Akan tetapi jika perdarahan terjadi dalam jumah yang banyak akan terjadi distensi yang cepat dari kista yang menimbukan nyeri di perut.

·      Torsio atau putaran tangkai

Torsio atau putaran tangkai terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm atau lebih. Torsi meliputi ovarium, tuba fallopi atau ligamentum rotundum pada uterus. Jika dipertahankan torsi ini dapat berkembang menjadi infark, peritonitis dan kematian. Torsi biasanya unilateral dan dikaitkan dengan kista, karsinoma, TOA, massa yang tidak melekat atau yang dapat muncul pada ovarium normal. Torsi ini paling sering muncul pada wanita usia reproduksi. Gejalanya meliputi nyeri mendadak dan hebat di kuadran abdomen bawah, mual dan muntah. Dapat terjadi demam dan leukositosis. Laparoskopi adalah terapi pilihan, adneksa dilepaskan (detorsi), viabilitasnya dikaji, adneksa gangren dibuang, setiap kista dibuang dan dievaluasi secara histologis.

·      Infeksi pada tumor

Jika terjadi di dekat tumor ada sumber kuman patogen.

·      Robek dinding kista

Terjadi pada torsi tangkai, akan tetapi dapat pula sebagai akibat trauma, seperti jatuh atau pukulan pada perut dan lebih sering pada saat bersetubuh. Jika robekan kista disertai hemoragi yang timbul secara akut, maka perdarahan bebas berlangsung ke uterus ke dalam rongga peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri terus menerus disertai tanda-tanda abdomen akut

·      Perubahan keganasan

Setelah tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis yang seksama terhadap kemungkinan perubahan keganasannya. Adanya asites dalam hal ini mencurigakan. Massa kista ovarium berkembang setelah masa menopause sehingga besar kemungkinan untuk berubah menjadi kanker (maligna). Faktor inilah yang menyebabkan pemeriksaan pelvik menjadi penting

 

2.3         Konsep Dasar Metode Operatif Wanita

2.3.1   Definisi Metode Operatif Wanita (MOW)

Metode Operatif Wanita disebut juga MOW adalah metode kontrasepsi untuk perempuan yang tidak ingin memiliki keturunan lagi. Metode ini dapat berupa pengikatan dan pemotongan, dapat juga disebut juga sebagai oklusi tuba atau sterilisasi (Saifuddin, 2013).

Indung telur akan menghasilkan sel telur dengan siklus sebulan sekali mulai menarche sampai menopause. Sel telur tersebut kemudian masuk ke dalam saluran tuba yang apabila bertemu dengan spermatozoa akan terjadi pembuahan. Kehamilan terjadi apabila mudigah tertanam pada dinding rahim. Dengan MOW maka perjalanan sel telur terhambat sehingga tidak dapat bertemu dan tidak dibuahi oleh sperma (Prawiroharjo, 2010). Dijepit dengan cincin (tubal ring), penjepit (tuba klip), atau pita tuba (tuba band). Selain itu dapat dilakukan koagulasi elektrik.

Metode ini memerlukan prosedur bedah, sehingga diperlukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan lainnya untuk memastikan klien sesuai dengan metode kontrasepsi ini. Metode Operatif Wanita (MOW) termasuk metode efektif dan tidak menimbulkan efek samping jangka panjang, dan angka kefektivitasan MOW dibandingkan dengan metode kontrasepsi yang lain adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3 Efektivitas Berbagai Metode Kontrasepsi (WHO, 2004)

Tingkat Efektivitas

Metode Kontrasepsi

Kehamilan Per 100 Perempuan Dalam 12 Bulan Pertama Pemakaian

Dipakai Secara Biasa

Dipakai Secara Tepat Dan Konsisten

Sangat Efektif

Metode Operatif Wanita (MOW)

0,5

0,5

Vasektomi

0,15

0,1

Implan

0,05

0,05

Suntikan kombinasi

3

0,05

Suntikan DMPA

3

0,3

AKDR CuT-380A

0,8

0,6

Pil Progesteron (Masa Laktasi)

1,0

0,5

Efektif dalam pemakaian biasa, sangat efektif jika dipakai secara tepat dan konsisten

Metode Amenore Laktasi (MAL)

2

0.5

Pil Kontrasepsi Kombinasi

8

0,3

Pil Progesteron (Bukan Masa Laktasi)

-

0,5

Efektif jika dipakai secara tepat dan konsisten

Kondom Pria

15

2

Senggama Terputus

27

4

Diagfragma + Spermisida

29

18

KB Alamiah

25

1-9

Kondom Perempuan

21

5

Spermisida

29

18

 

Tanpa KB

85

85

Keterangan

0-1 : Sangat Efektif

2-9  : Efektif

> 9 : Kurang efektif

MOW mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai berikut; cara relatif mudah, murah dan aman, hanya memerlukan sekali motivasi, sekali tindakan dan tidak memerlukan pengawasan lebih lanjut yang terus menerus. Angka kegagalan rendah dan sangat efektif dalam mencegah kehamilan dan efek samping sedikit. Umumnya tidak terjadi keluhan yang berkepanjangan pada akseptor MOW (kontrasepsi mantap) apabila dilakukan secara baik,benar dan sesuai prosedur (Prawiroharjo, 2010) . Keluhan awal yang terjadi pada post operasi hanya bersifat rasa nyeri pada daerah sayatan, dan infeksi yang terjadi sekitar 1-3% dan ini dapat ditanggulangi dengan antibiotik dan perawatan yang adekuat. Selain keunggulan dari MOW juga mempunyai dampak negatif seperti; dapat terjadi perdarahan dalam rongga perut atau terjadi infeksi daerah panggul, tetapi angka kejadiannya sangat jarang. Lebih ekonomis karena hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan saja, apabila dilakukan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, maka efek samping, resiko komplikasi dan kematian sangat minimal (Prawiroharjo, 2010).

Faktor yang mempengaruhi masyarakat khususnya wanita yang PUS tidak memilih metode kontrasepsi MOW ini salah satunya adalah tidak ada dukungan dari keluarga khususnya suami yang disebabkan oleh banyaknya efek samping dari MOW terutama respon seksual terhadap suami. Banyak yang tidak setuju terhadap MOW ini dari salah satu pasangan suami dan istri yang disebabkan oleh kurangnya informasi tentang MOW.

Hasil penelitian Sahid (2008) tentang dari 43 respon ditemukan pengguna akseptor MOW mayoritas sudah mendapat konseling pra MOW sehingga dapat disimpulkan bahwa penting untuk memberikan informasi terkait MOW untuk memberikan pemahaman positif tentang hal ini. Oleh sebab itu bagi pasangan suami istri yang akan melaksanakan MOW ini perlu konseling dari tenaga kesehatan seperti dokter atau perawat yang melayani kontrasepsi keluarga berencana.

Faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak menggunakan tindakan MOW ini dapat dianggap tidak reversibel artinya kontrasepsi ini dilakukan sekali dalam seumur hidup wanita tersebut (Prawiroharjo, 2010). Walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka tuba kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi yaitu operasi dengan bedah mikro sudah banyak dikembangkan. Teknik ini tidak saja menyambung kembali tuba fallopi dengan baik, tetapi juga menjamin kembalinya fungsi tuba.

Hal ini disebabkan oleh teknik bedah mikro yang secara akurat menyambung kembali tuba dengan trauma yang minimal, mengurangi perlekatan pasca operasi, mempertahankan fisiologi tuba, serta menjamin fimbriae tuba tetap bebas sehingga fungsi penangkapan ovum masih tetap baik walaupun angka keberhasilannya kecil (Prawiroharjo, 2010).

Pada ibu yang post MOW sementara waktu akan merasa berduka atau merasa kehilangan sesuatu dari tubuhnya disebabkan kurangnya pengetahuan pasien tentang MOW ini atau tingkat pengetahuan / pendidikan pasien yang rendah. Metode dengan operasi MOW ini dijalankan atas dasar sukarela dalam rangka Keluarga Berencana. Tugas perawat harus memberikan penjelasan tentang berbagai alternatif pengendalian kehamilan permanen dan sementara, konseling difokuskan untuk membicarakan rasa takut dan pemahaman yang keliru tentang MOW ini dan kenikmatan seksual menurun tidak benar kecuali hal tersebut disebabkan oleh faktor psikis (Sujiyatini,2009).

2.3.2   Manfaat dan Keterbatasan

 Manfaat

·      Motivasi kepada pasien hanya dilakukan satu kali saja, sehingga tidak diperlukan motivasi yang berulang-ulang.

·      Sangat efektif/ Efektivitas hampir 100% (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan).

·      Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding).

·      Tidak bergantung pada faktor sanggama.

·      Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.

·      Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal.

·      Tidak ada efek samping dalam jangka panjang.

·      Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium).

·      Tidak mempengaruhi libido seksualitas

·      Kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure) tidak ada.

·      Berkurangya risiko kanker ovarium.

Keterbatasan

·      Harus dipertimbangkan sifat permanen metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan dalam jangka pendek setelah tindakan.kembali), kecuali dengan operasi             rekanalisasi.

·      Dilakukan oleh dokter yang terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi atau             dokter spesialis bedah untuk proses laparoskopi).

·      Tidak melindungi diri dari IMS, termasuk HBV dan HIV/AIDS

(Affandi, 2012).

2.3.3   Persyaratan MOW

Dalam Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, pada kontrasepsi mantap seperti Metode Operatif Wanita (MOW) dan Metode Operatif Pria (MOP) digunakan klasifikasi sebagai berikut untuk persyaratan penggunaan kontrasepsi :

Tabel 2.2 Klasifikasi Persyaratan Medis Kontrasepsi Mantap (Saifuddin, 2011)

Klasifikasi

Penjelasan

A

Tidak ada alasan medis yang merupakan kontraindikasi dilakukannya kontrasepsi mantap.

B

Tindakan kontrasepsi mantap dapat dilakukan, tetapi dengan persiapan dan kewaspadaan khusus

C

Sebaiknya kontrasepsi mantap ditunda sampai kondisi medis diperbaiki. Sementara itu berikan metode kontrasepsi lainnya.

D

Tindakan kontrasepsi mantap hanya dilakukan oleh tenaga yang sangat berpengalaman, dan perlengkapan anestesi tersedia. Demikian pula fasilitas penunjang lainnya. Diperlukan pula kemampuan untuk mentukan prosedur klinik serta anestesi yang tepat.

Untuk kontrasepsi mantap pada wanita, yakni Metode Operatif Wanita (MOW) persyaratan medis yang digunakan dalam penggunaan kontrasepsi dalah sebagai berikut :

Tabel 2.3 Persyaratan Medis Dalam Penggunaan MOW (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2011)

Kondisi

Klasifikasi

Karakteristik Pribadi dan Riwayat Reproduksi

Kehamilan

C

Usia Muda

B

Paritas

Nulipara

A

Multipara

A

Selama Kehamilan

Preeklamsia ringan

A

Preeklamsia berat/eklamsia

C

Perdarahan Antepartum

C

Trauma Berat Daerah Genitalia

C

Ruptur Uterus

D

Ketuban Pecah > 24 jam

C

Pasca Persalinan

< 7 hari

A

7 – 24 hari

C

≥ 24 hari

A

Infeksi Nifas

C

Pasca Abortus

Tanpa Komplikasi

A

Sepsis Pasca Keguguran

C

Perdarahan Pasca Keguguran

C

Trauma Alat Genital saat abortus

C

Perforasi Uterus

D

Hematometra

C

Kehamilan Ektopik Lampau

A

Merokok

Usia < 35 tahun

A

Usia >35 tahun

A

Obesitas

≥ 30kg/m2 IMT

B

Penyakit Kardiovaskuler

Faktor Resiko Multipel Penyakit Kardiovaskuler

D

Hipertensi

Hipertensi terkontrol

B

Kenaikan Tekanan Darah Sistolik 140-160 atau diastolic 90-100

B

Sistolik > 160 atau Diastolik > 100

D

Penyakit vaskuler

D

Riwayat Hipertensi Selama Kehamilan

A

Trombosis Vena Dalam/ Emboli Paru

Riwayat TVD/EP

A

TVD/EP saat ini

C

Riwayat Keluarga dengan TVD/EP

A

Bedah Mayor

Imobilisasi Lama

C

Tanpa Imobilisasi Lama

A

Bedah Minor

A

Mutasi Trombogenik

A

Trombosis Vena Permukaan

Varises

A

 

Tromboflebitis Permukaan

A

Penyakit Jantung Iskemik

Saat ini

D

 

Riwayat

B

Stroke

B

Hiperlipidemia

A

Penyakit Jantung Ventrikuler

Tanpa Komplikasi

B

Dengan Komplikasi

D

Kelainan Neurologis

Nyeri Kepala

Non Migrain

A

 

Migrain

A

Epilepsi

B

Depresi

Depresi

B

Infeksi dan Kelainan Alat Reproduksi

Perdarahan Pervaginam

Irreguler

A

Banyak

A

Perdarahan yang tidak jelas sebabnya

C

Endometriosis

D

Tumor Ovarium Jinak

A

Dismenorea Berat

A

Penyakit Trofoblas

Jinak

A

Ganas

C

Ektropion Serviks

A

Neoplasia Intraepitelial Serviks

A

Penyakit Mammae

Massa tidak terdiagnosis

A

 

Penyakit Mamma Jinak

A

 

Riwayat Kanker dalam Keluarga

A

 

Kanker Mammae saat ini

B

 

Kanker Mammae riwayat lampau, dan Tidak Kambuh dalam 5 Tahun

A

Kanker Endometrium

 

C

Kanker Ovarium

 

C

Fibroma Uterus

Tanpa Gangguan Kavum Uteri

B

 

Dengan Gangguan Kavum Uteri

B

Penyakit Radang Panggul

Riwayat PRP dengan Kehamilan Berikutnya

A

 

Riwayat PRP tanpa Kehamilan

B

 

Saat ini

C

Infeksi Menular Seksual

Purulen servisitis/infeksi klamidia/gonorea

C

IMS Lain ( Kecuali HIV dan Hepatitis)

A

Vaginitis

A

Resiko IMS Meningkat

A

HIV/AIDS

Resiko Tinggi HIV

A

Terinfeksi HIV

A

AIDS

D

Infeksi Lain

Skistosomiasis

Tanpa Komplikasi

A

Fibrosis Hati

B

Tuberkulosis

Nonpelvis

A

Pelvis

D

Malaria

A

Penyakit Endokrin

Diabetes

Riwayat Diabetes Gestasional

A

Non-Insulin Dependen

B

Insulin Dependen

B

Nefropati/renopati/neuropati

D

Penyakit vascular lain/Diabetes > 20 tahun

D

Penyakit Tiroid

Goiter

A

Hipertiroid

D

Hipotiroid

B

Penyakit Gastrointestinal

Penyakit Kantung Empedu

Terapi Kolesistektomi

A

Diobati dengan Obat Saja

A

Simptomatik Saat ini

C

Asismtomatik

A

Riwayat Kolestasis

Berhubungan dengan kehamilan

A

Berhubungan dengan pil kontrasepsi

A

Hepatitis Virus

Aktif

C

Carier

A

Sirosis

Ringan

B

Berat

D

Tumor Hati

Jinak (Adenoma)

B

Malignan (Hepatoma)

B

Kelainan pada Darah

Talasemia

 

B

Anemia Bulan Sabit

 

B

Anemia Defisiensi Fe

Hb < 7gr%

C

 

Hb 7 – 10 gr%

B

Kelainan Lain yang Relevan dengan MOW

Infeksi Kulit Abdomen

C

Gangguan Peredaran Darah

D

Penyakit Paru

Bronkhitis, pneumonia

C

Asthma, Emfisema, Infeksi Paru

D

Infeksi Sistemik/Gastroenteritis

C

Perlekatan uterus oleh karena pembedahan/infeksi lampau

D

Hernia Umbilikalis atau Abdomen

D

Hernia Diagfragmatikus

B

Penyakit Ginjal

B

Defisiensi Gizi Berat

B

Pembedahan Abdomen/Pelvik Terdahulu

B

Strerilisasi bersamaan dengan Pembedahan Abdominal

Elektif

B

 

Emergency

C

Keadaan Infeksi

C

Strerilisasi bersamaan dengan Sectio Sesarea

A

Syarat untuk dapat melakukan MOW menurut buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi diantaranya:

·      Usia > 26 tahun.

·      Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya.

·      Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius.

·      Pasca persalinan.

·      Pasca keguguran.

·      Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur

Tabel 2.4 Keadaan yang memerlukan kehati-hatian (Saifuddin, 2011)

Keadaan

Anjuran

Masalah – masalah medis signifikan (misalnya penyakit jantung atau pembekuan darah, Penyakit Radang Panggul Sebenlumnya / sekarang, obesitas diabetes.

Klien dengan masalah medis yang signifikan menghakekati penatalaksanaan lanjutan dan bedah yang khusus. Misalnya, prosedur ini harus dilakukan di rumah sakit tipe A atau B atau fasilitas swasta dan bukan di sebuah ambulatory facility. Bila memungkinkan, masalah – masalah medis yang signifikan sebaiknya din kontrol proses pembedahan.

Anak tunggal dan /atau dengan tanpa anak sama sekali

Nasihat yang sangat hati-hati dan membutuhkan yang bijak. Bantulah klien untuk memilih metode yang lain, bila perlu.

Sedangkan yangsebaiknya tidak menjalani tubektomi, diantaranya:

·       Hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai).

·       Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus dievaluasi).

·       Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (hingga masalah itu disembuhkan atau dikontrol).

·       Tidak boleh menjalani proses pembedahan.

·       Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan.

·       Belum memberikan persetujuan tertulis.

(Affandi, 2012)

2.3.4   Waktu untuk Melakukan MOW

(1)   Dapat dilakukan setiap saat selama klien tidak hamil, apabila ingin melakukan prosedur ini klien disarankan memakai kondom pada siklus menstruasi sebelum dilakukan prosedur untuk memastikan tidak ada sperma didalam tuba fallopii yang dapat membuahi sebuah ovum yang dilepaskan sesaat setelah pembedahan yang kemudian mengakibatkan kehamilan ektopik.

(2)   Hari ke 6 sampai ke 13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi).

(3)   Pascapersalinan (48 jam pertama atau setelah 6 minggu, jika ingin dilakukan diluar waktu tersebut, klien sudah di imunisasi (Tetanus Toxoid), dan mendapat lindungan antibiotik maka tubektomi dapat dilaksanakan oleh operator yang berpengalaman.

(4)   Pasca keguguran segera atau dalam 7 hari pertama, selama tidak ditemukan komplikasi infeksi pelvis (Anggraini, 2011).

2.3.5        Mekanisme MOW

Dengan mengoklusi tuba falopii (mengikat atau memotong atau memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum (Affandi, 2011).

1)   Cara mencapai tuba

(1)     Laparoskopi

Adalah suatu pemeriksaan endoskopik dari bagian dalam rongga peritoneum dengan alat laparoskop yang dimasukkan melalui dinding anterior abdomen. Keuntungan laparoskopi yaitu komplikasi rendah dan pelaksanaannya cepat (rata-rata 5-15 menit), insisi kecil sehingga luka parut sedikit sekali, dapat dipakai juga untuk diagnostik maupun terapi, kurang menyebabkan rasa sakit bila dibandingkan dengan mini laparotomi, sangat berguna bila jumlah calon akseptor banyak. Kerugian laparoskopi resiko komplikasi dapat serius (bila terjadi), lebih sukar dipelajari, memerlukan keahlian dan keterampilan dalam bedah abdomen, harga peralatanya mahal dan memerlukan perawatan yang teliti, tidak dianjurkan untuk digunakan segera post-partum

(2)     Mini laparotomi

Adalah sterilisasi tuba yang dilakukan melalui suatu insisi suprapubik kecil dengan panjang biasanya 3-5 cm. Minilaparotomi merupakan metode sterilisasi wanita yang paling sering dilakukan di seluruh dunia karena keamananya, kesederhanaannya, dan kemudahan adaptasinya terhadap lingkungan bedah. Keuntungan minilaparotomi dapat dikerjakan oleh setiap tenaga medis yang memiliki dasar-dasar ilmu bedah dan keterampilan bedah, hanya memerlukan alat-alat yang sederhana dan tidak mahal terutama alat-alat bedah standar, komplikasi umumnya hanya komplikasi minor dan dapat dilakukan segera setelah melahirkan. Kerugian minilaparotomi yaitu waktu operasi sedikit lebih lama dibandingkan dengan laparoskopi yang rata-rata memerlukan 10-20 menit, sukar pada wanita yang sangat gemuk bila ada perlekatan-perlekatan pelvis atau pernah mengalami operasi pelvis, operasi ini meninggalkan bekas luka parut kecil yang masih dapat terlihat, rasa sakit abdomen yang singkat karena luka insisi terjadi pada 50% wanita, angka kejadian infeksi luka operasi lebih tinggi dibandingkan dengan laparoskopi (Anggraini, 2011).

2)   Cara penutupan tuba

(1)     Cara Pomeroy

  Tuba dijepit kira-kira pada pertengahannya, kemudian diangkat sampai melipat. Dasar lipatan diikat dengan sehelai catgut no. 0 atau no. 1. Lipatan tuba kemudian dipotong diatas ikatan catgut tadi. Tujuan pemakaian catgut biasa ini ialah agar lekas diabsorbsi, sehingga kedua ujung tuba yang dipotong lekas menjauhkan diri, dengan demikian rekanalisasi tidak dimungkinkan.

(2)     Cara Kroener

Fimbria dijepit dengan sebuah klem. Bagian tuba proksimal dari jepitan diikat dengan sehelai benang sutera, atau dengan catgut yang tidak mudah diabsorbsi. Bagian tuba distal dari jepitan dipotong (frimbiektomi)

(3)     Cara Irving

Tuba dipotong pada pertengahan panjangnya setelah kedua ujung pemotongan diikat dengan catgut kromik no. 0 atau 00. Ujung potongan proksimal ditanamkan di dalam myometrium dinding depan uterus. Ujung potongan distal ditanamkan di dalam ligamentum latum.Dengan acara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin terjadi.Cara tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomy besar seperti seksio sesarea.

(4)     Pemasangan cincin Falope

Cincin Falope ( Yoon ring ) terbuat dari silicon, dewasa ini banyak digunakan. Dengan aplikator bagian ismus tuba ditarik dan cincin dipasang pada bagian tuba tersebut. Sesudah terpasang lipatan tuba tampak keputih-putihan oleh karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi Jibrotik. Cincin Falope dapat dipasang pada laparotomy mini, laparoskopi atau dengan laprokator.

(5)     Pemasangan Klip

Berbagai jenis klip telah dikembangkan untuk memperoleh kerusakan minimal agar dapat dilakukan rekanalisasi bila diperlukan kelak. Klip Filshie mempunyai keuntungan dapat digunakan pada tuba yang edema. Klip Hulka-Clemens digunakan dengan cara menjepit tuba. Oleh karena klip tidak memperpendek panjang tuba, maka rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan.

(6)     Elektro-koagulasi dan pemutusan tuba

Cara ini dahUlu banyak dikerjakan pada tubektomi laparoskopik. Dengan memasukan grasping forceps melalui laparoskop tuba dijepit kurang lebih 2 cm dari koruna diangkat menjahui uterus dan alat-alat panggul lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba terbakar kurang lebih 1 cm ke proksimal dan distal serata mesosalping terbakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi  tuba tampak menjadi putih, menggembung lalu putus. Cara ini sekarang banyak ditinggalkan (Wiknjosastro, 2005).

2.3.6         Pelaksanaan Pelayanan Metode Operatif Wanita (MOW)

         1) Persiapan Klien

a. Konseling

Konseling merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan kontap.Tujuannya ialah untuk membantu calon akseptor kontap memperoleh informasi lebih lanjut mengenai kontap, dan pengertian yang lebih baik mengenai dirinya, keinginannya, sikapnya, kekhawatirannya, dan sebagainya, dalam usahanya untuk memahami, dan mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya.

b. Syarat-Syarat

1.   Syarat sukarela meliputi:

a.    Bahwa pada saat ini selain kontap masih ada kontrasepsi lainnya yang dapat digunakan untuk menjarangkan kehamilan, tetapi mereka tetap memilih kontap untuk menciptakan keluarga kecil.

b.   Telah dijelaskan bahwa kontap merupakan tindakan bedah dan setiap tindakan bedah selalu ada risikonya, walaupun dalam hal ini kecil, tetapi mereka yakin akan kemampuan dokter yang melaksanakannya dan faktor risiko dianggap oleh mereka hanya faktor kebetulan saja.

c.    Bahwa kontap adalah kontrasepsi permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali, oleh karena itu mereka sulit untuk mempunyai keturunan lagi, tetapi mereka dengan sadar memang tidak ingin untuk menambah jumlah anak lagi untuk selamanya.

d.   Bahwa mereka telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan maksud pilihan kontrasepsinya, tetapi tetap memilih kontap ini sebagai kontrasepsi bagi mereka.

2.   Setelah keempat syarat sukarela tersebut dipenuhi belum berarti mereka dapat segera dilakukan kontap. Nilai ukur untuk dikatakan bahwa keluarga tersebut adalah keluarga bahagia pun harus dipenuhi pula. Nilai ukur ini dapat diketahui saat konseling dengan wawancara tertentu, antara lain diketahui bahwa suami istri ini terikat dalam perkawinan yang sah, harmonis, dan telah mempunyai sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup, dengan umur anak terkecil 2 tahun dan umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun. Ditetapkannya umur anak terkecil disebabkan angka kematian anak di Indonesia masih tinggi , dan ditetapkannya umur istri disebabkan pada beberapa daerah tertentu angka perceraian juga masih tinggi.

3.   Setelah syarat bahagia ini dipenuhi, syarat medik kemudian dipertimbangkan, termasuk pemeriksaan fisik, ginekologik dan laboratorik.

2)   Persiapan Medik

a.    Ruang Operasi

·   ruang operasi harus tertutup dengan pintu yang dapat dikunci dan harus jauh dari daerah sibuk.

·   penerangan yang cukup

·   mempunyai ventilasi yang baik.

·   ada air bersih yang mengalir

·   tempat cuci tangan dekat dengan ruang operasi dan ruangan ganti pakaian

·   tersedia pula tempat atau kantong plastik yang dapat ditutup rapat dan bebas dari kebocoran untuk pembuangan limbah.

b.   Persiapan Klien

·      Klien dianjurkan mandi sebelum mengunjungi tempat pelayanan. Bila tidak sempat, minta klien untuk membersihkan bagian abdomen/perut bawah, pubis dan vagina dengan sabun dan air.

·      Bila menutupi daerah operasi, rambut pubis cukup digunting (bukan/tidak dicukur). Pencukuran hanya dilakukan apabila sangat menutupi daerah operasi dan waktu pencukuran adalah sesaat sebelum operasi dilaksanakan.

·      Bila menggunakan elevator atau manipulator rahim, sebaiknya dilakukan pengusapan larutan antiseptik (misal Povidon lodin) pada serviks dan vagina (terutama klien masa interval).

·      Setelah pengolesan Betadin/Povidon Iodin pada kulit, tunggu 1 - 2 menit agar jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme dengan baik.

c.    Kelengkapan untuk Klien dan Petugas Ruang Operasi

·   Klien menggunakan pakaian operasi. Bila tidak tersedia, kain penutup yang bersih dapat dipergunakan untuk klien.

·   Operator dan petugas kamar operasi harus dalam keadaan siap (mencuci tangan, berpakaian operasi, memakai sarung tangan, topi, dan masker) saat berada di ruang operasi.

·   Masker harus menutupi mulut dan hidung, bila basah/lembab harus diganti.

·   Topi harus menutupi rambut.

·   Sepatu luar harus dilepas, ganti dengan sepatu atau sandal yang tertutup yang khusus dipergunakan untuk ruang operasi.

d.   Pencegahan Infeksi

Sebelum pembedahan

              Operator dan petugas mencuci tangan dengan menggunakan larutan antiseptik, serta mengenakan pakaian operasi dan sarung tangan steril.

·  Gunakan larutan antiseptik untuk membersihkan vagina dan serviks.

·  Usapkan larutan antiseptik pada daerah operasi, mulai dari tengah kemudian me­luas ke daerah Mar dengan gerakan memutar hingga bagian tepi dinding perut. Untuk klien pasca persalinan bersihkan daerah pusat/umbilikus dengan baik. Tunggu 1 - 2 menit agar jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mi­kroorganisme dengan baik.

Selama pembedahan

·  Batasi jumlah kegiatan dan petugas di dalam ruang operasi.

·  Pergunakan instrumen, sarung tangan dan kain penutup yang steril/DTT.

·  Kerjakan dengan keterampilan dan teknik yang tinggi untuk menghindarkan trau­ma dan komplikasi (perdarahan).

·  Gunakan teknik "pass" yang aman untuk menghindari luka tusuk instrumen.

Setelah pembedahan

·  Sementara menggunakan sarung tangan operator dan/atau petugas ruang operasi harus membuang limbah ke dalam wadah atau kantong yang tertutup rapat dan bebas dari kebocoran.

·  Lakukan tindakan dekontaminasi pada instrumen atau peralatan yang akan diper­gunakan sebelum dilakukan pencucian, dekontaminasi dengan larutan klorin 0,5%.

·  Lakukan dekontaminasi pada meja operasi, lampu, meja instrumen atau benda lain yang mungkin terkontaminasi/tercemar selama operasi dengan mengusapkan larutan klorin 0,5%.

·  Lakukan pencucian dan penatalaksanaan instrumen/peralatan seperti biasa.

·  Cuci tangan setelah melepas sarung tangan.

e.    Premedikasi dan Anestesi

Anestesi lokal yang menggunakan Lidokain 1% dianggap lebih aman dibandingkan dengan anestesi umum atau konduksi (spinal/epidural) terutama bila dilaksanakan/diperlakukan sebagai klien rawat jalan. Penggunaan anestesi umum mungkin akan meningkatkan komplikasi respiratory depression (misalnya aspirasi atau henti jantung) akibat kesalahan pemberian bahan anestesi, teknik yang tidak tepat, pemantauan yang kurang baik, dan gagal melakukan intubasi. Juga fasilitas mungkin tidak lengkap untuk menangani komplikasi akibat anestesi umum.

Pada penggunaan anestesi lokal atau anestesi lokal yang dimodifikasi, dianjurkan:

·   Agar pemberian anestesi sebaiknya dilakukan oleh operator atau asistennya.

·   Klien dan penanganan efek samping perlu mendapat pemantauan.

·   Dosis sebaiknya diberikan dalam unit/kg untuk menghindari pemberian yang berlebihan dan klien ditangani secara individual.

·   Peralatan dan obat darurat harus tersedia.

Tabel 2.5 Obat Anestesi untuk MOW (Saifuddin, 2011)

     Obat

Regimen

Dosis Umum

Dosis Maksimum

Unit/kg

Kline 40-50 kg

Atropin

0,01 mg

0,4 mg

0,6 mg

Diazepam

Alternatif :

Midazolam (Versed®)

0,10

 

0,05 mg

5 mg

 

2,5 mg

10 mg

 

3 mg

Meperidin (Pethidin®)

Alternatif :

Ketamine (ketalar)

1 mg

 

0,5 mg

50 mg

 

25 mg

75 mg

 

-

Bila klien membutuhkan tambahan obat agar lebih nyaman : Meperidin

 

 

2,5 mg

 

-

Lidokain 1%

·        Analgesik

 

 

 

 

·        Analgesik lokal

 

Sampai 5 cc/tuba

 

 

 

 

Maks.300 mg/ 20cc

 

5 ml 1% Lidokain (Xylocaine®, lingo caine®) untuk setiap tuba 5 ml 0,5 Bupi vakain (Marcaine®) lidokain gel 2%.

Lidokain (Xylocaine®, Lignocaine®) 1% 20 cc (maksimal 300 mg), Bupivakain (Marcaine®) 0,5% 20 cc (maksimum 125 mg)

 

 

  Semua pemberian intravena sebaiknya menggunakan set infus dan cairan seperti dekstrose, garam fisiologik atau ringer laktat. Obat sebaiknya diberikan perlahan-lahan (di atas 2 menit ). Harus diingat bahwa midazolam empat kali lebih kuat daripada diazepam.

  Perhatikan kondisi berikut pada pemberian anestesi lokal.

· Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan tubektomi harus mengetahui dan menguasai penggunaan obat-obat anestesi.

· Obat untuk keadaan darurat, demikian pula peralatan lainnya, harus sudah tersedia sebelum melakukan tindakan bedah dan petugas yang ada harus menge­tahui cara penggunaannya.

· Sebaiknya tersedia dokter spesialis anestesi atau perawat/penata anestesi ketika menggunakan anestesi umum.

2.3.7   Penanganan Komplikasi

Tabel 2.6 Penanganan atas komplikasi yang mungkin terjadi pada MOW (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2011)

Komplikasi

Penanganan

Infeksi luka.

Apabila terlihat infeksi luka, obati dengan uperficia.  Bila terdapat abses, lakukan drainase dan obati seperti yang terindikasi.

Demam pasca operasi (> 38° C).

Obati infeksi berdasarkan apa yang ditemukan.

Luka pada kandung kemih, in- testinal     (jarang terjadi).

Mengacu ke tingkat asuhan yang tepat. Apabila kandung kemih atau usus luka dan diketahui sewaktu operasi, lakukan reparasi primer. Apabila ditemukan pasca operasi, dirujuk ke rumah sakit yang tepat bila perlu.

Hematoma (subkutan).

Gunakan packs yang hangat dan lembab di tempat tersebut. Amati; hal ini biasanya akan berhenti dengan berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan drainase bila ekstensif.

Laparoskopi (sangat jarang ter-jadi).

Ajukan ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah resusitasi intensif, termasuk:

cairan intravena, resusitasi kardio uperfici, dan tindakan penunjang kehidupan lainnya.

Rasa sakit pada lokasi pembe-dahan.

Pastikan adanya infeksi atau abses dan obati berdasarkan apa yang ditemukan.

Perdarahan   uperficial       (tepi-tepi kulit yang atau subkutan)

Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan apa yang ditemukan.

 

2.4   Manajemen Asuhan Kebidanan

I.Pengumpulan Data Klien

       Data Subjektif

          Anamnesa dilakukan untuk memperoleh data subjektif dari pasien atau klien.

1. Identitas ibu dan suami

·       Nama

Mempermudah dalam pembuatan akte / surat kelahiran, dan mengantisipasi kesalahan pemberian asuhan jika nama klien sama.

·         Umur

Mengetahui apakah ibu termasuk tergolong pada ibu dengan faktor resiko. Umur ibu yang dipersayaratkan untuk MOW adalah lebih dari 26 tahun.

·         Pendidikan

Mengetahui tingkat pengetahuan sehingga mudah dalam pemberian informasi dan edukasi, karena tingkat pendidikan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang terhadap masalah kesehatannya

·         Pekerjaan

Mengetahui tingkat perekonomian keluarga ibu  dan pekerjaan ibu.

·         Alamat dan  nomor telepon

Mempermudah untuk menghubungi ibu atau keluarga terdekat ibu apabila menemukan masalah yang perlu diberitahukan dalam pemberian asuhan kebidanan.

2. Keluhan Utama        

Keadaan yang paling mengganggu ibu. Pada ibu yang akan menghadapi MOW didapatkan keluhan rasa cemas saat sebelum dilakukannya operasi.

 

3.  Riwayat Menstruasi

            Mengetahui kapan mens terakhir ibu untuk memastikan bahwa ibu sedang tidak hamil.

4. Riwayat Kontrasepsi

Mengetahui alat kontrasepsi apa saja yang telah digunakan oleh ibu selama ini dan memastikan tidak ada komplikasi dari pemakaian KB sebelumnya.

5. Riwayat Obstetri

Mengetahui ada tidaknya riwayat obstetri yang menguatkan indikasi medis untuk dilakukan MOW pada seorang perempuan.

6. Status Perkawinan

·         Usia pertama kali kawin

Mengetahui apakah ibu kawin untuk pertama kali dalam usia reproduksi ( 20 – 35 tahun) dimana jika ibu kawin pertama kali pada usia ≤ 18 tahun atau ≥ 35 tahun merupakan  usia yang ekstrim yang merupakan faktor predisposisi yang dapat menimbulkan komplikasi pada ibu.

·         Lama perkawinan                   

Menilai apakah ibu tergolong infertilitas primer, infertilitas sekunder atau bayi merupakan anak ”mahal”.

·         Suami Keberapa

Digunakan untuk mengetahui apakah suami ibu memiliki risiko untuk menularkan PMS karena dapat menyebabkan penyakit ginekologik pada ibu.

7. Riwayat Penyakit Sistemik Yang Pernah dan atau Sedang Diderita

1.        Jantung

Pada ibu yang didapatkan adanya hipertensi sebagai akibat dari retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron. Untuk Persyaratan MOW jika didapatkan tekanan darah sistolik 140-160 mmHg dan diastolik 90-100 mmHg, maka tindakan kontrasepsi mantap MOW dapat dilakukan tetapi dengan persiapan dan kewaspadaan khusus.

2.        Ginjal      

Pada ibu yang menderita penyakit ginjal, biasanya didapati keluhan mual muntah, sesak nafas, hipertensi. Hal yang perlu diwaspadai untuk calon akseptor MOW adalah jika efek dari penyakit ginjalnya pada tekanan darah, karena untuk dilakukan MOW diperlukan persiapan dan penanganan khusus.

3.        Hepatitis

Bila terdapat anoreksia, mual, muntah, febris, hepatomegali, ikterus jika termasuk kategori aktif maka sebaiknya tindakan kontrasepsi mantap (MOW) ditunda sampai kondisi medis diperbaiki, tetapi jika karier dapat dilakukan MOW.

4.        Diabetes Melitus

Bila ada tiga tanda utama yang biasanya terdapat pada penderita diabetesmellitus yaitu poliuri(sering kencing), polidipsi (sering haus) dan poli phagi (sering lapar). Diabetes mellitus merupakan kontraindikasi dilakukannya MOW.

8. Riwayat Kesehatan dan Penyakit Keluarga ( Keturunan)

1.        Jantung

Bila ditandai dengan mudah lelah, jantung berdebar, sesak napas, angina pektoris, pembesaran vena jugularis, oedema, tangan berkeringat, hepatomegali, takhikardi, kardiomegali.

2.        Hipertensi

Pada ibu dengan hipertensi, cenderung ada anggota keluarga yang pernah menderita hipertensi, baik dari keluarga ibu maupun keluarga suami.

3.        TBC ( menular)

Bila pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah), tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum, batuk yang lama terutama pada malam hari, pembesaran kelenjar limfe.

4.        Ginjal

Bila ditandai dengan fatigue, malaise, gagal tumbuh, pucat, lidah kering, poliguria, hipertensi, proteinuria, nokturia.

5.        Hepatitis ( menular)

Bila terdapat anoreksia, mual, muntah, febris, hepatomegali, ikterus.

6.        Asma

Bila ditandai dengan napas pendek, berbunyi (wheezing), batuk-batuk (tersering padamalam hari), napas atau dada seperti tertekan.

7.        Diabetes Melitus

Bila ada anggota keluarga yg menderita DM, dengantiga tanda utama yang biasanya terdapat pada penderita diabetes mellitus yaitu poliuri(sering kencing), polidipsi (sering haus) dan poliphagi (sering lapar)

9. Pola Fungsi Kesehatan / Pola Kebiasaan Sehari - hari

a.       Nutrisi dan hidrasi

Untuk prosedur MOW, Ibu yang akan melakukan operasi harus di puasakan minimal 8 jam sebelumnya.

b.      Eliminasi

Ibu yang akan dilakukan operasi, kandung kemih dan rektum dalam keadaan kosong

c.         Aktivitas dan istirahat

Untuk memantau keadaan ibu, karena ibu yang akan menjalani operasi keluhan utamanya cemas akan menghadapi operasi yang berakibat kurangnya istirahat.

10. Riwayat psikososial budaya

Perlu dikaji apakah suami dan istri telah yakin dan  untuk melakukan MOW.

 

       Data Objektif

1. Pemeriksaan  Umum

Mengetahui keadaan ibu, status gizi, kelainan bentuk badan dan kesadaran serta untuk mengetahui perubahan –perubahan fisik pada ibu.

1)      Kesadarannya composmentis dengan tanda-tanda bisa atau tidak timbal balik dalam berkomunikasi.

2)      Keadaan emosional baik bila bisa diajak berkomunikasi dan mau bekerjasama.

3)      Tanda – tanda vital

Penilaian tekanan darah, temperature tubuh, jumlah dan frekuensi pernafasan dan denyut nadi.

1). Denyut Nadi                 : 76-88 kali/menit

2). Pernapasan                    : 16-24 kali/menit

3). Suhu                              : 36,5-37,5 C

4). Tekanan Darah              : 110-120/70-80 mmHg

2. Pemeriksaan Fisik

Mengetahui adanya penyulit / kelainan yang timbul pada ibu.

Inspeksi, Palpasi, Perkusi

Muka                      :    oedem atau tidak.

Mata                       :    sklera putih dan konjungtiva merah muda

Leher                      :    Tidak ada pembesaran kelenjar limfe, tidak  ada bendungan vena jugularis, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Abdomen               :    Tidak ada nyeri, tidak ada massa, tidak ada pembesaran uterus

Genitalia                :    Tidak oedem, tidak ada varises

                 Ekstrimitas

Atas                        : Tidak ada oedem, simetris

Bawah                    : Tidak ada varises, tidak ada oedem, simetris

3. Pemeriksaan Penunjang

                 Lab Hematologi (darah lengkap) sebagai persiapan operasi MOW, karena bila anemia berat, DM, ada kelainan pembekuan darah, hepatitis, serta infeksi sistemik yang akut, maka proses MOW tidak dapat dilaksanakan.

       II.  Perumusan Diagnosa dan Masalah

Identifikasi Diagnosa, Masalah dan Kebutuhan

Diagnosa            : PAPAHpre / post MOW

Masalah              : keluhan yang dirasakan oleh ibu yang akan menghadapai operasi adalah gangguan rasa cemas

Kebutuhan         : Konseling

III. Antisipasi Diagnosa dan Masalah Potensial

Mengidentifikasi diagnosa dan masalah potensial sesuai dengan diagnosa dan masalah yang sudah diidentifikasi

Diagnosa                        : PAPAHpre / post MOW

Masalah  Potensial          : infeksi luka,  hematoma, perdarahan superfisial

Antisipasi                      : konseling bila terdapattanda infeksi pada luka bekas jahitan

IV. Identifikasi Kebutuhan Tindakan Segera

Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien.Tidak ada tindakan segera yang dibutuhkan dalam kasus MOW.

VI.   Perencanaan

1.      Beritahukan hasil pemeriksaan pada ibu.

       R/ Agar ibu tahu dan mengerti mengenai keadaan ibu saat ini.

2.      Observasi keadaan umum, keluhan, TTV, kandung kemih, pemeriksaan abdomen.

       R/ Agar dapat mengambil tindakan lebih lanjut apabila terdapat            ketidaknormalan.

3.      Berikan dukungan psikologi kepada ibu dalam menghadapi perubahan fisik, psikologis, dan peran sosial yang dialaminya.

       R/ Agar Ibu lebih tenang dan menerima keadaannya saat ini.

4.      Berikan KIE (Konsultasi, Informasi, dan Edukasi) kepada Ibu mengenai kebutuhan nutrisi, mobilisasi, personal hygiene, eliminasi, istirahat,.

       R/ Agar  Ibu memperbaiki pola nutrisi, mobilisasi, personal hygiene, eliminasi,             dan istirahat.

5.      Konsultasi dan kolaborasi dengan dokter obgyn untuk perawatan luka pemberian terapi antibiotik dan analgesik yang tepat.

       R/ Agar luka kering dan menutup sempurna serta tidak terjadi infeksi.

6.      Menjadwalkan kunjungan ulang untuk kontrol jahitan.

       R/ Agar keadaan jahitan ibu dan kondisi post op dapat terpantau.

VII.          Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan asuhan kebidanan yang diberikan kepada ibu sesuai dengan keadaan dan kebutuhan ibu yang mengacu pada perencanaan.

VIII.       Evaluasi

Tindakan pengukuran antara keberhasilan dalam melaksanakan tindakan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan tindakan yang dilakukan sesuai kriteria hasil yang ditetapkan dan apakah perlu untuk melakukan asuhan lanjutan atau tidak.

 

 

 

 

 

 

BAB 3

TINJAUAN KASUS

DATA SUBYEKTIF

Tanggal MRS                    : 18 Pebruari 2019

Tanggal pengkajian           : 19 Pebruari 2019

Jam pengkajian                  : 09.30 WIB

Tempat                              : Premed Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

No. RM                             : 56.89.xx

1.      IDENTITAS

Nama ibu

:

Ny. S.

Nama suami

:

Tn. S.

Umur

:

41 tahun

Umur

:

44 tahun

Agama

:

Islam

Agama

:

Islam

Suku

:

Jawa

Suku

:

Jawa

Pendidikan

:

SD

Pendidikan

:

SMA

Pekerjaan

:

Swasta

Pekerjaan

:

Swasta

Alamat

:

Wonoayu

 

 

 

2.      Keluhan Utama

Ibu merasa cemas karena akan menjalani operasi

3.      Riwayat menstruasi

HPHT

:

24-10-2018

Siklus

:

Tidak teratur

Lama

:

3-6 hari

Fluor albus

:

Tidak ada

Dysmenorhea

:

Jarang

4.      Riwayat obstetri lalu

Kehamilan

Persalinan

Anak

Nifas

KB

Suami ke

Anak  ke

UK

Pylt

Penol

Jenis

Tmpt

Pylt

JK

BB

H/M

Pylt

ASI

1

1

9 bl

-

Bidan

Spt

PMB

-

L

2500 gr

21 th

-

2 th

Stk

2

9 bl

-

Bidan

Spt

PMB

-

L

3200 gr

17 th

-

2 th

Stk

2

3

9 bl

-

Bidan

Spt

PMB

-

L

3000 gr

16 bl (M)

-

1 th

Stk

4

9 bl

-

Bidan

Spt

PMB

-

L

3200

8 th

-

2 th

Stk

5

HAMIL INI  dd mola hidatidosa

5.      Riwayat kehamilan dan persalinan ini

Pada kehamilan ini melakukan ANC pertama kali pada bulan November 2018 di Sp. OG Klinik Surabaya dengan keluhan telat menstruasi. Pada bulan Desember 2018 ANC dengan keluhan keluar flek darah sedikit, diberikan terapi penguat kandungan. Pemeriksaan selanjutnya pada bulan Pebruari 2019 pemeriksaan ANC dengan keluhan flek semakin banyak karena kecapekan, dilakukan pemeriksaan penunjang USG dengan hasil janin tidak berkembang dan dilakukan rujukan ke Rumkital Dr. Ramelan

Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa USG transvaginal  di Rumkital Dr. Ramelan dengan hasil ditemukan hamil mola hidatidosa + kista ovarium kanan + susp. hematocele disarankan untuk kuretase dan kistektomi.

6.      Riwayat kontrasepsi

Ibu menggunakan kontrasepsi pil selama 2 bulan sebelum kehamilan anak pertama, dilanjutkan kontrasepsi suntik 3 bulan selama 3 tahun setelah kelahiran anak pertama hingga kehamilan kedua, 2 tahun dari kelahiran anak kedua ke kehamilan anak ketiga, 4 tahun dari kelahiran anak ketiga ke kehamilan keempat, dan 7 tahun dari kelahiran anak keempat ke kehamilan sekarang (kelima). Ibu melepas kontrasepsi suntik 3 bulan karena merencanakan untuk hamil lagi. Total penggunaan kontrasepsi 3 bulan selama 16 tahun.

Saat ini ibu menginginkan untuk kontrasepsi MOW, suami menyetujui kontrasepsi yang dipilih ibu. Ibu beserta suami memahami resiko dari kontrasepsi MOW berupa kontrasepsi mantap yang efektivitas tinggi dan peluang kembali subur rendah.

7.      Riwayat penyakit ibu

Tidak sedang atau pernah menderita penyakit menurun seperti jantung, ginjal, hipertensi DM, dan asma, tidak sedang atau pernah pernah menderita penyakit menular seperti TBC, hepatitis, dan PMS.

 

8.      Riwayat penyakit keluarga

Keluarga tidak ada yang sedang atau pernah menderita penyakit menurun seperti jantung, ginjal, DM, hipertensi, asma dan tidak ada yang sedang atau pernah menderita penyakit menular seperti TBC, hepatitis, dan PMS.

9.      Data fungsional kesehatan

1).  Data nutrisi

       Terakhir makan tanggal 18 Pebruari 2018 jam 21.00 WIB dengan satu porsi nasi, lauk, dan sayur. Serta terakhir minum jam 24.00 WIB sebanyak 1/2 gelas air putih.

2).  Data Eliminasi

       Terakhir BAB tanggal 18 Pebruari 2018 jam 17.00 WIB dan BAK terakhir tanggal 19 Pebruari 2019 jam 06.00 WIB.

3). Data Istirahat

       Tidur malam <6 jam dikarenakan cemas

4). Data kebiasaan

       Ibu tidak mengkonsumsi alkohol, jamu-jamuan, obat-obatan tertentu, tidak merokok, tidak pijat perut, tidak narkoba dan tidak punya hewan peliharaan.

10.  Riwayat psikososial dan budaya

Pernikahan kedua ibu dengan suami, pernikahan pertama selama ±7 tahun dan pernikahan kedua selama ±15 tahun, ibu menikah pertama kali pada usia 18 tahun, ibu dan keluarga tidak mempunyai kebiasaan yang merugikan kesehatan. Kehamilan ini merupakan kehamilan yang direncanakan oleh ibu dan suami, ibu memahami resiko dari kehamilan saat ini (usia >35 tahun dan kehamilan >4 kali) berupa keguguran dan bayi lahir cacat

Ibu dan suami menyetujui melakukan kontrasepsi MOW. Ibu merasa cemas menghadapi proses operasi, ibu didampingi oleh keluarga.

DATA OBYEKTIF                                                 

1)   Pemeriksaan umum

Keadaan umum             : cukup

Kesadaran                      : compos mentis

Tanda-tanda vital

TD       : 120/70 mmHg          

S          : 36,6oC

N         : 81 x/menit                

RR       : 20 x/menit

SpO2    : 99%

Antropometri

            BB                   : 44 kg

            TB                   : 152 cm

            IMT                 : 44 kg : (1,52 m)2 = 19,04 kg/m2

2)   Pemeriksaan fisik

Wajah

:

tidak pucat dan tidak oedema

Mata

:

konjungtiva merah muda, sklera putih

Abdomen

:

tidak terdapat bekas jahitan operasi, tidak ada nyeri tekan

Ekstremitas

:

 

Tidak terdapat oedema pada ekstremitas bawah, juga tidak terdapat varises. Terpasang infus RL di tangan kanan.

Genitalia

:

Tidak ada pengeluaran darah selama di premed, terpasang DC.

3)   Data Rekam Medik

Ibu melakukan pemeriksaan penunjang di poli kandungan Rumkital Dr. Ramelan Surabaya berupa USG pada tanggal 18 Pebruari 2019 pagi dengan hasil diagnosis berupa mola hidatidosa + kista ovarium + susp. hematocele dengan advis dokter pro kuretase + pro MOW + pro kistektomi. Saat diruangan E2 sebelum tindakan operasi, pasien diberikan terapi cefazolin 2 gr sebagai antibiotik profilaksis dan tidak ada reaksi alergi.

4)   Pemeriksaan penunjang

(1)     Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Pebruari 2019

Parameter

Hasil

Satuan

Nilai Normal

Kesimpulan

HEMATOLOGI

WBC

8,03

103/uL

4,00 – 10,00

N

HGB

13,8

g/dL

13,2 – 17,3

N

PLT

337

103/uL

150 – 440

N

KIMIA

GD Puasa

123,0

mg/dL

74 – 106

N

GD 2 JPP

138,0

mg/dL

<120

N

BUN

12,0

mg/dL

10 – 24

N

Kreatinine

0,6

mg/dL

0,6 – 1,1

N

SGOT

20,0

U/L

0 – 35

N

SGPT

14,0

U/L

0 – 37

N

Albumin

4,43

g/dL

3,40 – 4,80

N

Natrium

134,7

mmol/L

135,00 – 147,00

A

Kalium

3,52

mmol/L

3,50 – 5,00

A

Chlorida

104,8

mmol/L

95,00 – 105,00

A

(2)     Hasil pemeriksaan thorax PA pada tanggal 15 Pebruari 2019

Kesan          : keradangan paru kanan atas susp. KP minimal lesion

(3)     Hasil pemeriksaan USG pada tanggal 19 Pebruari 2019

Kista                       : 4,22 cm                    

Susp. Hematocele   : 4,25 cm                                

ANALISIS DATA

Diagnosis         : G5P4003, 16/17 minggu, abortus dd mola hidatidosa + kista ovarium + susp. Hematocele dengan pro kuretase + pro MOW + pro kistektomi

 PENATALAKSANAAN

Jam

Penatalaksanaan

Ket.

19/02/19

09.30

Transfer ruang E2 ke ruang premed

-    Memeriksa formulir informed consent anestesi, kuretase dan MOW

-    KIE ulang kontrasepsi MOW berupa MOW adalah kontrasepsi mantap yang tingkat kembalinya kesuburan rendah, MOW tidak mempengaruhi siklus menstruasi, tidak mengganggu pola/gairah seksual

-    Memastikan pasien puasa pada jam yang ditentukan

-    Memastikan rambut area genetalia telah dicukur

-    Memastikan pasien tidak memakai perhiasan, lipstick, cat kuku, dan gigi palsu

Bidan,

Mahasiswa

11.45

Masuk kamar operasi

Pasien diposisikan litotomi

Bidan,

Mahasiswa

12.00

Kolaborasi dengan dokter dan perawat Anestesi untuk tindakan anestesi

Dokter Sp.An

12.15

Kolaborasi dengan dokter Sp.OG untuk tindakan kuretase, tindakan laparoskopi untuk tubektomi bilateral, dan kistektomi ovarium dekstra

Temuan saat operasi :

- Uterus membesar dalam interval normal

- Tuba dekstra dan tuba sinistra normal

- Ovarium sinistra normal

- Ovarium dekstra terdapat kista 4 cm

- Hematocele tidak ada

Dokter Sp.OG

14.00

Operasi selesai

Tidak ditemukan komplikasi dan perdarahan

Sampel hasil kuretase dan kistektomi dikirim ke bagian Patologi Anatomi

Dokter Sp.OG,

Bidan

14.40

Pasien dipindahkan ke Recovery Room

Kesadaran  : compos mentis

GCS           : 456

K. U.          : cukup

TD     : 110/60 mmHg    SpO2 : 100%

RR     : 20 x/menit          N       : 80 x/menit

Wajah      : terpasang oksigen masker

Abdomen : terpasang plester pada luka insisi tepat di bawah 

                   umbilikus dan 3 insisi pada abdomen bawah kanan dan

kiri. Plester dalam keadaan baik, tidak merembes, tidak ada perdarahan

Genetalia  : pengeluaran darah ± 5 cc, terpasang DC

Ekst.         : terpasanag IV cath menetes RL di tangan kanan

Terapi  : Ketorolac 30 mg, Antrain 1 gr, Traksamin 1gr, Tomit 10 mg, tidak ada reaksi alergi terhadap terapi yang diberikan.

Bidan,

Mahasiswa

 


CATATAN PERKEMBANGAN

Tanggal 20-02-2019  pukul 12.00 WIB (di ruang E2)

S       : Pasien mengatakan nyeri luka jahitan dan takut luka jahitan bernanah

O       :

          K.U.  : baik                        Kes.  : compos mentis

          TD    : 120/80 mmHg        N       : 90 x/menit                RR       : 20 x/menit

          S       : 37oC                       SpO2 : 97%                         GCS    : 456

          Skala nyeri      : 2

Abdomen : terpasang plester pada luka insisi tepat di bawah umbilikus dan 3 insisi pada abdomen bawah kanan dan kiri. Plester dalam keadaan baik, tidak merembes, tidak ada perdarahan

          Genetalia  : ada pengeluaran darah sedikit

          Aff infus DS dan DC pukul 09.00 WIB

A       : post kuretase + tubektomi bilateral + kistektomi dekstra a/i kista ovarium dekstra + abortus dd mola hidatidosa hari ke 1

P       :

-          Observasi TTV, perdarahan, dan keluhan

-KIE menegenai fisiologi nyeri yang dirasakan ibu, nyeri normal dirasakan pada pasien post-operasi, disarankan ibu untuk meminum obat anti nyeri yang diberikan dan tetap melakukan mobilisasi sesuai kemampuan ibu

-Terapi paracetamol 3x500 mg, Vitablet 1x1, inj. Ketorolac 2x1, inj. Transamin 2x500 mg, tidak ada reaksi alergi terhadap terapi yang diberikan.

 

 

 

CATATAN PERKEMBANGAN

Tanggal 21-02-2019  pukul 11.00 WIB (di Ruang E2)

S       : Tidak ada keluhan

O       :

          K.U.  : baik                        Kes.  : compos mentis

          TD    : 120/80 mmHg        N       : 90 x/menit                RR       : 20 x/menit

          S       : 37oC                       SpO2 : 97%                         GCS    : 456

          Skala nyeri      : 2

Abdomen : terpasang plester pada luka insisi tepat di bawah umbilikus dan 3 insisi pada abdomen bawah kanan dan kiri. Plester dalam keadaan baik, tidak merembes, tidak ada perdarahan

          Genetalia  : tidak ada pengeluaran darah

A : post kuretase + tubektomi bilateral + kistektomi dekstra a/i kista ovarium dekstra + abortus dd mola hidatidosa hari ke 2

P       :

-          Observasi TTV dan keluhan

-Konseling efektivitas MOW, seksualitas, dan mengkaji pemahaman pasien tentang MOW

-KIE perawatan luka dengan menjaga luka operasi kering dan bersih, aktivitas seksual dapat dilakukan sekiranya ibu merasa siap, tidak berpantang makanan kecuali ibu memiliki alergi, disarankan mengonsumsi makanan tinggi protein untuk membantu penyembuhan luka

-Pro KRS pada tanggal 21 Pebruari 2019 dan dijadwalkan untuk kontrol ulang pada tanggal 27 Pebruari 2019 di Klinik KB Rumkital Dr. Ramelan Surabaya atau bila ibu mengalami keluhan

 

 

 

BAB 4

PEMBAHASAN

 

Ny. S merupakan pasien rujukan ke klinik kandungan Rumkital Dr. Ramelan pada tanggal 18 Februari 2019 atas indikasi abortus mola dengan usia kandungan 16/17 minggu. Ny. S melakukan pemeriksaan kehamilan pertama kali saat usia telat haid selama 2 bulan dan dilakukan pp test positif, kemudian melakukan pemeriksaan kehamilan ke dokter kandungan, selama kehamilan Ny. S mengeluh keluar bercak darah pada bulan November dan sudah diberikan penguat kandungan oleh dokter kandungan di tempat Ny. S melakukan ANC. Pada bulan Februari Ny. S mengeluh keluar bercak darah kembali dalam jumlah lebih banyak dari sebelumnya dan di diagnosis hamil mola, akhirnya dilakukan rujukan ke Rumkital Dr. Ramelan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan ditemukan kehamilan mola, kista berukuran 4 cm, dan suspect hematokel ukuran 4 cm. Ny. S berencana untuk menggunakan kontrasepsi metode operatif wanita (MOW) dan sudah disetujui oleh suaminya, sehingga Ny. S masuk ruang perawatan di E2 Rumkital Dr. Ramelan dan dijadwalkan kuretase dan laparoskopi untuk tindakan MOW pada tanggal 19 Februari 2019.

Salah satu faktor predisposisi kehamilan mola menurut Syafii, dkk (2006) dan Jafar et al (2011) adalah faktor usia ibu yaitu risiko mola akan lebih tinggi pada usia kurang dari 20 dan diatas 35 tahun. Menurut Genest et al (2003) risiko hamil mola meningkat 5 sampai 10 kali lipat lebih besar pada wanita hamil berusia belasan atau antara 40 sampai 50 tahun. Pada kasus ini usia Ny. S adalah 41 tahun, sehingga risiko untuk terjadi hamil mola menjadi tinggi. Selain itu faktor lainnya menurut Jaffar et al (2011) adalah paritas tinggi, yaitu ibu multipara cenderung berisiko karena trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi genetik. Ny. S merupakan kehamilan ke lima dan termasuk kategori grande multipara (paritas tinggi) sehingga hal ini juga memicu ringginya risiko hamil mola. Selain itu faktor lainnya adalah riwayat kehamilan mola sebelumnya, keadaan sosial ekonomi yang rendah, diet kurang vitamin A, kekurangan protein, infeksi mikroorganisme, golongan darah (berisiko hamil mola ibu golongan darah A menikah dengan suami golongan darah O). Ny. S dilakukan pemeriksaan USG saat di Rumkital Dr. Ramelan pada saat di poli kandungan, dengan hasil pada uterus tidak terlihat janin yang berkembang. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa hasil USG pada kehamilan mola adalah akan terlihat badai salju (snow flake pattern) dan tidak terlihat janin yang berkembang, gambaran pada layar USG seperti televisi rusak.

Ny. S mengeluh keluar flek-flek sebanyak dua kali selama kehamilannya. Menurut teori menyebutkan bahwa komplikasi dari kehamilan mola adalah perdarahan yang masif. Sebelum terjadinya keguguran pada kehamilan mola, tanda awal adalah perdarahan sedikit-sedikit yang berulang, hal ini bisa menyebabkan anemia. Tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, kadar hemoglobin Ny. S dalam batas normal yaitu 13 gr/dl, hanya saja kadar Mean Corpuscular Volume (75,2 dengan nilai normal 80-100) dan Mean Corpuscular Hb (25,7 dengan nilai normal 27-34) lebih rendah dari nilai normal. Kadar MCH yang rendah bisa menyebabkan anemia defisiensi besi dan kadar MCV yang rendah menunjukkan volume yang encer yang diakibatkan oleh produksi Hb rendah karena kekurangan zat besi.

Tatalaksana yang dilakukan di Rumkital Dr. Ramelan adalah dilakukan kuretase pada Ny. S untuk membuang jaringan mola. Menurut teori untuk tatalaksana di Rumah Sakit terhadap kehamilan mola adalah tindakan kuretase dengan tujuan mengeluarkan jaringan. Kuretase dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar beta-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan. Pada kasus ini jaringan belum keluar secara spontan, namun Ny. S sudah mengeluarkan flek-flek. Sebelum dilakukan tindakan kuretase, sudah dilakukan pemeriksaan darah dan dilakukan foto thoraks, tetapi tidak ada pemeriksaan untuk kadar beta-hCG. Selain itu menurut teori menyebutkan bahwa bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan luminaria dan dilakukan kuretase 24 jam setelahnya dan jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium patologi anatomi. Hal ini sudah sesuai karena 1 hari sebelum dilakukan kuretase, Ny. S dilakukan pemasangan laminaria, dan setelah dilakukan kuretase, hasil jaringan tersebut dikirim ke laboratorium patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Karena dari kehamilan mola dapat menjadi koriokarsinoma dan trofoblast neoplasma ganas dengan angka kejadian 20%, yang ditandai dengan kadar beta-hCg yang tetap tinggi setelah kuretase bahkan cenderung meningkat serta adanya tanda-tanda metastase. Sehingga diperlukan observasi lebih lanjut pada Ny. S.

Setelah dilakukan kuretase, Ny. S dilakukan tindakan laparoskopi untuk tindakan MOW. Hal ini sudah sesuai teori yang menyebutkan bahwa penderita dianjurkan untuk memakai kontrasepsi. Hal ini dimaksudkan agar Ny. S tidak hamil lagi karena riwayat mola akan berisiko mola pada kehamilan berikutnya. Pasien dengan penderita hamil mola baru bisa hamil lagi ketika kadar beta-hCG, pemeriksaan fisis, dan foto thoraks dalam 1 tahun dinyatakan normal.

Kista ovarium (kista indung telur) berarti kantung berisi cairan, normalnya berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium) (Nugroho, 2010: 101). Kista indung telur adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan di dalam jaringan ovarium. Penyebab terjadinya kista overium menurut Wiknjosastro (2005) antara lain faktor genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan payudara, faktor lingkungan (polutan zat radio aktif), gaya hidup yang tidak sehat, ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, misalnya akibat penggunaan obat-obatan yang merangsang ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat diuretik, kebiasaan menggunakan bedak tabur di daerah vagina. Dalam hasil pengkajian Ny. S didapatkan data riwayat penggunaan riwayat kontrasepsi dari setelah kelahiran anak pertama hingga sebelum kehamilan kelima ini ibu menggunakan KB suntik 3 bulan. Hal ini merupakan faktor pendukung dari salah satu faktor penyebab yang disebutkan oleh Wiknjosastro (2005) yaitu ketidakseimbangan hormone esterogen dan progesterone. Karena pada penggunaan KB suntik 3 bulan, hormone esterogen ditekan sehingga tidak terjadi ovulasi.

Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan. Fungsi ovarium yang abnormal kadang menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur, terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium karena itu terbentuk kista di dalam ovarium (Corvin, E.J 2008: 649). Kista ovarium terbentuk oleh berbagai penyebab. Penyebab inilah yang nantinya akan menentukan tipe dari kista.

Kista yang berukuran besar atau berjumlah banyak dapat menimbulkan gejala seperti rasa sakit pada panggul, sakit pinggang, sakit saat berhubungan seksual, serta perdarahan rahim yang abnormal (Setiati, 2009). Namun kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala kecuali jika kista tersebut pecah atau terpluntir sehingga menyebabkan rasa sakit yang hebat di daerah perut bagian bawah dan daerah tersebut menjadi kaku. Hal ini didukung dengan pernyataan dari Nugroho (2010: 104), yang ,mengatakan bahwa kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala sampai periode tertentu . Pada pengkajian Ny. S mengalami nyeri saat haid namun tidak selalu/jarang. Ini merupakan salah satu gejala dari kista yang diderita Ny. S. hal ini didukung oleh Nugroho (2010) yang menyatakan bahwa tanda gejala dari kista ovarium antara lain nyeri saat menstruasi, nyeri di perut bagian bawah, nyeri saat berhubungan seksual, nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki, terkadang disertai nyeri saat berkemih atau BAB, siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar banyak, wanita post menopouse merasakan  nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau diare, obstruksi usus.

Sebagian besar dari kasus kanker ovarium bermula dari suatu kista, maka apabila pada seorang wanita ditemukan suatu kista ovarium harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah kista tersebut bersifat jinak atau ganas (kanker ovarium). Pada saat dilakukan  pembedahan laparoskopi, jaringan kista diambil untuk dikirim ke laboratorium untuk mengetahui kista tersebut bersifat jinak atau ganas. Salah satu penanganan dari kista ovarium yaitu dengan pembedahan. Teknik pembedahan yang dilakukan oleh Ny. S yaitu dengan teknik laparoskopi. Bila hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini disebut ovarian cystectomy. Setelah dilakukan pembedahan dan jaringan kista diambil untuk diperiksa, maka hasil akan pemeriksaan akan diberikan pada tanggal 27 Februari.

Kehamilan Ny. S merupakan kehamilan risiko tinggi karena faktor usia dan paritas. Ini merupakan perkawinan kedua Ny. S dan suami ingin mempunyai anak kedua dari Ny. S sehingga keduanya memutuskan untuk hamil kembali, namun akhirnya terjadi kehamilan mola. Setelah melakukan konsultasi dengan dokter kandungan, Ny. S disarankan untuk menggunakan kontrasepsi jangka panjang karena jika hamil lagi bisa muncul penyulit selama kehamilan maupun persalinan pada Ny. S. Setelah dilakukan konseling oleh pihak Rumkital Dr. Ramelan di poli kandungan, Ny. S beserta suami memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi Metode Operatif Wanita (MOW) atau steril yang merupakan kontrasepsi jangka panjang dan permanen pada wanita. Sebelum dilakukannya tindakan MOW, Ny. S dan suami sudah mengisi lembar informed consent terlebih dahulu karena kontrasepsi ini bersifat permanen. Meskipun sudah dikembangkan operasi rekanalisasi yaitu operasi dengan bedah mikro, namun angka keberhasilannya masih rendah karena teknik ini tidak saja menyambung kembali tuba fallopi dengan baik, tetapi juga menjamin kembalinya fungsi tuba.

Metode ini memerlukan prosedur bedah sehingga dilakukan di ruang operasi saat Ny. S dilakukan kuretase, kistektomi, dan terakhir adalah dilakukan prosedur MOW pembedahan dengan proses laparoskopi menggunakan teknik elektrokoagulasi. MOW memiliki angka kegagalan yang rendah dan sangat efektif untuk mencegah kehamilan serta memiliki efek samping yang sedikit, sehingga kontrasepsi ini cocok digunakan oleh Ny. S yang mempunyai usia lebih dari 35 tahun serta sudah pernah hamil lebih dari 4 kali.Syarat untuk dapat melakukan MOW menurut buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi diantaranya: usia > 26 tahun, yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya, jika hamil akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius, pasca keguguran, paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur. Berdasarkan kasus ini, syarat diatas sudah memenuhi untuk dilakukan MOW pada Ny. S.

Waktu yang tepat untuk melakukan MOW berdasarkan teori Anggraini (2011) adalah dapat dilakukan setiap saat saat tidak hamil, saat fase proliferasi, pascapersalinan, dan pasca keguguran segera atau dalam 7 hari pertama selama tidak ditemukan infeksi pelvis. Berdasarkan kasus ini, Ny. S dilakukan MOW pada pasca keguguran segera, sehingga tidak ada ketimpangan antara tindakan dengan teori. Prosedur MOW pada Ny. S dilakukan pembedahan dengan proses laparoskopi menggunakan teknik elektro-koagulasi. Berdasarkan teori Affandi (2011), salah satu cara untuk mecapai tuba bisa dilakukan dengan laparoskopi yang merupakan suatu pemeriksaan endoskopik dari bagian dalam rongga peritoneum dengan alat laparoskop yang dimasukkan melalui dinding anterior abdomen. Keuntungan laparoskopi yaitu komplikasi rendah dan pelaksanaannya cepat (rata-rata 5-15 menit), insisi kecil sehingga luka parut sedikit sekali, dapat dipakai juga untuk diagnostik maupun terapi, kurang menyebabkan rasa sakit bila dibandingkan dengan mini laparotomi, sangat berguna bila jumlah calon akseptor banyak. Teknik penutupan tuba dengan teknik Elektro-koagulasi menurut Winknjosastro (2005) merupakan teknik pemutusan tuba dengan memasukan grasping forceps melalui laparoskop, tuba dijepit kurang lebih 2 cm dari koruna diangkat menjahui uterus dan alat-alat panggul lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba terbakar kurang lebih 1cm ke proksimal dan distal serta mesosalping terbakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi,tuba tampak menjadi putih, menggembung lalu putus.

Keluhan awal yang terjadi pada post operasi hanya bersifat rasa nyeri pada daerah sayatan (Prawiroharjo, 2010). Berdasarkan kasus Ny. S mengalami nyeri pada daerah sayatan, namun rasa nyeri yang dirasakan tidak terlalu berpengaruh karena selama diruang perawatan sudah diberikan terapi anti nyeri yang diberikan untuk Ny. S.

Saat diruang perawatanm kelompok memberikan konseling mengenai efektifitas MOW, seksualitas, dan menggali berbagai pemahaman yang keliru tentang MOW. Hal ini sesuai dengan teori Sujiyantini (2009) yang menyebutkan bahwa tugas bidan harus memberikan penjelasan tentang berbagai alternatif pengendalian kehamilan permanen dan sementara, konseling difokuskan untuk membicarakan rasa takut dan pemahaman yang keliru tentang MOW ini dan kenikmatan seksual menurun tidak benar kecuali hal tersebut disebabkan oleh faktor psikis.






BAB 5

PENUTUP

5.1           Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari asuhan kebidanan akseptor baru kontrasepsi MOW dengan abortus dengan diagnose mola hidatidosa dan kista ovarium yang telah disusun adalah sebagai berikut :

1.      MOW merupakan metode kontrasepsi mantap yang memiliki efektivitas sangat tinggi (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan). MOW dapat dijalani oleh wanita berusia >26 tahun, paritas >2, yakin telah memiliki besar keluarga yang diinginkan, terdapat resiko jika terjadi kehamilan, pascapersalinan, pascakeguguran, dan sukarela setuju dengan prosedur MOW (Handayani, 2010).

2.      Banyak faktor yang dapat menyebabkan hamil mola pada Ny. S, antara lain karena usia da karena grande multipara

3.      Tatalaksana untuk hamil mola pada Ny. S yaitu dengan kuretase sudah sesuai teori.

4.      Faktor yang menyebabkan kista ovarium pada Ny. S dari hasil pengkajian yaitu ketidakseimbangan hormone karena lama penggunakan kontrasepsi.

5.      Tatalaksana untuk kista ovarium Ny.S yaitu dengan ovarian cystectomy sudah sesuai teori.

6.      Dari hasil pengkajian data subyektif dan data obyektif, dapat ditegakkan diagnosa yang tepat sesuai teori, guna merencanakan penatalaksanaan yang tepat.

7.      Penatalaksanaan yang disusun telah sesuai dengan prioritas masalah serta kebutuhan Ny.S

8.      Prosedur MOW pada Ny. S dilakukan pembedahan dengan proses laparoskopi menggunakan teknik elektro-koagulasi sudah sesuai teori.

 

 

5.2           Saran

1.    Bidan sebagai tenaga kesehatan khusunya ujung tombak kesehatan ibu dan anak hendaknya selalu meningkatkan kemampuan dan kapasitas diri dalam memberikan asuhan secara menyeluruh, mencakup segala hal yang dibutuhkan ibu akseptor kontrasepsi MOW.

2.    Mahasiswa kebidanan diharapkan mampu memahami dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam memberikan asuhan pada ibu akseptor kontrasepsi MOW secara komprehensif dan berkualitas.







DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar, Mohamad, Baziad, Ali, dan Prabowo, Prajitno,2011, Ilmu Kandungan, Jakarta :PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Baziad, A 2008,Kontrasepsi hormonal,PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Cunningham, et al. 2013. Williams Obstetrics. Ed.23. Vol.1. Jakarta : EGC.

Handayani, Sri. 2010. Buku ajar pelayanan keluarga berencana. Yogyakarta : Pustaka Rihama.

Hanretty, et al. 2014. Ilustrasi Obstetri. Ed.7. Jakarta : CV. Pentasada Media Edukasi

Irianto K. 2014. Pelayanan Keluarga Berencana Dua Anak Cukup. Bandung :Alfabeta.

Kepmenkes. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor938/Menkes/SK/VIII/2007 Tentang Standar Asuhan Kebidanan. Jakarta

Kemenkes. 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2015

Manuaba,Ida Bagus Gde,2003, Ilmu kebidanan, penyakit kandungan & Keluarga berencana untuk pendidikan bidan,ECG,Jakarta.

Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Cet.1. Jakarta : EGC.

Mochtar,Rustam,,1998, Sinopsis Obstetri,ECG, Jakarta.

Prawihardjo,S 2010, Ilmu kebidanan, PT Bina Pustaka, Jakarta.

Saifuddin A.B., et.al. 2010. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Ed.1. Cet.5. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

_________________ 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sofian A. 2013. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri Operatif Obstetri Sosial Jilid 2. Ed.3. Jakarta : EGC.

______________., 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

 (Indonesian Journal of Clinical and Medical Laboratory, Vol. 13, No.1, November 2006: 1-

____________,Pelayanan Kesehatan Ibu Di fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, Jakarta: Kemenkes Republik Indonesia

Jurnal Kesehatan, Vol.2, No.4, tahun 2009 di akses tanggal 14 September 2014

SMF Ilmu Kebidana dan Penyakit Kandungan, Pedoman Diagnosis Dan Terapi, 2008, Surabaya: RSUD dr Soetomo kerjasam dengan Universitas Airlangga

Saminem. 2010. Dokumentasi asuhan Kebidanan: Konsep dan Praktik. Jakarta: EGCSastrawinata, Sulaiman. 2005. Obstetri Fisiologi Bagian Obstetri Ginekologi FK Unpad  Bandung. Bandung: El Eman

Silfiah, Nur, 2014,PENILAIAN EKSPRESI PROTEIN p57Kip2 DENGAN PENGECATAN IMUNOHISTOKIMIA VALID DALAM MEMBEDAKAN MOLA HIDATIDOSA

http://repository.usu.ac.id/bitstream,Mola Hidatidosa,diakses tanggal 16 September 2015

Saifuddin, Abdul bari,2006, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi,PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta

TIPE KOMPLIT DAN PARSIAL ,Program Pasca Sarjana: Universitas Udayana Denpasar

Varney H., et.al., 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Ed.4. Vol.1. Jakarta : EGC.

Wiknjosastro H. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

 

 

Komentar

Trending

Evian Brumisateur Facial Spray Review

Pas lagi nyari produk untuk melembabkan wajah, banyak yang saranin buat pakai produk Evian. Aku gak tau produk apa itu dan bagaimana rupa produk tersebut. Aku coba browsing tentang produk ini dan dapet banyak kabar, katanya produk ini bagus banget. Aku tinggal di Kota Serang dan gak tau bisa dapet produknya dimana. Suatu hari nih, hehe, aku ke toko buku di Intermedia yang terletak di Ciceri Kota Serang Banten, kira-kira 15 menit dari rumah aku. Setelah selesai beli buku, aku berniat untuk beli body lotion di toko sebelah, yaitu gerai DAN+DAN. Masuk deh kesitu dan disambut sama mbak-mbak penjaganya yang ramah. Gak lama aku langsung dapet apa yang aku butuhin, namanya cewek, gakbisa banget buat nggak ngepoin produk apa aja yang dijual disana. hehe wahhhh... aku nemu nih produk yang lagi aku cari. kebetulan banget. Tapi di sana gak tertera harga Evian  Facial Spray, akhirnya aku tanya sama mbak-mbak yang nyambut aku pas dateng. Mbaknya bilang "Maaf ya label harganya bel...

Wajah Glowing dengan MS Glow (Review jujur tentang Ms Glow, baca sampai akhir yaa)

Semua perempuan pasti mendambakan wajah glowing, apalagi dengan budget yang pas-pasan. Sebelumnya aku pakai krim wajah dari salah satu klinik kecantikan ditempatku tinggal. Tapi aku ngerasa wajahku kusam, apalagi sekarang aku tinggal di kota Surabaya yang membuat aku harus bersahabat dengan matahari. Aku seorang mahasiswi di salah satu universitas negeri di Surabaya dan saat ini sedang memasuki program KKN pada akhir tahun 2017 di Gresik. Seorang mahasiswa yang sedang KKN harus lebih bersahabat dengan matahari, karena selalu melakukan kegiatan outdoor. Akibatnya wajah aku semakin kusam :( aku posting ini di tahun 2018 karena aku mau kasih review sesuai dengan pengalamanku. Akhirnya aku sharing dengan beberapa teman dan sampailah keputusanku untuk pakai Ms Glow. Awalnya aku belum tahu ternyata Ms Glow sudah buka cabang di Surabaya, aku dapet produknya dikirim temannya temenku yang tinggal di Malang, karena memang kantor pusat Ms Glow berada disana. Setelah aku melakukan konsultasi onlin...

Sudut Pertemuan

    Seseorang yang akan menemuimu di satu hari yang membahagiakan, seolah menjadi saksi bahwa ketetapan-Nya itu nyata. Seseorang yang bersedia untuk datang. Seseorang yang akan menjawab seluruh doa-doa selama masa penantian. Seseorang yang kamu minta kepada yang maha tepat.     Bisa saja ia yang selalu berada disampingmu, bisa juga ia adalah seseorang yang belum pernah kamu temui. Langkahnya dan langkahmu dituntun oleh-Nya, bertemu disatu titik yang sama, dalam waktu yang tepat dan keadaan yang tepat. Tidak ada yang tahu, kecuali Allah.     Waktu akan berjalan dengan sendirinya, sesuai kehendak-Nya. Tidak tergesa apalagi memaksa. Apa yang kita sangka baik, belum tentu sepenuhnya baik, pun sebaliknya. Jalani hari dengan sebaik-baiknya, dengan kesabaran bahwa akan ada jalan ini menemui satu sudut yang berbeda. Sudut yang terbentuk dari pertemuan kamu dan dia.     Jika hari itu datang, kamu akan memintanya untuk mencintaimu. Jika kamu saja tidak dapa...