LAPORAN KOMPREHENSIF ASUHAN KEBIDANAN PADA MOLA HIDATIDOSA + KISTA OVARIUM + SUSP. HEMATOCELE DENGAN PRO KURETASE + PRO MOW + PRO KISTEKTOMI
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Upaya
kesehatan reproduksi salah satunya adalah menurunkan angka kesakitan dan
kematian ibu hamil dan bersalin. Adapun penyebab langsung dari kematian ibu di
Indonesia adalah trias klasik yaitu perdarahan, infeksi, toksemia
gravidarum.Perdarahan sebanyak 30% dari total kasus kematian, eklamsi
(keracunan kehamilan) 25%, infeksi 12%. Salah satu dari ketiga ketiga faktor
tersebut adalah perdarahan, perdarahan dapat terjadi pada saat kehamilan,
persalinan dan masa nifas. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan, bisa terjadi
pada awal kehamilan maupun kehamilan lanjut, dengan besar angka kejadiannya 3%
pada kehamilan lanjut dan 5% pada awal kehamilan. Perdarahan yang terjadi pada
awal kehamilan meliputi abortus, mola hidatidosa dan kehamilan ektopik. Pada
kehamilan lanjut antara lain meliputi Solutio Plasenta dan Plasenta Previa.
Dari kasus perdarahan diatas ternyata didapatkan besar kasus paling tinggi
adalah perdarahan pada awal kehamilan yang dari salah satu perdarahan awal kehamilan
tersebut terdapat kehamilan molahidatidosa.
Molahidatidosa
adalah tumor jinak dari trofoblast dan merupakan kehamilan abnormal, dengan
ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan edematous, janin
biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematous itu
hidup dan tumbuh terus menerus, sehingga gambaran yang diberikan adalah sebagai
segugus buah anggur. Penyebab pasti terjadinya kehamilan Mola hidatidosa belum
diketahui pasti, namun ada beberapa faktor yang memengaruhinya yaitu faktor
ovum, imunoselektif trofoblast, usia, keadaan sosio-ekonomi yang rendah,
paritas tinggi, defisiensi protein, infeksi virus dan faktor kromosom yang
jelas, dan riwayat kehamilan mola sebelumnya. Jenis pada molahidatidosa yaitu
Molahidatidosa Komplet (MHK) dan Molahidatidosa Parsial (MHP). Angka kematian
yang diakibatkan oleh kehamilan Molahidatidosa berkisar antara 2,2% -
5,7%.
Penatalaksanaan
pada Molahidatidosa ada tiga tahap yaitu perbaikan keadaan umum ibu,
pengeluaran jaringan mola dengan cara Kuretase atau Histerektomi, dan
pemeriksaan tindak lanjut yaitu follow up selama 12 bulan, dengan mengukur
kadar β-HCG dan mencegah kehamilan selama 1 tahun. Tindak lanjut serta
penatalaksanaan saat ini berpusat pada pengukuran serial kadar β-HCG serum
untuk mendeteksi Tumor Trofoblast Persisten.
Penyakit
ini, baik dalam bentuk jinak atau ganas, banyak ditemukan di Negara Asia,
sedangkan di Negara bagian Barat lebih jarang. Angka di Indonesia umumnya
berupa angka Rumah Sakit yaitu RSCM, untuk Mola Hidatidosa berkisar 1:50 sampai
1:141 kehamilan. Angka ini jauh lebih tinggi disbanding Negara-negara barat
dimana insidennya berkisar 1:1000 sampai 1:2500 kehamilan untuk kejadian
Molahidatidosa.
Hasil sensus
penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 orang,
meningkat pesat jika dibandingkan dengan tahun 1990 dan tahun 2000.
Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang terus menerus apabila tidak
dikendalikan akan membawa dampak yang kurang baik, diantaranya menjadi beban
pembangunan, termasuk pembangunan di bidang kesehatan (Kemenkes RI, 2011).
Indikator
penting dalam program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) adalah
prevalensi KB dan angka fertilitas. Jumlah akseptor KB di Indonesia tahun 2013
adalah 65,4%. Terkait dengan pengaruh prevalensi KB terhadap penurunan
fertilitas, komposisi pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)
memegang peranan penting dalam membantu menekan laju pertumbuhan penduduk
Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun demikian, beberapa hasil
penelitian kesertaan KB di Indonesia belum mencapai target. Berbagai faktor
berpengaruh terhadap rendahnya pemakaian MKJP, seperti pengguna pelayanan KB
yang cenderung lebih memilih metode non MKJP serta aspek ketersediaan tenaga
medis terlatih untuk memberikan pelayanan MKJP belum merata antar wilayah,
serta peralatan penunjang pelayanan juga belum mencukupi di setiap klinik KB
(BKKBN, 2013).
Keluarga
berencana menurut WHO (World Health Organisation) Expert Committee 1970
adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk
menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur interval diantara
kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami
istri dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Tujuan utama program KB
nasional adalah untuk memenuhi perintah masyarakat akan pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat atau angka kematian
Ibu, bayi dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam
rangka membangun keluarga kecil berkualitas (Anggraini, 2011).
Kontrasepsi
adalah cara untuk menghindari/ mencegah terjadinya kehamilan akibat pertemuan
antara sel telur yang matang dengan sel sperma sehingga dapat mencegah
terjadinya kehamilan. Konsep mengenai kontrasepsi pasca persalinan bukanlah hal
yang baru, akan tetapi tidak banyak perhatian yang diberikan pada masa yang
penting dari kehidupan wanita ini. Pada saat sekarang ini perhatian dari
pengelola program kesehatan, penyedia jasa pelayanan kesehatan dan pembuat
kebijakan semakin meningkat, karena menyadari akan tingginya efektivitas dan
keberhasilan program keluarga berencana jika pengenalan kontrasepsi dilakukan
pada saat pasca persalinan (Widyastuti, 2011).
Salah
satu MKJP adalah metode kontrasepsi mantap yang terdiri dari dua macam yaitu
Medis Operatif Wanita (MOW) dan Medis Operatif Pria (MOP). Medis Operatif
Wanita (MOW) sering dikenal dengan tubektomi (sterilisasi) karena
prinsip metode ini adalah memotong atau mengikat saluran tuba fallopi sehingga
mencegah pertemuan antara ovum dan sperma. Sedangkan Medis Operatif Pria (MOP)
sering dikenal dengan vasektomi yaitu memotong atau mengikat saluran vas deferens sehingga cairan spermatidak
ejakulasi(Handayani, 2010)
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat lebih dari 150
juta wanita yang memilih sterilisasi sebagai metode kontrasepsi mereka. Di
Inggris, hampir 30% pasangan, dan hampir 50% dari mereka yang berusia lebih
dari 40 tahun menggunakan sterilisasi, di Cina (37%) dan India (22%). Di
Kanada, Korea Selatan dan Puerto Rico, lebih dari 40% populasi usia subur
menjalani sterilisasi. Di beberapa negara lain, termasuk Brazil, Republik
Domanika, Elsavador, Panama, Sri Langka, Thailand, Taiwan, Amerika Serikat dan
Inggris, lebih dari 25% dari warga tersebut yang berusia subur mengandalkan
kontasepsi mantap wanita sebagai metode kontrasepsi (Glasier, Gabbie, 2005).
Mekanisme kerja Medis Operatif Wanita (MOW) yaitu
dengan mencapai tuba fallopi dan menutup atau mengoklusi tuba fallopi
(mengikat dan memotong atau memasang cincin) sehingga spermatozoa tidak
dapat bertemu dengan ovum (Pinem, 2009).
Sterilisasi wanita adalah satu-satunya metode
kontrasepsi wanita yang permanen. Metode ini pertama kali dilontarkan oleh
Hipokrates. Saat ini sterilisasi wanita dilakukan melalui abdomen, baik dengan laparotomi
mini maupun dengan sterilisasi laparoskopik atau melalui vagina dengan
kuldoskopi. Sterilisasi wanita dapat dilakukan sebagai prosedur 1 hari,
baik dengan anestesi umum maupun lokal (Everet, 2008).
Kontrasepsi mantap atau
sterilisasi merupakan metode keluarga berencana yang paling efektif, murah,
aman, dan mempunyai nilai demografi yang sangat tinggi. Peningkatan jumlah
peserta, bahkan terdapat peserta dari jumlah golongan usia yang masih muda.
Ternyata kontap mendapat tanggapan baik dari masyarakat sehingga jumlahnya
makin membesar (Manuaba, 2008).
Peran bidan sebagai
konselor KB bertujuan agar masyarakat khususnya ibu tidak bingung mengenai
pemakaian KB. Masih banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan
pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena keterbatasan metode yang
tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan
keamanan metode kontrasepsi tersebut.
Berbagai faktor harus
dipertimbangkan, termasuk status kesehatan, efek samping potensial, konsekuensi
kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang
direncanakan, persetujuan pasangan bahkan norma budaya lingkungan dan orang
tua. Untuk itu semua, konseling merupakan bagian integral yang sangat penting
dalam pelayanan keluarga berencana.
1.2
Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu
melaksanakan penerapan asuhan kebidanan pada pada kasus abortus dd mola
hidatidosa dan metode operatif wanita (MOW) sesuai dengan manajemen kebidanan
dan mendokumentasikannya.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu
:
1. Menjelaskan konsep dasar kasus
abortus dd mola hidatidosa
2. Menjelaskan konsep dasar kasus MOW
3. Menjelaskan konsep dasar asuhan
kebidanan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW
4. Melaksanakan asuhan kebidanan pada
ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW menggunakan manajemen Varney,
yang meliputi :
a. Pengakajian
data Subyektif dan data Obyektif pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW
b. Interpretasi
data dasar yang terdiri dari diagnosa, masalah dan kebutuhan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan
MOW
c. Identifikasi
masalah potensial pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW
d. Identifikasi
kebutuhan segera / kolaborasi / rujukan pada ibu dengan kasus abortus mola hidatidosa dan MOW
e. Perencanaan
pada ibu dengan kasus
abortus mola hidatidosa dan MOW
f. Penatalaksanaan
pada ibu dengan kasus
abortus mola hidatidosa dan MOW
g. Evaluasi
pada ibu dengan kasus
abortus mola hidatidosa dan MOW
5. Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu
dengan kasus abortus mola hidatidosa dan
MOW menggunakan dokumentasi SOAP.
6. Mengetahui
kesenjangan antara konsep dasar teori dengan penerapan nyata di lapangan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Mola Hidatidosa
2.1.1
Pengertian
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana
tidak ditemukan janin dan hampir semua villi korialis mengalami perubahan
hidropik. Dalam hal demikian demikian disebut mola hidatidosa atau complete
mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian dari janin disebut mola
parsialis atau partial mole
(Prawiroharjo, 2007).
Mola hidatidosa adalah kehamilan yang mengalami penyimpangan dalam
pertumbuhan dan perkembangannya di mana tidak terdapat janin dan seluruh vili
korealis mengalami perubahan. (Manuaba, 2007)
Mola hidatidosa merupakan bagian dari penyakit trofoblastik gestasional
yang disebabkan oleh kelainan pada vili khorionik yang mengalami proliferasi
trofobalstik dan edema. (Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan, 2013)
Dalam kehamilan normal,
plasenta menyediakan makanan untuk bayi yang sedang berkembang dan
menghilangkan produk-produk limbah. Plasenta terdiri dari jutaan sel yang
dikenal sebagai sel trofoblas. Dalam kehamilan mola, sel-sel ini berperilaku abnormal seperti halnya sel telur telah dibuahi oleh sperma. Hal ini menyebabkan
massa sel abnormal yang dapat tumbuh sebagai kantung berisi cairan (kista)
dengan penampilan seperti anggur putih. Sel-sel ini tumbuh pesat dalam rahim, dan
tidak berkembang berkembang menjadi
janin.
Sel-sel yang abnormal yang disebut sebagai "mol", yang berasal dari
bahasa Latin untuk massa atau benjolan. Kehamilan mola juga disebut mola
hidatidosa dan merupakan bentuk pra-kanker dari penyakit trofoblas gestasional
(NHS,2016).
2.1.2 Klasifikasi mola hidatidosa
Mola hidatidosa terdiri dari
dua jenis menurut Myles (2009), yaitu:
a. Mola
Hidatidosa komplit/ Complete Mola
Hydatid/CMH
Pada mola jenis ini, tidak
terdapat adanya tanda-tanda embrio, tali pusat, atau membran. Kematian terjadi
sebelum berkembangnya sirkulasi plasenta. Villi korionik berubah menjadi
vesikel hidropik yang jernih yang menggantung bergerombol pada pedikulus kecil,
dan memberi tampilan seperti seikat anggur. Ukuran vesikel bervariasi, dari
yang sulit dilihat sampai yang berdiamete beberapa sentimeter. Hiperplasi
menyerang lapisan sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas. Massa mengisi rongga
uterus dan dapat cukup besar untuk menyerupai kehamilan.
Pada kehamilan normal,
trofoblas meluruhkan desidua untuk menambahkan hasil konsepsi. Hal ini berarti
bawa mola yang sedang berkembang dapat berpenetrasi ke tempat implantasi.
Miometrium dapat terlibat, begitu pula dengan vena walaupun jarang terjadi.
Ruptur uterus dengan perdarahan massif merupakan salah satu akibat yang dapat
terjadi.
Mola komplit biasanya memiliki
46 kromosom yang hanya berasal dari pihak ayah (paternal). Sperma haploid
memfertilasi telur yang kosong yang tidak mengandung kromosom maternal.
Kromosom paternal berduplikasi sendiri. Koriokarsinoma dapat terjadi dari mola
jenis ini.
b. Mola
Hidatidosa Parsial/Partial Mola
Hydatid/PMH
Tanda-tanda adanya suatu
embrio, kantong janin, atau kantong amnion dapat ditemukan karena kematian
terjadi sekitar minggu ke-8 atau ke-9. Hiperplasia trofoblas hanya terjadi pada
lapisan sinsitotrofoblas tunggal dan tidak menyebar luas dibandingkan dengan
mola komplet. Analisis kromosom biasanya akan menunjukkan adanya triploid
dengan 69 kromosom, yaitu tiga set kromosom (satu maternal dan dua paternal).
Secara histologi, membedakan antara mola parsial dan keguguran laten merupakan
hal yang sulit dilakukan. Hal ini memiliki signifikansi klinis karena walaupun
resiko ibu untuk menderita koriokarsinoma dari mola parsial hanya sedikit,
tetapi pemeriksaan tindak lanjut tetap menjadi hal yang sangat penting.
2.1.3
Etiologi
a. Faktor
Ovum
Penyebab terjadinya mola hidatidosa tidak diketahui dengan
pasti, diperkirakan adanya peranan kelainan kromosomal. Sel sperma membuahi
ovum abnormal yang tidak memiliki nukleus (atau kromosom) pada CMH. Penyebab
terbentuknya ovum abnormal tersebut tidak diketahui. Bila fertilisasi dengan
kondisi tersebut berlangsung, perkembangan normal tidak akan terjadi, tidak
akan terbentuk chorion, amnion atau korda umbilikalis dan fetus juga tidak
terbentuk. Sebaliknya sel trofoblast pembentuk plasenta akan berkembang pesat
menjadi CMH(Kumar et al, 2010).
b. Imunoselektif
dari trofoblast
Proliferasi dari
sel-sel trofoblas yaitu sel-sel sototrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang
berbeda. Sel-sel trofoblast yang mengalami proliferasi pada mola hidatidosa
komplit adalah sitotrofoblast sedangkan parsial sinsitiotrofoblast (Sajin et
al, 2012).
c. Faktor
Kromosom
Ditemukannya
daerah kromosom yang menjadi bakal calon yaitu kromosom 19q13 dan terbanyak
pada kromosom 11p15.5 dominan terekspresi dari allele maternal, yang merupakan
familial dan diturunkan sebagai autosomal resesif (Baranyai et al.,2010).
2.1.4
Faktor
Predisposisi
Beberapa faktor
predisposisi yang dapat menyebabkan kehamilan mola hidatidosa antara lain:
a. Usia
ibu
Mola hidatidosa dapat terjadi pada setiap usia selama masa subur. Faktor risiko mola hidatidosa akan lebih tinggi pada usia kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetrik, etnis, dan genetik(Syafii dkk., 2006; Jaffar et al., 2011). Mola komplit memiliki risiko dan angka kejadian yang lebih besar dibandingkan mola parsial, serta sering ditemui pada usia pertengahan dengan risiko lebih tinggi terkena mola komplit 5 sampai 10 kali lipat lebih besar pada wanita hamil yang berusia belasan atau antara 40 sampai 50 tahun. Bahkan satu dari tiga wanita hamil berusia 50 tahun kehamilannya merupakan kehamilan mola (Genest et al., 2003).
b. Usia
gestasi (usia kehamilan)
Makin tinggi usia kehamilan maka kehamilannya akan semakin
berisiko. Usia kehamilan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: usia 1-2 bulan, 2-5
bulan, dan >5 bulan (Jaffar et al., 2011).
c. Riwayat
kehamilan sebelumnya
Risiko terjadinya mola komplit dan parsial juga akan
meningkat pada kehamilan seorang wanita dengan riwayat mola hidatidosa, abortus
spontan, dan pada infertilitas (Genest et al., 2003; Kumar et al.,
2010).
d. Paritas tinggi
Ibu multipara cenderung berisiko karena trauma kelahiran atau
penyimpangan transmisi genetik. Paritas ibu hamil diklasifikasikan berdasarkan
paritas 0-1, 2-4, dan >4 (Jaffar et al., 2011).
e.
Keadaan sosial ekonomi yang rendah
Selama masa kehamilan diperlukan zat-zat gizi yang meningkat
untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Pemenuhan zat-zat gizi yang kurang
yang dialami oleh ibu hamil dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah, tentunya
dapat mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan janin (Syafii dkk.,
2006). Disebutkan dalam sebuah penelitian bahwa jika penghasilan seseorang
kurang masuk dalam golongan orang yang status sosial ekonomi rendah sedangkan
penghasilan yang sedang masuk dalam katergori kelas menengah dan apabila
penghasilan lebih banyak masuk dalam katergori kelas ekonomi tingkat yang
tinggi. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan nutrisi juga akan terpengaruh
sehingga dapat terjadi gangguan mal nutrisi.
f. Diet
kurang vitamin A
Diet sehari-hari terutama yang kurang mengandung vitamin A
(karoten) dapat menjadi faktor risiko terjadinya mola hidatidosa yang meningkat
sampai 6,29 kali. Hal ini disebabkan karena asam retinoat yang terkandung dalam
vitamin A berfungsi untuk mengontrol proliferasi sel dan merangsang apoptosis.
Studi penelitian membuktikan bahwa penurunan kadar vitamin A menyebabkan
proliferasi menjadi tidak terkontrol (Andrijono dkk., 2007).
g. Kekurangan
protein
Kebutuhan protein sebagai zat pembangun jaringan tubuh dalam
pertumbuhan dan perkembangan janin akan sangat meningkat selama masa kehamilan.
Jika terjadi malnutrisi berupa kekurangan protein, asam folat, dan karoten
dalam makanan sehari-hari pada seorang ibu yang sedang hamil, dapat
mengakibatkan bayi yang dilahirkan lebih kecil dari normal (Syafii dkk.,
2006; Jaffar et al., 2011).
h. Infeksi
mikroorganisme (termasuk virus)
Mikroorganisme dapat mengenai semua orang termasuk ibu hamil.
Terjadinya infeksi sangat tergantung dari jumlah yang masuk ke dalam tubuh,
virulensi, serta daya tahan tubuh manusia (Sarwono dkk., 2006).
i. Golongan
darah
Seorang wanita dengan golongan darah A
menikah dengan pria golongan darah O akan berisiko untuk terjadinya kehamilan
mola. Hal tersebut terjadi karena pasangan tersebut
kemungkinan akan melahirkan bayi kembar di mana akan dapat meningkatkankejadian
mola hidatidosa (Genest et al., 2003).
2.1.5 Patofisologi
Menurut Purwaningsih (2010),
patofisiologis mola didatidosa yaitu ovum Y telah dibuahi mengalami proses
segmentasi sehingga terjadi blastomer kemudian terjadi pembelahan dan sel telur
membelah menjadi 2 buah sel. Masing-masing sel membelah lagi menjadi 4, 8, 16,
32, dan seterusnya hingga membentuk kelompok sel yang disebut morula. Morula
bergerak ke cavum uteri kurang lebih 3 hari dan didalam morula terdapat
exozeolum. Sel-sel morula terbagi dalam 2 jenis yaitu trofoblas (sel yang
berada disebelah luar yang merupakan dinding sel telur) sel kedua yaitu bintik
benih atau nodus embrionale (sel yang terdapat disebelah dalam yang akan
membentuk bayi). Pada fase ini sel seharusnya mengalami nidasi tetapi karena
adanya poliferasi dari trofoblas atau pembengakakan vili atau degenerasi
hidrifilik dari stroma vili dan hilangnya pembuluh darah stroma vili maka
nidasi tidak terjadi. Trofoblas kadang berproliferasi ringan kadang keras
sehingga saat proliferasi keras uterus menjadi semakin besar. Selain itu
trofoblas juga mengeluarkan kormon HCG yang akan mengeluarkan rasa mual dan
muntah. Pada mola hidatidosa tidak jarang terjadi perdarahan pervaginam, ini
juga dikarenakan proliterasi trofoblas yang berlebihan.
Pengeluaran darah ini kadang disertai gelembung vilus yang dapat memastikan
diagnose mola hidatidosa.
2.1.6 Diagnosis
Penegakan diagnosa mola
hidatidosa dapat didasarkan beberapa pemeriksaan:
1. Gejala
hamil muda yang sangat menonjol
a. Adanya
emesis gravidarum sampai terjadi hiperemesis gravidarum oleh karena peningkatan
kadar beta hCG
b. Terdapat
komplikasi
· Tirotoksikosis
(2-5%)
· Hipertensi
menandakan adanya preeklmasi sampai eklampsi terjadi sebelum minggu ke-24
(10-15%)
· Anemia
akibat adanya perdarahan yang terjadi secara intermitten pada kehamilan kurang
lebih 12 minggu.
· Perdarahan
bercak coklat pada awal trimester
· Perubahan
hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan fungsi jantung dan paru-paru akibat
adanya emboli paru-paru
2. Pemeriksaan
palpasi
a. Ukuran
uterus
· Uterus
lebih besar dari usia kehamilan (50-60%)
· Besarnya
sama dengan usia kehamilan (20-25%)
· Lebih
kecil daripada usia kehamilan (5-10%)
b. Palpasi
·
Tidak teraba bagian janin
·
Tidak terdengar denyut jantung janin
·
Terdapat bentuk asimetris dengan bagian
menonjol agak padat dapat merupakan tanda dari mola destruen
3. Pemeriksaan
sonde intrauteri menurut Hanifa Wiknkosastro
Pemeriksaan
menggunakan sonde uterus yang dimasukkan dalam kavum uteri tanpa tahanan dan dapat diputar 360 derajat dengan
deviasi sonde kurang dari 10 derajat berarti tehnik Hanifa positif
sehingga dapat mengarah ke diagnosa mola hidatidosa.
2.1.7
Pemeriksaan
Penunjang
1.
Foto toraks
Pada
klien dengan mola hidatidosa akan terdapat gambaran emboli udara.
2.
Foto Abdomen
Dengan menggunakan
kontras yang dimasukkan secara intrauteri akan didapatkan gambaran seperti
sarang tawon.
3.
Laboratorium
a.
Beta hCG urin LHCG urin
lebih tinggi dari 100.000 mIU/ml
Terjadi grafik
peningkatan hCG paling sedikit empat kali (hari 1, 7, 14 dan 21) atau
peningkatan hCG secara bertahap selama dua minggu (hari 7 dan 14) atau lebih
lama. Nilai hCG bergantung pada individu masing-masing. hCG meningkat pada hari
ke-100.
b.
Beta hCG serum di atas
40.000 IU/ml
4.
USG
a.
Pada mola akan terlihat
badai salju (snow flake pattern) dan tidak terlihat janin.
b.
Apabila terdapat mola
hidatidosa gambaran di layar USG seperti televisi rusak
c.
Tampak sebagian plasenta
normal dan kemungkinan dapat tampak janin
2.1.8
Diagnosa Banding
Beta-hCG terdapat
pada beberapa penyakit yang dapat didiagnosa banding dengan mola hidatidosa,
antara lain:
1.
Kehamilan multiple
2.
Hidramnion
3.
Abortus
4.
Mioma uteri
5.
Abortus imminens
6.
Koriokarsinoma
2.1.9
Penatalaksanaan
a.
BPM dan Puskesmas
Menurut Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan tahun 2013 menyebutkan
untuk kasus mola hidatidosa tidak boleh dilakukan di fasilitas dasar dan harus
segera dirujuk. Apabila klien datang ke fasiliats dasar dalam keadaan tidak
stabil harus ditangani dengan pertolongan pertama terutama untuk life saving, misalkan perbaikan
kesadaran, pasang infus, dan segera dirujuk ke fasilitas yang lengkap dan
tepat.
b.
Rumah sakit tersier
Terapi mola hidatidosa dapat
dijelaskan berdasarkan dalam dua bentuk keadaan: Terapi mola terdiri
dari 4 tahap yaitu:
1) Perbaikan
keadaan umum.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi
gejala yang terlihat sebelum mengevakuasi mola yaitu koreksi dehidrasi,
transfuse darah bila anemia (Hb 8 gr%), jika ada gejala preeklampsia dan
hiperemis gravidarum diobati sesuai dengan protokol penanganannya. Sedangkan
bila ada gejala tirotoksikosis nadi meningkat di
atas 100x/menit harus diperiksa kadar T3 dan T4 konsultasi ke bagian
penyakit dalam. Pemeriksaan laboratorium dasar :
darah lengkap, fungsi liver dan ginjal, foto toraks, Faal hemostasis, jumlah
absolut trombosit.
2) Pengeluaran
jaringan mola
a) Kuretase
·
Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai
(pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila
jaringan mola sudah keluar spontan.
·
Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka
dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
· Lindungi dengan oksitosi drip sehingga uterus segera mengecil
setelah jaringan dikeluarkan
· Menggunakan sendok kuret tajam agar sebagian besar mola dapat
dikeluarkan
·
Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah
dan pemasangan infus dengan tetesan oxytocin 10 UI dalam 500 cc Dextrose 5%.
· Mengobservasi tingginya fundus uteri, kontraksi dan perdarahan
·
Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali dengan
interval minimal 1 minggu.
·
Seluruh jaringan hasil kerokan dengan sendok
kuret maupun dengan alat suctionkemu dikirim ke laboratorium PA.
b) Histerektomi
Tindakan
ini dilakukan pada wanita yang telah cukup (> 35 tahun) dan mempunyai anak
hidup (>3 orang).
3) Terapi profilaksis dengan sitostatika
Pemberian
kemoterapi repofilaksis pada pasien pasca evaluasi mola hidatidosa masih
menjadi kontroversi. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa kemungkinan
terjadi neoplasma setelah evaluasi mola pada kasus yang mendapatkan metotreksat
sekitar 14%, sedangkan yang tidak mendapat sekitar 47%. Pada umumnya
profilaksis kemoterapi pada kasus mola hidatidosa ditinggalkan dengan
pertimbangan efek samping dan pemberian kemoterapi untuk tujuan terapi
definitive memberikan keberhasilan hampir 100%. Sehingga pemberian profilaksis
diberikan apabila dipandang perlu pilihan profilaksis kemoterapi adalah:
Metotreksat 20 mg/ hari IM selama 5 hari.
4) Pemeriksaan tindak lanjut
·
Lama pengawasan berkisar satu sampai dua tahun
·
Setelah pengawasan penderita dianjurkan memakai
kontrasepsi kondom, pil kombinasi atau diafragma dan pemeriksaan fisik
dilakukan setiap kali pada saat penderita datang kontrol
·
Pemeriksaan kadar β-hCG dilakukan setiap minggu
sampai ditemukan kadar β-hCG normal tiga kali berturut-turut
·
Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan
sampai kadar β-hCG normal selama 6 kali berturut-turut
·
Bila terjadi remisi spontan (kadar β-hCG,
pemeriksaan fisis, dan foto thoraks setelah satu tahun semua-nya normal) maka
penderita tersebut dapat berhenti menggunakan kontrasepsi dan hamil lagi.
·
Bila selama masa observasi kadar β-hCG tetap
atau bahkan meningkat pada pemeriksaan klinis, foto thoraks ditemukan adanya
metastase maka penderita harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
2.1.10
Komplikasi
Komplikasi yang
dialami oleh penderita mola hidatidosa dapat terjadi karena penyakitnya maupun
tindakan penanganannya. Antara lain komplikasi tersebut adalah:
a.
Perdarahan yang masif dan
syok
Sebelum terjadi
keguguran tanda awal adanya perdarahan sedikit-sedikit yang berulang sehingga
klien dapat menderita anemia. Keguguran mola hidatidosa akan mengakibatkan
terjadinya perdarahan hebat sehingga apabila tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dapat terjadi syok hipovolemik.
b.
Infeksi
Perdarahan yang
terjadi dapat menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehinggga tubuh mudah
terkena infeksi.
c.
Perforasi uterus karena
tindakan kuretase
Mola hidatidosa yang
ganas dan tindakan kuretase yang tidak hati-hati akan dapat menyebabkan
perforasi, tindakan yang dilakukan adalah menghentikan kuretase, observasi
kemungkinan adanya akut abdomen dan infeksi dengan suhu tubuh yang meningkat
d.
Adanya emboli saat
dilakukan evakuasi mola
Sejumlah trombiast
dengan adanya stroma vili keluar dari uterus dan masuk ke dalam vena terutama
pada saat ekspulasi spontan atau evaluasi terapeutik, sehingga dapat
menimbulkan sumbatan di vena atau
paru-paru. Emboli ditandai dengan dispnea, takikardi dan penurunan tekanan
darah.
e.
Keganasan/PTG
Kemungkinan mola
hidatidosa komplit menjadi koriokarsinoma dan trofoblast neoplasma ganas
sekitar 20%, ditandai dengan kadar beta-hCG yang tetap tinggi setelah kuretase
bahkan cenderung meningkat serta adanya tanda-tanda metastase.
2.1.11
Prognosa
Hampir kira-kira 20% wanita dengan kehamilan mola komplet berkembang
menjadi penyakit trofoblastik ganas. Penyakit trofoblas ganas saat ini 100%
dapat diobati. Faktor klinis yang berhubungan dengan resiko keganasan seperti
umur penderita yang tua, kadar hCG yang tinggi (>100.000mIU/mL), eklamsia,
hipertiroidisme, dan kista teka lutein bilateral. Kebanyakan faktor-faktor ini
muncul sebagai akibat dari jumlah proliferasi trofoblas. Untuk memprediksikan
perkembangan mola hidatidosa menjadi PTG masih cukup sulit dan keputusan terapi
sebaiknya tidak hanya berdasarkan ada atau tidaknya faktor-faktor risiko
ini.Risiko terjadinya rekurensi adalah sangat sekitar 1-2%. Setelah 2 atau
lebih kehamilan mola, maka risiko rekurensinya menjadi 1/6,5 sampai 1/17,5.
2.2
Konsep
Dasar Kista Ovarium
2.2.1 Definisi
Kista ovarium
adalah suatu benjolan yang berada di ovarium yang dapat mengakibatkan
pembesaran pada abdomen bagian bawah dimana pada kehamilan yang disertai kista
ovarium seolah-olah terjadi perlekatan ruang bila kehamilan mulai membesar
(Prawirohardjo, 2009: 664).
Kista indung
telur adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan di dalam jaringan ovarium.
Kista ini disebut juga kista fungsional karena terbentuk setelah telur
dilepaskan sewaktu ovulasi (Yatim, 2005: 17).
Kista ovarium (kista indung telur)
berarti kantung berisi cairan, normalnya berukuran kecil, yang terletak di
indung telur (ovarium) (Nugroho, 2010: 101).
2.2.2 Etiologi Kista Ovarium
Penyebabnya saat ini belum diketahui secara pasti. Namun ada
salah satu pencetusnya yaitu faktor hormonal, kemungkinan faktor resiko yaitu:
1. Faktor
genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan payudara.
2. Faktor
lingkungan (polutan zat radio aktif)
3. Gaya
hidup yang tidak sehat
4. Ketidakseimbangan
hormon estrogen dan progesteron, misalnya akibat penggunaan obat-obatan yang
merangsang ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat diuretik.
5. Kebiasaan
menggunakan bedak tabur di daerah vagina (Wiknjosastro, 2005)
Menurut Nugroho (2010: 101), kista ovarium disebabkan oleh
gangguan (pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium. Beberapa
teori menyebutkan bahwa penyebab tumor adalah bahan karsinogen seperti rokok,
bahan kimia, sisa-sisa pembakaran zat arang, bahan-bahan tambang.
Beberapa
faktor resiko berkembangnya kista ovarium, adalah wanita yang biasanya
memiliki:
a.
Riwayat kista terdahulu
b.
Siklus haid tidak teratur
c.
Kegemukan atau perut buncit
d.
Menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih
muda)
e.
Infertilitas (sulit hamil atau belum pernah
hamil )
f. Tamoxifen (terapi untuk kanker payudara)
g. Adanya kontrasepsi hormonal yang tidak sesuai
h. Merokok
i.
Penderita hipotiroid
2.2.3 Patofisiologi
Setiap hari,
ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de
Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8
cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus
luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista
ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan
mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi
fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian secara gradual akan
mengecil selama kehamilan.
Fungsi ovarium
yang normal tergantung kepada sejumlah hormon dan kegagalan pembentukan salah
satu hormon tersebut bisa mempengaruhi fungsi ovarium. Ovarium tidak akan
berfungsi secara normal jika tubuh wanita tidak menghasilkan hormon hipofisa
dalam jumlah yang tepat. Fungsi ovarium yang abnormal kadang menyebabkan
penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium.
Folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur,
terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium karena itu terbentuk kista di
dalam ovarium (Corvin, E.J 2008: 649).
Kista ovarium terbentuk oleh berbagai penyebab.
Penyebab inilah yang nantinya akan menentukan tipe dari kista. Diantara
beberapa tipe kista ovarium, tipe folikular merupakan tipe kista yang paling
banyak ditemukan. Kista jenis ini terbentuk oleh karena pertumbuhan folikel
ovarium yang tidak terkontrol.
Cairan yang mengisi kista sebagian besar berupa darah yang
keluar akibat dari perlukaan yang terjadi pada pembuluh darah kecil ovarium.
Pada beberapa kasus, kista dapat pula diisi oleh jaringan abnormal tubuh
seperti rambut dan gigi. Kista jenis ini disebut kista dermoid.
Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal
disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan
luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat
distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG. Kista fungsional multiple
dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin atau sensitivitas terhadap
gonadotropin yang berlebih. Pada neoplasia tropoblastik gestasional
(hydatidiform mole dan choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan
multiple dengan diabetes, HCG menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif
lutein.
Pasien dalam terapi infertilitas, induksi ovulasi
dengan menggunakan gonadotropin (FSH dan LH) atau terkadang clomiphene citrate,
dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan
pemberian HCG. Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih
dan tidak terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak.
Neoplasia yang ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan ovarium.
Sejauh ini, keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan (mesotelium)
dan sebagian besar lesi kistik parsial. Jenis kista jinak yang serupa dengan
keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan mucinous. Tumor ovari ganas yang
lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk
jenis ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan germ cel
tumor dari germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel yang
berisi elemen dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan
mesodermal. Endometrioma adalah kista berisi darah dari endometrium ektopik.
Pada sindroma ovari pilokistik, ovarium biasanya terdiri folikel-folikel dengan
multipel kistik berdiameter 2-5 mm, seperti terlihat dalam sonogram.
2.2.4 Gejala dan Tanda
Kebanyakan
wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala kecuali jika kista
tersebut pecah atau terpluntir sehingga menyebabkan rasa sakit yang hebat di
daerah perut bagian bawah dan daerah tersebut menjadi kaku. Kista yang
berukuran besar atau berjumlah banyak dapat menimbulkan gejala seperti rasa
sakit pada panggul, sakit pinggang, sakit saat berhubungan seksual, serta
perdarahan rahim yang abnormal (Setiati, 2009).
Menurut
Setiati (2009), munculnya gejala klinis pada kista ovarium diakibatkan tiga hal
berikut:
1. Pertumbuhan
kista yang dapat menimbulkan tekanan pada alat-alat disekitarnya
2. Aktivitas
hormonal, khususnya jenis kista yang memproduksi hormone
3.
Komplikasi yang ditimbulkannya
Menurut Nugroho (2010: 104), kebanyakan wanita yang memiliki
kista ovarium tidak memiliki gejala sampai periode tertentu. Namun beberapa
orang dapat mengalami gejala ini:
a. Nyeri
saat menstruasi.
b. Nyeri
di perut bagian bawah.
c. Nyeri
saat berhubungan seksual.
d. Nyeri
pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki.
e. Terkadang
disertai nyeri saat berkemih atau BAB.
f. Siklus
menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar banyak.
g. Wanita
post menopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau diare,
obstruksi usus.
Karena sebagian
besar dari kasus kanker ovarium bermula dari suatu kista, maka apabila pada
seorang wanita ditemukan suatu kista ovarium harus dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menentukan apakah kista tersebut bersifat jinak atau ganas (kanker
ovarium). Kewaspadaan terhadap kista yang bersifat ganas dilakukan bila:
1. Kista cepat
membesar.
2. Kista pada usia
remaja atau pascamenopause.
3. Kista dengan
dinding yang tebal dan tidak berurutan.
4. Kista dengan
bagian padat.
5. Tumor pada
ovarium
2.2.5 Pemeriksaan dan Diagnosis
Menurut Djuwantono, dkk (2011: 282-287), yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa kista ovarium adalah:
1.
Anamnesa
Anamnesa
lengkap merupakan bagian penting dari diagnosis tumor adneksa. Pertanyaan
tentang rasa nyeri, lokasi, dan derajat nyeri serta kapan mulai timbulnya rasa
nyeri tersebut akan memudahkan penegakan diagnosis.
2.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
fisik diagnostik yang lengkap dan tertuju pada gejala klinis atau tanda dari
suatu infeksi atau tumor neoplastik sangat diperlukan untuk menentukan etiologi
dari massa tumor di daerah rongga panggul. Pemeriksaan payudara secara
sistematis diperlukan karena ovarium merupakan metastasis yang umum dijumpai
karsinoma payudara.
Pemeriksaan
bimanual dan pemeriksaan rekto vagina merupakan pemeriksaan pokok ginekologi
yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk menegakkan diagnosis kelainan di
daerah rongga pelvis.
3.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi lebih tinggi daripada
kemampuan pendengaran telinga manusia, sehingga kita tidak bisa mendengarnya
sama sekali. Suara yang didengar manusia mempunyai frekuensi 20-20.000 Cpd
(Cicles per detik=Hz).
Masing-masing jaringan tubuh mempunyai impedence acustic tertentu.
Dalam jaringan yang heterogen akan ditimbulkan bermacam-macam echo, disebut acho
free atau bebas echo. Suatu rongga berisi cairan bersifat anechoic,
misalnya kista, asites, pembuluh darah besar, pericardial atau pleural
effusion.
USG pada kista ovarium akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-kadang oval) dan terlihat sangat echolucent dengan dinding-dinding yang tipis/tegas/licin dan di tepi belakang kista nampak bayangan echo yang lebih putih dari dinding depannya. Kista ini dapat bersifat unilokuler (tidak bersepta) atau multilokuler (bersepta-septa). Kadang-kadang terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus (internal echoes) di dalam kista yang berasal dari elemen-elemen darah di dalam kista.
·
Transabdominal sonogram
Pemeriksaan cara sonogram menggunakan gelombang bunyi untuk melihat
gambaran organ tubuh. Pemeriksaan jenis ini bisa dilakukan melalui dinding
perut atau bisa juga dimasukkan melalui vagina dan memerlukan waktu sekitar 30
menit, bisa diketahui ukuran dan bentuk kistanya. Syarat pemeriksaan
transabdominal sonogram dilakukan dalam keadaan vesica urinaria terisi/penuh.
·
Endovaginal sonogram
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan atau memperlihatkan secara detail
struktur pelvis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara endovaginal. Pemeriksaan
dilakukan dalam keadaan vesica urinaria kosong.
Dalam pemeriksaan USG, perlu
dilakukan pemeriksaan Sassone Score yaitu
sebuah skoring dengan pemeriksaan USG melalui transvaginal untuk menemukan
massa di ovarium ataupun di adnexa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
risiko keganasan. Ovarium yang memiliki diameter > 5 cm, berisiko 2.5 kali
untuk terjadi kanker. Adapun kriteria dalam Sassone
Score adalah sebagai berikut:
Feature |
Finding |
Points |
Inner wall structure |
Smooth Irregularities ≤ 3 mm Papillarities > 3 mm Lesion mostly solid |
1 2 3 4 |
Wall thickness (mm) |
Thin ≤ 3 mm Thick > 3 mm Lesion mostly solid |
1 2 3 |
Septa (mm) |
No septa Thin ≤ 3 mm Thick > 3 mm |
1 2 3 |
Echogenicity |
Sonolucent Low echogenicity Low echogenicity with echogenic core Mixed echogenicity High echogenicity |
1 2 3 4 5 |
Interpretasi dari Sassone
Score yakni :
1. Skor minimal : 4
2. Skor maksimal : 15
3. Skor < 9 : risiko rendah keganasan (benigna)
4. Skor > 9 : risiko tinggi kegananasan (malignancy)
b. Laparaskopi
Dengan laparoskopi, alat teropong ringan dan tipis dimasukkan melalui
pembedahan kecil dibawah pusar untuk melihat ovarium, menghisap cairan dari
kista dan mengambil bahan percobaan untuk biopsy.
c.
Foto Rontgen
Pemeriksaan
ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista
dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi dalam tumor.
d.
Parasentesis
Telah
disebut bahwa pungsi pada asites berguna menentukan sebab asites. Perlu
diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemari cavum peritonei dengan isi
kista bila dinding kista tertusuk (Wiknjosastro, 2005).
e. MRI
(Magnetic Resonance Imaging)
Gambaran MRI lebih jelas memperlihatkan jaringan halus dibandingkan
dengan CT-scan, serta ketelitian dalam mengidentifikasi lemak dan produk darah.
CT-scan dapat memberikan petunjuk tentang organ asal dari massa yang ada. MRI
tidak terlalu dibutuhkan dalam beberapa/banyak kasus.
USG
dan MRI jauh lebih baik dalam mengidentifikasi kista ovarium dan massa/tumor
pelvis dibandingkan dengan CT-scan.
f. CA-125
Dokter
juga memeriksa kadar protein di dalam darah yang disebut CA-125. Kadar CA-125
juga meningkat pada perempuan subur, meskipun tidak ada proses keganasan. Tahap
pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada perempuan yang berisiko terjadi
proses keganasan. Kadar CA125 < 35 U/ml dianggap normal. Penemuan awal
kadar CA 125 > 35 U/ml dapat
mendiagnosis 83% pasien kanker ovarium tipe epithelial.
2.2.6 Penatalaksanaan
1) Observasi
Jika
kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau) selama 1-2
bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan sendirinya setelah satu
atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas (kanker)
(Nugroho, 2010: 105).
2) Kontrasepsi
oral
Kontrasepsi
oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas ovarium dan menghilangkan kista
3) Terapi
bedah atau operasi
Bila tumor ovarium disertai gejala akut misalnya torsi, maka tindakan
operasi harus dilakukan pada waktu itu juga, bila tidak ada gejala akut,
tindakan operasi harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan seksama.
Kista berukuran besar dan menetap setelah berbulan-bulan biasanya
memerlukan operasi pengangkatan. Selain itu, wanita menopause yang memiliki
kista ovarium juga disarankan operasi pengangkatan untuk meminimalisir resiko
terjadinya kanker ovarium. Wanita usia 50-70 tahun memiliki resiko cukup besar
terkena kenker jenis ini. Bila hanya kistanya yang diangkat, maka operasi ini
disebut ovarian cystectomy. Bila pembedahan mengangkat seluruh ovarium
termasuk tuba fallopi, maka disebut salpingo-oophorectomy.
Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara lain tergantung
pada usia pasien, keinginan pasien untuk memiliki anak, kondisi ovarium dan
jenis kista.
Kista
ovarium yang menyebabkan posisi batang ovarium terlilit (twisted) dan
menghentikan pasokan darah ke ovarium, memerlukan tindakan darurat pembedahan (emergency
surgery) untuk mengembalikan posisi ovarium.
Prinsip
pengobatan kista dengan pembedahan (operasi) menurut Yatim, (2005: 23) yaitu:
·
Apabila kistanya kecil (misalnya, sebesar
permen) dan pada pemeriksaan sonogram tidak terlihat tanda-tanda proses
keganasan, biasanya dokter melakukan operasi dengan laparoskopi. Dengan cara
ini, alat laparoskopi dimasukkan ke dalam rongga panggul dengan melakukan sayatan kecil pada dinding perut, yaitu sayatan
searah dengan garis rambut kemaluan.
·
Apabila kistanya besar, biasanya pengangkatan
kista dilakukan dengan laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan total.
Dengan cara laparotomi, kista bisa diperiksa apakah sudah mengalami proses
keganasan (kanker) atau tidak. Bila sudah dalam proses keganasan, operasi
sekalian mengangkat ovarium dan saluran tuba, jaringan lemak sekitar serta
kelenjar limfe. Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang
tidak ganas ialah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian
ovarium yang mengandung tumor, akan tetapi jika tumornya besar atau ada
komplikasi perlu dilakukan pengangkatan ovarium, biasanya disertai dengan pengangkatan
tuba (salphyngoooforektomi). Jika terdapat keganasan operasi yang lebih tepat
ialah histerektomi dan salphyngoooforektomi bilateral. Akan tetapi pada wanita
muda yang masih ingin mendapat keturunan dan dengan tingkat keganasan tumor
yang rendah, dapat dipertanggungjawabkan untuk mengambil resiko dengan
melakukan operasi yang tidak seberapa radikal (Wiknjosastro 2008).
2.2.7 Prognosis
Prognosis untuk
kista yang jinak baik. Walaupun penanganan dan pengobatan kista ovarium telah
dilakukan dengan prosedur yang benar namun hasil pengobatannya sampai sekarang
ini belum sangat menggembirakan termasuk pengobatan yang dilakukan di pusat
kanker terkemuka di dunia sekalipun. Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita
kista ovarium stadium lanjut hanya kira-kira 20-30%, sedangkan sebagian
penderita 60-70% ditemukan dalam keadaan stadium lanjut sehingga penyakit ini
disebut dengan silent killer.
Prognosis dari kista ovarium juga
tergantung dari beberapa hal: stadium, jenis histologis, derajat diferensiasi
kista, residu kista, umur penderita, ukuran kista dan free disease interval.
Kista yang timbul pada wanita usia reproduktif umumnya baik dan tidak
menimbulkan dampak. Kista yang timbul pada wanita menopause tidak boleh
diabaikan karena merupakan gejala dari adanya tumor patologis maupun ganas.
Dari tipe kista: kalau kista jinak umumnya tidak berbahaya namun, sebagian
kecil berpotensi untuk menjadi ganas. Sedangkan , kista ganas berbahaya, bila
kista ganas terdeteksi pada stadium lanjut maka survival rate akan semakin kecil
2.2.8 Klasifikasi Kista Ovarium
1)
Kista
non Neoplasma
a.
Kista Non Fungsional
Suatu kista inklusi serosa terbentuk dari invaginasi pada epitel
permukaan ovarium, yang dilapisi epitel dan berdiameter <1 cm (Sinclair,
2003: 603).
b. Kista Fungsional
Indung telur merupakan rongga yang isinya cairan yang ada di dalam
jaringan ovarium. Kista ovarium fungsional terjadi karena terbentuk setelah
telur dilepaskan sewaktu ovulasi terjadi. Kista ovarium fungsional ini kemudian
akan mengkerut dan menyusut dalam waktu beberapa bulan (1-3 bulan atau 2-3
siklus haid), hingga biasanya dokter yang menduga dari adanya bentuk
kista ini menganjurkan penderita untuk melakukan control 3 bulan selanjutnya.
Dokter akan menganjurkan minum pil KB agar ovulasi tidak terjadi. Masalah kista
ovarium fungsional ini tidak akan terbentuk ketika seorang perempuan sudah
mengalami masa menopause. Pemeriksaan sonogram dilakukan untuk meyakinkan
wanita mengalami masalah kista ovarium fungsional atau tidak.
·
Kista unilokular atau kista sederhana
Kista ini biasanya terbentuk dari folikel praovulasi yang mengandung
oosit. Kista ini bisa memiliki ukuran 4 cm dan menetap ke siklus selanjutnya.
Kista dapat kembali kambuh dan sering terjadi pada awal maupun akhir masa
reproduksi. Lima puluh persen kista sembuh dalam 60 hari. Nyeri dapat timbul
akibat ruptur, torsi, atau hemoragi (Sinclair, 2003: 603).
·
Kista folikel
Menurut Benson dan Pernoll (2008: 574) kista folikel adalah struktur
normal, fisiologis, sementara dan sering kali multiple, yang berasal dari
kegagalan resorbsi cairan folikel dari yang tidak berkembang sempurna. Paling
sering terjadi pada wanita muda yang masih menstruasi dan merupakan kista yang
paling lazim dijumpai dalam ovarium normal.
Kista folikel biasanya tidak
bergejala dan menghilang dengan spontan dalam waktu <60 hari. Jika ruptur
menyebabkan nyeri akut pada pelvis, evaluasi lebih lanjut dengan USG atau
laproskopi. Operasi dilakukan pada wanita sebelum pubertas, setelah menopause atau kista > 8
cm. Kista yang terus membesar dan menetap >60 hari memerlukan pemeriksaan
lanjut. Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk kista
< 4 cm adalah pemeriksaan ultrasonografi awal, pemeriksaan ulang dalam waktu
6 minggu dan sekali lagi dalam waktu 8 minggu jika kista tetap ada. Pada
kista folikel > 4 cm atau jika kista kecil menetap, pemberian kontrasepsi
oral selama 4 - 8 minggu akan menyebabkan kista menghilang sendiri.
·
Kista Korpus
luteum
Terjadi
karena bertambahnya sekresi progesterone setelah ovulasi. Ditandai dengan
keterlambatan menstruasi atau menstruasi yang panjang, nyeri abdomen bawah
pelvis. Korpus luteum disebut kista korpus luteum jika berukuran > 3
cm. Kadang-kadang diameter kista ini dapat sebesar 10 cm (rata-rata 4 cm).
Penyulit proses ini dapat terjadi akibat perdarahan atau dari kista korpus
luteum.
Tindakan
operatif biasanya berupa kistektomi ovarii dengan mempertahankan ovarium.
Operasi perlu dilakukan jika hemotorik cairan yang didapat melalui
kuldosentesis > 15%. Namun jika perdarahan tidak begitu berat, rasa sakit
dan nyeri tekan berhubungan dengan menstruasi yang terlambat atau amenorea,
karena itu kista korpus luteum harus dibedakan dengan kehamilan ektopik,
ruptur endometrium dan torsi adneksa. Biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan HcG (Human Chorionik Gonadotropin) dan Ultrasonografi (USG). Kista
yang menetap dapat menghilang setelah pemberian kontrasepsi oral selama 4 - 8
minggu.
·
Kista tuba
lutein
Ditemui
pada kehamilan mola, terjadi pada 50% dari semua kehamilan, dibentuk sebagai
hasil lamanya stimulasi ovarium, berlebihnya HCG. Tindakannya adalah dengan
mengangkat mola.
·
Kista teka
luthein
Kista theka lutein merupakan kista yang berisi cairan bening dan berwana
hitam seperti jerami. Timbulnya kista ini berkitan dengan tumor ovarium dan
terapi hormon (Nugroho, 2010:103).
Kista theka lutein biasanya bilateral,
kecil dan lebih jarang dibandingkan kista folikel atau kista korpus luteum.
Kista teka lutein diisi oleh cairan berwana kekuning-kuningan. Berhubungan
dengan penyakit trofoblastik kehamilan (misalnya mola hidatidosa dan
koriokarsinoma), kehamilan ganda atau kehamilan dengan penyulit diabetes
mellitus atau sensitisasi Rh, penyakit ovarium polikistik (sindrom
Stein-Laventhel) dan pemberian zat perangsang ovulasi (misalnya klomifen atau
terapi hCG). Komplikasi jarang terjadi meliputi ruptur (dengan perdarahan
intraperitoneal) serta torsi ovarium (Benson dan Pernoll, 2008: 576).
·
Sindrom polikistik ovari (Policystic Ovarian
Syndrom-PCOS)
Menurut Yatim (2005: 21-22), polikistik ovarium ditemukan pada 5-10%
perempun usia dewasa tua sampai usia menopause, yang timbul karena gangguan
perkembangan folikel ovarium hingga tidak timbul ovulasi. Penderita polikistik
ini juga sering terlihat bulimia, androgen meningkat dan prolaktin darah juga
meningkat (hiperprolaktinemia).
Polikistik ovarium sering dijumpai pada pemeriksaan USG perempuan usia
pertengahan, tetapi bukan berarti tidak normal, mungkin ini ada kaitannya
dengan prevalensi siklus tidak terjadi ovulasi tinggi pada kelompok usia ini.
Publikasi lain mengemukaan bahwa sindrom polikistik terdapat pada 5-10%
perempuan menjelang umur menopause. Kejadian ini berkaitan dengan gangguan
hormone yang mulai terjadi pada kelompok umur tersebut.
Perempuan yang
mengandung polikistik dapat diketahui, antara lain:
a)
Darah menstruasi yang keluar sedikit (oligomenorrhea).
b)
Tidak keluar darah menstruasi (amenorrhea).
c)
Tidak terjadi ovulasi.
d)
Mandul.
e)
Berjerawat.
·
Kista inklusi germinal
Terjadi oleh karena invaginasi dari epitel germinal dari ovarium. Biasanya
terjadi pada wanita tua. Tidak pernah memberi gejala-gejala yang berarti.
·
Kista endometrium
Merupakan
endometriosis yang berlokasi di endometrium
2) Kista
Neoplasma Jinak
·
Kistoma Ovarii Simpleks
Kistoma ovarii simpleks adalah kista yang permukaannya rata dan halus,
biasanya bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar. Dinding
kista tipis berisi cairan jernih yang serosa dan berwana kuning.
·
Kistadenoma Ovarii Musinosum
Kista ini berasal dari teratoma. Namun, pendapat lain mengatakan kista
ini berasal dari epitel germinativum atau mempunyai asal yang sama dengan Tumor
Brenner. Bentuk kista multilokular, biasanya unilateral, dapat tumbuh menjadi
sangat besar.
Gambaran klinis terdapat perdarahan dalam kista dan perubahan degeneratif
sehingga timbul perlakatan kista dengan omentum, usus-usus dan peritoneum
parietale. Selain itu, bisa terjadi ileus karena perlekatan dan produksi musim
yang terus bertambah akibat pseudomiksoma peritonei.
·
Kistadenoma Ovarii Serosum
Kista ini berasal dari epitel germinativum. Bentuk kista umumnya
unilokular, bila multilokular perlu di curigai adanya keganasan. Kista ini
dapat membesar, tetapi tidak sebesar kista musinosum. Gambaran klinis pada
kasus ini tidak klasik. Selain teraba massa intraabdominal dapat timbul asites.
·
Kista Dermoid
Kista
dermoid adalah teratoma kistik jinak dengan struktur ektodermal berdiferensiasi
sempurna dan lebih menonjol daripada mesoderm dan entoderm. Dinding kista
keabu-abuan dan agak tipis, konsistensi sebagian kistik kenyal dan sebagian
lagi padat. Dapat terjadi perubahan kearah keganasan, seperti karsinoma
epidermoid. Kista ini diduga berasal dari sel telur melalui proses
partenogenesis. Gambaran klinis adalah nyeri mendadak diperut bagian bawah
karena torsi tangkai kista.
2.2.9 Komplikasi Kista Ovarium
Menurut Wiknjosastro (2007: 347-349),
komplikasi yang dapat terjadi pada kista ovarium diantaranya:
1)
Akibat pertumbuhan kista ovarium
Adanya
tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan pembesaran perut. Tekanan
terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh besarnya tumor atau posisinya
dalam perut. Apabila tumor mendesak kandung kemih dan dapat menimbulkan
gangguan miksi, sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas di
rongga perut kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta dapat
juga mengakibatkan edema pada tungkai.
2)
Akibat aktivitas hormonal kista ovarium
Tumor
ovarium tidak mengubah pola haid kecuali jika tumor itu sendiri mengeluarkan
hormon.
3)
Akibat komplikasi kista ovarium
·
Perdarahan ke dalam kista
Biasanya
terjadi sedikit-sedikit sehingga berangsur-angsur menyebabkan kista membesar,
pembesaran luka dan hanya menimbulkan gejala-gejala klinik yang minimal. Akan
tetapi jika perdarahan terjadi dalam jumah yang banyak akan terjadi distensi
yang cepat dari kista yang menimbukan nyeri di perut.
·
Torsio atau putaran tangkai
Torsio
atau putaran tangkai terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm atau
lebih. Torsi meliputi ovarium, tuba fallopi atau ligamentum rotundum pada
uterus. Jika dipertahankan torsi ini dapat berkembang menjadi infark,
peritonitis dan kematian. Torsi biasanya unilateral dan dikaitkan dengan kista,
karsinoma, TOA, massa yang tidak melekat atau yang dapat muncul pada ovarium
normal. Torsi ini paling sering muncul pada wanita usia reproduksi. Gejalanya
meliputi nyeri mendadak dan hebat di kuadran abdomen bawah, mual dan muntah.
Dapat terjadi demam dan leukositosis. Laparoskopi adalah terapi pilihan,
adneksa dilepaskan (detorsi), viabilitasnya dikaji, adneksa gangren dibuang,
setiap kista dibuang dan dievaluasi secara histologis.
·
Infeksi pada tumor
Jika
terjadi di dekat tumor ada sumber kuman patogen.
·
Robek dinding kista
Terjadi
pada torsi tangkai, akan tetapi dapat pula sebagai akibat trauma, seperti jatuh
atau pukulan pada perut dan lebih sering pada saat bersetubuh. Jika robekan
kista disertai hemoragi yang timbul secara akut, maka perdarahan bebas
berlangsung ke uterus ke dalam rongga peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri
terus menerus disertai tanda-tanda abdomen akut
·
Perubahan keganasan
Setelah
tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis yang seksama terhadap
kemungkinan perubahan keganasannya. Adanya asites dalam hal ini mencurigakan.
Massa kista ovarium berkembang setelah masa menopause sehingga besar
kemungkinan untuk berubah menjadi kanker (maligna). Faktor inilah yang
menyebabkan pemeriksaan pelvik menjadi penting
2.3
Konsep Dasar Metode Operatif Wanita
2.3.1 Definisi
Metode Operatif Wanita (MOW)
Metode Operatif Wanita disebut juga MOW adalah metode
kontrasepsi untuk perempuan yang tidak ingin memiliki keturunan lagi. Metode
ini dapat berupa pengikatan dan pemotongan, dapat juga disebut juga sebagai
oklusi tuba atau sterilisasi (Saifuddin, 2013).
Indung telur akan menghasilkan sel telur dengan siklus
sebulan sekali mulai menarche sampai menopause. Sel telur tersebut kemudian
masuk ke dalam saluran tuba yang apabila bertemu dengan spermatozoa akan
terjadi pembuahan. Kehamilan terjadi apabila mudigah tertanam pada dinding
rahim. Dengan MOW maka perjalanan sel telur terhambat sehingga tidak dapat bertemu
dan tidak dibuahi oleh sperma (Prawiroharjo, 2010). Dijepit dengan cincin
(tubal ring), penjepit (tuba klip), atau pita tuba (tuba band). Selain itu
dapat dilakukan koagulasi elektrik.
Metode ini memerlukan prosedur bedah, sehingga diperlukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan lainnya untuk memastikan klien
sesuai dengan metode kontrasepsi ini. Metode Operatif Wanita (MOW) termasuk
metode efektif dan tidak menimbulkan efek samping jangka panjang, dan angka
kefektivitasan MOW dibandingkan dengan metode kontrasepsi yang lain adalah
sebagai berikut :
Tabel
2.3 Efektivitas
Berbagai Metode Kontrasepsi (WHO, 2004)
Tingkat Efektivitas |
Metode Kontrasepsi |
Kehamilan Per 100 Perempuan Dalam 12 Bulan Pertama
Pemakaian |
|
Dipakai Secara Biasa |
Dipakai Secara Tepat Dan Konsisten |
||
Sangat Efektif |
Metode Operatif Wanita (MOW) |
0,5 |
0,5 |
Vasektomi |
0,15 |
0,1 |
|
Implan |
0,05 |
0,05 |
|
Suntikan kombinasi |
3 |
0,05 |
|
Suntikan DMPA |
3 |
0,3 |
|
AKDR CuT-380A |
0,8 |
0,6 |
|
Pil Progesteron (Masa Laktasi) |
1,0 |
0,5 |
|
Efektif dalam pemakaian biasa, sangat efektif jika dipakai secara tepat
dan konsisten |
Metode Amenore Laktasi (MAL) |
2 |
0.5 |
Pil Kontrasepsi Kombinasi |
8 |
0,3 |
|
Pil Progesteron (Bukan Masa Laktasi) |
- |
0,5 |
|
Efektif jika dipakai secara tepat dan konsisten |
Kondom Pria |
15 |
2 |
Senggama Terputus |
27 |
4 |
|
Diagfragma + Spermisida |
29 |
18 |
|
KB Alamiah |
25 |
1-9 |
|
Kondom Perempuan |
21 |
5 |
|
Spermisida |
29 |
18 |
|
|
Tanpa KB |
85 |
85 |
Keterangan |
0-1 : Sangat Efektif |
2-9 : Efektif |
> 9 : Kurang efektif |
MOW mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai berikut; cara
relatif mudah, murah dan aman, hanya memerlukan sekali motivasi, sekali
tindakan dan tidak memerlukan pengawasan lebih lanjut yang terus menerus. Angka
kegagalan rendah dan sangat efektif dalam mencegah kehamilan dan efek samping
sedikit. Umumnya tidak terjadi keluhan yang berkepanjangan pada akseptor MOW
(kontrasepsi mantap) apabila dilakukan secara baik,benar dan sesuai prosedur
(Prawiroharjo, 2010) . Keluhan awal yang terjadi pada post operasi hanya
bersifat rasa nyeri pada daerah sayatan, dan infeksi yang terjadi sekitar 1-3%
dan ini dapat ditanggulangi dengan antibiotik
dan perawatan yang adekuat. Selain keunggulan dari MOW juga mempunyai dampak
negatif seperti; dapat terjadi perdarahan dalam rongga perut atau terjadi
infeksi daerah panggul, tetapi angka kejadiannya sangat jarang. Lebih ekonomis
karena hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan saja, apabila dilakukan
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, maka efek samping, resiko
komplikasi dan kematian sangat minimal (Prawiroharjo, 2010).
Faktor yang mempengaruhi
masyarakat khususnya wanita yang PUS tidak memilih metode kontrasepsi MOW ini
salah satunya adalah tidak ada dukungan dari keluarga khususnya suami yang
disebabkan oleh banyaknya efek samping dari MOW terutama respon seksual
terhadap suami. Banyak yang tidak setuju terhadap MOW ini dari salah satu
pasangan suami dan istri yang disebabkan oleh kurangnya informasi tentang MOW.
Hasil penelitian Sahid (2008)
tentang dari 43 respon ditemukan pengguna akseptor MOW mayoritas sudah mendapat
konseling pra MOW sehingga dapat disimpulkan bahwa penting untuk memberikan
informasi terkait MOW untuk memberikan pemahaman positif tentang hal ini. Oleh
sebab itu bagi pasangan suami istri yang akan melaksanakan MOW ini perlu
konseling dari tenaga kesehatan seperti dokter atau perawat yang melayani
kontrasepsi keluarga berencana.
Faktor lain yang menyebabkan
masyarakat tidak menggunakan tindakan MOW ini dapat dianggap tidak reversibel
artinya kontrasepsi ini dilakukan sekali dalam seumur hidup wanita tersebut
(Prawiroharjo, 2010). Walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka tuba
kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi
rekanalisasi yaitu operasi dengan bedah mikro sudah banyak dikembangkan. Teknik
ini tidak saja menyambung kembali tuba fallopi dengan baik, tetapi juga
menjamin kembalinya fungsi tuba.
Hal ini disebabkan oleh teknik
bedah mikro yang secara akurat menyambung kembali tuba dengan trauma yang
minimal, mengurangi perlekatan pasca operasi, mempertahankan fisiologi tuba,
serta menjamin fimbriae tuba tetap bebas sehingga fungsi penangkapan ovum masih
tetap baik walaupun angka keberhasilannya kecil (Prawiroharjo, 2010).
Pada ibu yang post MOW
sementara waktu akan merasa berduka atau merasa kehilangan sesuatu dari
tubuhnya disebabkan kurangnya pengetahuan pasien tentang MOW ini atau tingkat
pengetahuan / pendidikan pasien yang rendah. Metode dengan operasi MOW ini
dijalankan atas dasar sukarela dalam rangka Keluarga Berencana. Tugas perawat
harus memberikan penjelasan tentang berbagai alternatif pengendalian kehamilan
permanen dan sementara, konseling difokuskan untuk membicarakan rasa takut dan
pemahaman yang keliru tentang MOW ini dan kenikmatan seksual menurun tidak
benar kecuali hal tersebut disebabkan oleh faktor psikis (Sujiyatini,2009).
2.3.2
Manfaat
dan Keterbatasan
Manfaat
· Motivasi
kepada pasien hanya dilakukan satu kali saja, sehingga tidak diperlukan
motivasi yang berulang-ulang.
· Sangat
efektif/ Efektivitas hampir 100% (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun
pertama penggunaan).
· Tidak
mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding).
· Tidak
bergantung pada faktor sanggama.
· Baik
bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.
· Pembedahan
sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal.
· Tidak
ada efek samping dalam jangka panjang.
· Tidak
ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon
ovarium).
· Tidak
mempengaruhi libido seksualitas
· Kegagalan
dari pihak pasien (patient’s failure) tidak ada.
· Berkurangya
risiko kanker ovarium.
Keterbatasan
·
Harus dipertimbangkan
sifat permanen metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan dalam jangka
pendek setelah tindakan.kembali), kecuali dengan operasi rekanalisasi.
·
Dilakukan oleh dokter
yang terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi atau dokter spesialis bedah untuk proses
laparoskopi).
·
Tidak melindungi diri
dari IMS, termasuk HBV dan HIV/AIDS
(Affandi, 2012).
2.3.3 Persyaratan
MOW
Dalam Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, pada kontrasepsi mantap
seperti Metode Operatif Wanita (MOW) dan Metode Operatif Pria (MOP) digunakan
klasifikasi sebagai berikut untuk persyaratan penggunaan kontrasepsi :
Tabel
2.2 Klasifikasi Persyaratan Medis Kontrasepsi Mantap (Saifuddin, 2011)
Klasifikasi |
Penjelasan |
A |
Tidak ada alasan medis yang merupakan kontraindikasi
dilakukannya kontrasepsi mantap. |
B |
Tindakan kontrasepsi mantap dapat dilakukan,
tetapi dengan persiapan dan kewaspadaan khusus |
C |
Sebaiknya kontrasepsi mantap ditunda sampai
kondisi medis diperbaiki. Sementara itu berikan metode kontrasepsi lainnya. |
D |
Tindakan kontrasepsi mantap hanya dilakukan oleh
tenaga yang sangat berpengalaman, dan perlengkapan anestesi tersedia.
Demikian pula fasilitas penunjang lainnya. Diperlukan pula kemampuan untuk
mentukan prosedur klinik serta anestesi yang tepat. |
Untuk kontrasepsi mantap pada wanita, yakni Metode Operatif Wanita (MOW)
persyaratan medis yang digunakan dalam penggunaan kontrasepsi dalah sebagai
berikut :
Tabel
2.3 Persyaratan Medis Dalam Penggunaan MOW (Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi, 2011)
Kondisi |
Klasifikasi |
||
Karakteristik Pribadi dan Riwayat Reproduksi |
|||
Kehamilan |
C |
||
Usia Muda |
B |
||
Paritas |
Nulipara |
A |
|
Multipara |
A |
||
Selama Kehamilan |
Preeklamsia ringan |
A |
|
Preeklamsia berat/eklamsia |
C |
||
Perdarahan Antepartum |
C |
||
Trauma Berat Daerah Genitalia |
C |
||
Ruptur Uterus |
D |
||
Ketuban Pecah > 24 jam |
C |
||
Pasca Persalinan |
< 7 hari |
A |
|
7 – 24 hari |
C |
||
≥ 24 hari |
A |
||
Infeksi Nifas |
C |
||
Pasca Abortus |
Tanpa Komplikasi |
A |
|
Sepsis Pasca Keguguran |
C |
||
Perdarahan Pasca Keguguran |
C |
||
Trauma Alat Genital saat abortus |
C |
||
Perforasi Uterus |
D |
||
Hematometra |
C |
||
Kehamilan Ektopik Lampau |
A |
||
Merokok |
Usia < 35 tahun |
A |
|
Usia >35 tahun |
A |
||
Obesitas |
≥ 30kg/m2 IMT |
B |
|
Penyakit Kardiovaskuler |
|||
Faktor Resiko Multipel Penyakit Kardiovaskuler |
D |
||
Hipertensi |
Hipertensi terkontrol |
B |
|
Kenaikan Tekanan Darah Sistolik 140-160 atau
diastolic 90-100 |
B |
||
Sistolik > 160 atau Diastolik > 100 |
D |
||
Penyakit vaskuler |
D |
||
Riwayat Hipertensi Selama Kehamilan |
A |
||
Trombosis Vena Dalam/ Emboli Paru |
Riwayat TVD/EP |
A |
|
TVD/EP saat ini |
C |
||
Riwayat Keluarga dengan TVD/EP |
A |
||
Bedah Mayor |
Imobilisasi Lama |
C |
|
Tanpa Imobilisasi Lama |
A |
||
Bedah Minor |
A |
||
Mutasi Trombogenik |
A |
||
Trombosis Vena Permukaan |
Varises |
A |
|
|
Tromboflebitis Permukaan |
A |
|
Penyakit Jantung Iskemik |
Saat ini |
D |
|
|
Riwayat |
B |
|
Stroke |
B |
||
Hiperlipidemia |
A |
||
Penyakit Jantung Ventrikuler |
Tanpa Komplikasi |
B |
|
Dengan Komplikasi |
D |
||
Kelainan Neurologis |
|||
Nyeri Kepala |
Non Migrain |
A |
|
|
Migrain |
A |
|
Epilepsi |
B |
||
Depresi |
|||
Depresi |
B |
||
Infeksi dan Kelainan Alat Reproduksi |
|||
Perdarahan Pervaginam |
Irreguler |
A |
|
Banyak |
A |
||
Perdarahan yang tidak jelas sebabnya |
C |
||
Endometriosis |
D |
||
Tumor Ovarium Jinak |
A |
||
Dismenorea Berat |
A |
||
Penyakit Trofoblas |
Jinak |
A |
|
Ganas |
C |
||
Ektropion Serviks |
A |
||
Neoplasia Intraepitelial Serviks |
A |
||
Penyakit Mammae |
Massa tidak terdiagnosis |
A |
|
|
Penyakit Mamma Jinak |
A |
|
|
Riwayat Kanker dalam Keluarga |
A |
|
|
Kanker Mammae saat ini |
B |
|
|
Kanker Mammae riwayat lampau, dan Tidak Kambuh
dalam 5 Tahun |
A |
|
Kanker Endometrium |
|
C |
|
Kanker Ovarium |
|
C |
|
Fibroma Uterus |
Tanpa Gangguan Kavum Uteri |
B |
|
|
Dengan Gangguan Kavum Uteri |
B |
|
Penyakit Radang Panggul |
Riwayat PRP dengan Kehamilan Berikutnya |
A |
|
|
Riwayat PRP tanpa Kehamilan |
B |
|
|
Saat ini |
C |
|
Infeksi Menular Seksual |
Purulen servisitis/infeksi klamidia/gonorea |
C |
|
IMS Lain ( Kecuali HIV dan Hepatitis) |
A |
||
Vaginitis |
A |
||
Resiko IMS Meningkat |
A |
||
HIV/AIDS |
|||
Resiko Tinggi HIV |
A |
||
Terinfeksi HIV |
A |
||
AIDS |
D |
||
Infeksi Lain |
|||
Skistosomiasis |
Tanpa Komplikasi |
A |
|
Fibrosis Hati |
B |
||
Tuberkulosis |
Nonpelvis |
A |
|
Pelvis |
D |
||
Malaria |
A |
||
Penyakit Endokrin |
|||
Diabetes |
Riwayat Diabetes Gestasional |
A |
|
Non-Insulin Dependen |
B |
||
Insulin Dependen |
B |
||
Nefropati/renopati/neuropati |
D |
||
Penyakit vascular lain/Diabetes > 20 tahun |
D |
||
Penyakit Tiroid |
Goiter |
A |
|
Hipertiroid |
D |
||
Hipotiroid |
B |
||
Penyakit Gastrointestinal |
|||
Penyakit Kantung Empedu |
Terapi Kolesistektomi |
A |
|
Diobati dengan Obat Saja |
A |
||
Simptomatik Saat ini |
C |
||
Asismtomatik |
A |
||
Riwayat Kolestasis |
Berhubungan dengan kehamilan |
A |
|
Berhubungan dengan pil kontrasepsi |
A |
||
Hepatitis Virus |
Aktif |
C |
|
Carier |
A |
||
Sirosis |
Ringan |
B |
|
Berat |
D |
||
Tumor Hati |
Jinak (Adenoma) |
B |
|
Malignan (Hepatoma) |
B |
||
Kelainan pada Darah |
|||
Talasemia |
|
B |
|
Anemia Bulan Sabit |
|
B |
|
Anemia Defisiensi Fe |
Hb < 7gr% |
C |
|
|
Hb 7 – 10 gr% |
B |
|
Kelainan Lain yang Relevan dengan MOW |
|||
Infeksi Kulit Abdomen |
C |
||
Gangguan Peredaran Darah |
D |
||
Penyakit Paru |
Bronkhitis, pneumonia |
C |
|
Asthma, Emfisema, Infeksi Paru |
D |
||
Infeksi Sistemik/Gastroenteritis |
C |
||
Perlekatan uterus oleh karena pembedahan/infeksi
lampau |
D |
||
Hernia Umbilikalis atau Abdomen |
D |
||
Hernia Diagfragmatikus |
B |
||
Penyakit Ginjal |
B |
||
Defisiensi Gizi Berat |
B |
||
Pembedahan Abdomen/Pelvik Terdahulu |
B |
||
Strerilisasi bersamaan dengan Pembedahan Abdominal |
Elektif |
B |
|
Emergency |
C |
||
Keadaan Infeksi |
C |
||
Strerilisasi bersamaan dengan Sectio Sesarea |
A |
||
Syarat untuk dapat melakukan MOW menurut buku panduan praktis
pelayanan kontrasepsi diantaranya:
·
Usia > 26 tahun.
·
Yakin telah mempunyai
besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya.
·
Pada kehamilannya akan
menimbulkan risiko kesehatan yang serius.
·
Pasca persalinan.
·
Pasca keguguran.
·
Paham dan secara
sukarela setuju dengan prosedur
Tabel 2.4 Keadaan yang memerlukan
kehati-hatian (Saifuddin, 2011)
Keadaan |
Anjuran |
Masalah
– masalah medis signifikan (misalnya penyakit jantung atau pembekuan darah,
Penyakit Radang Panggul Sebenlumnya / sekarang, obesitas diabetes. |
Klien
dengan masalah medis yang signifikan menghakekati penatalaksanaan lanjutan
dan bedah yang khusus. Misalnya, prosedur ini harus dilakukan di rumah sakit
tipe A atau B atau fasilitas swasta dan bukan di sebuah ambulatory facility. Bila memungkinkan, masalah – masalah medis
yang signifikan sebaiknya din kontrol proses pembedahan. |
Anak
tunggal dan /atau dengan tanpa anak sama sekali |
Nasihat
yang sangat hati-hati dan membutuhkan yang bijak. Bantulah klien untuk
memilih metode yang lain, bila perlu. |
Sedangkan yangsebaiknya tidak menjalani tubektomi, diantaranya:
·
Hamil (sudah terdeteksi
atau dicurigai).
·
Perdarahan vaginal yang
belum terjelaskan (hingga harus dievaluasi).
·
Infeksi sistemik atau
pelvik yang akut (hingga masalah itu disembuhkan atau dikontrol).
·
Tidak boleh menjalani
proses pembedahan.
·
Kurang pasti mengenai
keinginannya untuk fertilitas di masa depan.
·
Belum memberikan
persetujuan tertulis.
(Affandi, 2012)
2.3.4
Waktu
untuk Melakukan MOW
(1) Dapat
dilakukan setiap saat selama klien tidak hamil, apabila ingin melakukan
prosedur ini klien disarankan memakai kondom pada siklus menstruasi sebelum
dilakukan prosedur untuk memastikan tidak ada sperma didalam tuba fallopii yang
dapat membuahi sebuah ovum yang dilepaskan sesaat setelah pembedahan
yang kemudian mengakibatkan kehamilan ektopik.
(2) Hari
ke 6 sampai ke 13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi).
(3) Pascapersalinan
(48 jam pertama atau setelah 6 minggu, jika ingin dilakukan diluar waktu
tersebut, klien sudah di imunisasi (Tetanus Toxoid), dan mendapat
lindungan antibiotik maka tubektomi dapat dilaksanakan oleh operator yang
berpengalaman.
(4) Pasca
keguguran segera atau dalam 7 hari pertama, selama tidak ditemukan komplikasi infeksi
pelvis (Anggraini, 2011).
2.3.5
Mekanisme
MOW
Dengan
mengoklusi tuba falopii (mengikat atau memotong atau memasang cincin) sehingga
sperma tidak dapat bertemu dengan ovum (Affandi, 2011).
1) Cara
mencapai tuba
(1) Laparoskopi
Adalah
suatu pemeriksaan endoskopik dari bagian dalam rongga peritoneum dengan
alat laparoskop yang dimasukkan melalui dinding anterior abdomen. Keuntungan
laparoskopi yaitu komplikasi rendah dan pelaksanaannya cepat (rata-rata
5-15 menit), insisi kecil sehingga luka parut sedikit sekali, dapat dipakai
juga untuk diagnostik maupun terapi, kurang menyebabkan rasa sakit bila
dibandingkan dengan mini laparotomi, sangat berguna bila jumlah calon
akseptor banyak. Kerugian laparoskopi resiko komplikasi dapat serius
(bila terjadi), lebih sukar dipelajari, memerlukan keahlian dan keterampilan
dalam bedah abdomen, harga peralatanya mahal dan memerlukan perawatan yang
teliti, tidak dianjurkan untuk digunakan segera post-partum
(2) Mini
laparotomi
Adalah
sterilisasi tuba yang dilakukan melalui suatu insisi suprapubik kecil
dengan panjang biasanya 3-5 cm. Minilaparotomi merupakan metode
sterilisasi wanita yang paling sering dilakukan di seluruh dunia karena
keamananya, kesederhanaannya, dan kemudahan adaptasinya terhadap lingkungan
bedah. Keuntungan minilaparotomi dapat dikerjakan oleh setiap tenaga
medis yang memiliki dasar-dasar ilmu bedah dan keterampilan bedah, hanya
memerlukan alat-alat yang sederhana dan tidak mahal terutama alat-alat bedah
standar, komplikasi umumnya hanya komplikasi minor dan dapat dilakukan segera
setelah melahirkan. Kerugian minilaparotomi yaitu waktu operasi sedikit
lebih lama dibandingkan dengan laparoskopi yang rata-rata memerlukan
10-20 menit, sukar pada wanita yang sangat gemuk bila ada perlekatan-perlekatan
pelvis atau pernah mengalami operasi pelvis, operasi ini meninggalkan
bekas luka parut kecil yang masih dapat terlihat, rasa sakit abdomen yang
singkat karena luka insisi terjadi pada 50% wanita, angka kejadian infeksi luka
operasi lebih tinggi dibandingkan dengan laparoskopi (Anggraini, 2011).
2) Cara
penutupan tuba
(1)
Cara Pomeroy
Tuba dijepit kira-kira pada pertengahannya,
kemudian diangkat sampai melipat. Dasar lipatan diikat dengan sehelai catgut
no. 0 atau no. 1. Lipatan tuba kemudian dipotong diatas ikatan catgut tadi.
Tujuan pemakaian catgut biasa ini ialah agar lekas diabsorbsi, sehingga kedua
ujung tuba yang dipotong lekas menjauhkan diri, dengan demikian rekanalisasi
tidak dimungkinkan.
(2)
Cara Kroener
Fimbria
dijepit dengan sebuah klem. Bagian tuba proksimal dari jepitan diikat dengan
sehelai benang sutera, atau dengan catgut yang tidak mudah diabsorbsi. Bagian
tuba distal dari jepitan dipotong (frimbiektomi)
(3)
Cara Irving
Tuba
dipotong pada pertengahan panjangnya setelah kedua ujung pemotongan diikat
dengan catgut kromik no. 0 atau 00. Ujung potongan proksimal ditanamkan di
dalam myometrium dinding depan uterus. Ujung potongan distal ditanamkan di
dalam ligamentum latum.Dengan acara ini rekanalisasi spontan tidak mungkin
terjadi.Cara tubektomi ini hanya dapat dilakukan pada laparotomy besar seperti
seksio sesarea.
(4)
Pemasangan cincin Falope
Cincin
Falope ( Yoon ring ) terbuat dari silicon, dewasa ini banyak digunakan. Dengan
aplikator bagian ismus tuba ditarik dan cincin dipasang pada bagian tuba
tersebut. Sesudah terpasang lipatan tuba tampak keputih-putihan oleh karena
tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi Jibrotik. Cincin Falope dapat
dipasang pada laparotomy mini, laparoskopi atau dengan laprokator.
(5)
Pemasangan Klip
Berbagai
jenis klip telah dikembangkan untuk memperoleh kerusakan minimal agar dapat
dilakukan rekanalisasi bila diperlukan kelak. Klip Filshie mempunyai keuntungan
dapat digunakan pada tuba yang edema. Klip Hulka-Clemens digunakan dengan cara
menjepit tuba. Oleh karena klip tidak memperpendek panjang tuba, maka
rekanalisasi lebih mungkin dikerjakan.
(6)
Elektro-koagulasi dan pemutusan tuba
Cara
ini dahUlu banyak dikerjakan pada tubektomi laparoskopik. Dengan memasukan
grasping forceps melalui laparoskop tuba dijepit kurang lebih 2 cm dari koruna
diangkat menjahui uterus dan alat-alat panggul lainnya, kemudian dilakukan
kauterisasi. Tuba terbakar kurang lebih 1 cm ke proksimal dan distal serata
mesosalping terbakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi tuba tampak menjadi putih, menggembung lalu
putus. Cara ini sekarang banyak ditinggalkan (Wiknjosastro, 2005).
2.3.6
Pelaksanaan Pelayanan Metode Operatif Wanita
(MOW)
1) Persiapan
Klien
a. Konseling
Konseling merupakan salah satu bagian
penting dalam pelayanan kontap.Tujuannya ialah untuk membantu calon akseptor
kontap memperoleh informasi lebih lanjut mengenai kontap, dan pengertian yang
lebih baik mengenai dirinya, keinginannya, sikapnya, kekhawatirannya, dan
sebagainya, dalam usahanya untuk memahami, dan mengatasi permasalahan yang
sedang dihadapinya.
b. Syarat-Syarat
1. Syarat
sukarela meliputi:
a.
Bahwa pada saat ini selain kontap masih
ada kontrasepsi lainnya yang dapat digunakan untuk menjarangkan kehamilan,
tetapi mereka tetap memilih kontap untuk menciptakan keluarga kecil.
b.
Telah dijelaskan bahwa kontap merupakan
tindakan bedah dan setiap tindakan bedah selalu ada risikonya, walaupun dalam
hal ini kecil, tetapi mereka yakin akan kemampuan dokter yang melaksanakannya
dan faktor risiko dianggap oleh mereka hanya faktor kebetulan saja.
c.
Bahwa kontap adalah kontrasepsi permanen
dan tidak dapat dipulihkan kembali, oleh karena itu mereka sulit untuk
mempunyai keturunan lagi, tetapi mereka dengan sadar memang tidak ingin untuk
menambah jumlah anak lagi untuk selamanya.
d.
Bahwa mereka telah diberi kesempatan
untuk mempertimbangkan maksud pilihan kontrasepsinya, tetapi tetap memilih
kontap ini sebagai kontrasepsi bagi mereka.
2. Setelah
keempat syarat sukarela tersebut dipenuhi belum berarti mereka dapat segera
dilakukan kontap. Nilai ukur untuk dikatakan bahwa keluarga tersebut adalah
keluarga bahagia pun harus dipenuhi pula. Nilai ukur ini dapat diketahui saat
konseling dengan wawancara tertentu, antara lain diketahui bahwa suami istri
ini terikat dalam perkawinan yang sah, harmonis, dan telah mempunyai
sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup, dengan umur anak terkecil 2 tahun dan
umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun. Ditetapkannya umur anak terkecil
disebabkan angka kematian anak di Indonesia masih tinggi , dan ditetapkannya
umur istri disebabkan pada beberapa daerah tertentu angka perceraian juga masih
tinggi.
3. Setelah
syarat bahagia ini dipenuhi, syarat medik kemudian dipertimbangkan, termasuk
pemeriksaan fisik, ginekologik dan laboratorik.
2) Persiapan
Medik
a. Ruang
Operasi
· ruang
operasi harus tertutup dengan pintu yang dapat dikunci dan harus jauh dari
daerah sibuk.
· penerangan
yang cukup
· mempunyai
ventilasi yang baik.
· ada
air bersih yang mengalir
· tempat
cuci tangan dekat dengan ruang operasi dan ruangan ganti pakaian
· tersedia
pula tempat atau kantong plastik yang dapat ditutup rapat dan bebas dari
kebocoran untuk pembuangan limbah.
b. Persiapan
Klien
·
Klien dianjurkan mandi sebelum
mengunjungi tempat pelayanan. Bila tidak sempat, minta klien untuk membersihkan
bagian abdomen/perut bawah, pubis dan vagina dengan sabun dan air.
·
Bila menutupi daerah operasi, rambut
pubis cukup digunting (bukan/tidak dicukur). Pencukuran hanya dilakukan apabila
sangat menutupi daerah operasi dan waktu pencukuran adalah sesaat sebelum
operasi dilaksanakan.
·
Bila menggunakan elevator atau
manipulator rahim, sebaiknya dilakukan pengusapan larutan antiseptik (misal
Povidon lodin) pada serviks dan vagina (terutama klien masa interval).
·
Setelah pengolesan Betadin/Povidon Iodin
pada kulit, tunggu 1 - 2 menit agar jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh
mikroorganisme dengan baik.
c. Kelengkapan
untuk Klien dan Petugas Ruang Operasi
·
Klien menggunakan
pakaian operasi. Bila tidak tersedia, kain penutup yang bersih dapat
dipergunakan untuk klien.
·
Operator dan petugas
kamar operasi harus dalam keadaan siap (mencuci tangan, berpakaian operasi,
memakai sarung tangan, topi, dan masker) saat berada di ruang operasi.
·
Masker harus menutupi
mulut dan hidung, bila basah/lembab harus diganti.
·
Topi harus menutupi
rambut.
·
Sepatu luar harus
dilepas, ganti dengan sepatu atau sandal yang tertutup yang khusus dipergunakan
untuk ruang operasi.
d. Pencegahan
Infeksi
Sebelum
pembedahan
Operator dan petugas mencuci tangan dengan menggunakan
larutan antiseptik, serta mengenakan pakaian operasi dan sarung tangan steril.
· Gunakan
larutan antiseptik untuk membersihkan vagina dan serviks.
· Usapkan
larutan antiseptik pada daerah operasi, mulai dari tengah kemudian meluas ke
daerah Mar dengan gerakan memutar hingga bagian tepi dinding perut. Untuk klien
pasca persalinan bersihkan daerah pusat/umbilikus dengan baik. Tunggu 1 - 2
menit agar jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme dengan
baik.
Selama
pembedahan
· Batasi
jumlah kegiatan dan petugas di dalam ruang operasi.
· Pergunakan
instrumen, sarung tangan dan kain penutup yang steril/DTT.
· Kerjakan
dengan keterampilan dan teknik yang tinggi untuk menghindarkan trauma dan
komplikasi (perdarahan).
· Gunakan
teknik "pass" yang aman untuk menghindari luka tusuk instrumen.
Setelah
pembedahan
· Sementara
menggunakan sarung tangan operator dan/atau petugas ruang operasi harus
membuang limbah ke dalam wadah atau kantong yang tertutup rapat dan bebas dari
kebocoran.
· Lakukan
tindakan dekontaminasi pada instrumen atau peralatan yang akan dipergunakan
sebelum dilakukan pencucian, dekontaminasi dengan larutan klorin 0,5%.
· Lakukan
dekontaminasi pada meja operasi, lampu, meja instrumen atau benda lain yang
mungkin terkontaminasi/tercemar selama operasi dengan mengusapkan larutan
klorin 0,5%.
· Lakukan
pencucian dan penatalaksanaan instrumen/peralatan seperti biasa.
· Cuci
tangan setelah melepas sarung tangan.
e. Premedikasi
dan Anestesi
Anestesi
lokal yang menggunakan Lidokain 1% dianggap lebih aman dibandingkan dengan
anestesi umum atau konduksi (spinal/epidural) terutama bila
dilaksanakan/diperlakukan sebagai klien rawat jalan. Penggunaan anestesi umum
mungkin akan meningkatkan komplikasi respiratory depression (misalnya aspirasi
atau henti jantung) akibat kesalahan pemberian bahan anestesi, teknik yang
tidak tepat, pemantauan yang kurang baik, dan gagal melakukan intubasi. Juga
fasilitas mungkin tidak lengkap untuk menangani komplikasi akibat anestesi
umum.
Pada
penggunaan anestesi lokal atau anestesi lokal yang dimodifikasi, dianjurkan:
·
Agar pemberian anestesi
sebaiknya dilakukan oleh operator atau asistennya.
·
Klien dan penanganan
efek samping perlu mendapat pemantauan.
·
Dosis sebaiknya
diberikan dalam unit/kg untuk menghindari pemberian yang berlebihan dan klien
ditangani secara individual.
·
Peralatan dan obat
darurat harus tersedia.
Tabel 2.5 Obat Anestesi untuk MOW (Saifuddin, 2011)
Obat |
Regimen |
||
Dosis
Umum |
Dosis
Maksimum |
||
Unit/kg |
Kline
40-50 kg |
||
Atropin |
0,01 mg |
0,4 mg |
0,6 mg |
Diazepam Alternatif : Midazolam (Versed®) |
0,10 0,05 mg |
5 mg 2,5 mg |
10 mg 3 mg |
Meperidin (Pethidin®) Alternatif : Ketamine (ketalar) |
1 mg 0,5 mg |
50 mg 25 mg |
75 mg - |
Bila klien membutuhkan tambahan
obat agar lebih nyaman : Meperidin |
|
2,5 mg |
- |
Lidokain 1% ·
Analgesik ·
Analgesik
lokal |
Sampai 5 cc/tuba Maks.300 mg/ 20cc |
5 ml 1% Lidokain (Xylocaine®,
lingo caine®) untuk setiap tuba 5 ml 0,5 Bupi vakain (Marcaine®) lidokain gel
2%. Lidokain (Xylocaine®, Lignocaine®)
1% 20 cc (maksimal 300 mg), Bupivakain (Marcaine®) 0,5% 20 cc (maksimum 125
mg) |
|
Semua pemberian intravena sebaiknya
menggunakan set infus dan cairan seperti dekstrose, garam fisiologik atau
ringer laktat. Obat sebaiknya diberikan perlahan-lahan (di atas 2 menit ).
Harus diingat bahwa midazolam empat kali lebih kuat daripada diazepam.
Perhatikan kondisi berikut pada pemberian
anestesi lokal.
· Semua
petugas yang terlibat dalam kegiatan tubektomi harus mengetahui dan menguasai
penggunaan obat-obat anestesi.
· Obat
untuk keadaan darurat, demikian pula peralatan lainnya, harus sudah tersedia
sebelum melakukan tindakan bedah dan petugas yang ada harus mengetahui cara
penggunaannya.
· Sebaiknya
tersedia dokter spesialis anestesi atau perawat/penata anestesi ketika
menggunakan anestesi umum.
2.3.7 Penanganan Komplikasi
Tabel 2.6 Penanganan atas
komplikasi yang mungkin terjadi pada MOW (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2011)
Komplikasi |
Penanganan |
Infeksi luka. |
Apabila terlihat infeksi luka,
obati dengan uperficia. Bila terdapat
abses, lakukan drainase dan obati seperti yang terindikasi. |
Demam pasca operasi (> 38° C). |
Obati infeksi berdasarkan apa yang
ditemukan. |
Luka pada kandung kemih, in-
testinal (jarang terjadi). |
Mengacu ke tingkat asuhan yang
tepat. Apabila kandung kemih atau usus luka dan diketahui sewaktu operasi,
lakukan reparasi primer. Apabila ditemukan pasca operasi, dirujuk ke rumah
sakit yang tepat bila perlu. |
Hematoma (subkutan). |
Gunakan packs yang hangat dan
lembab di tempat tersebut. Amati; hal ini biasanya akan berhenti dengan
berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan drainase bila ekstensif. |
Laparoskopi (sangat jarang
ter-jadi). |
Ajukan ke tingkat asuhan yang
tepat dan mulailah resusitasi intensif, termasuk: cairan intravena, resusitasi
kardio uperfici, dan tindakan penunjang kehidupan lainnya. |
Rasa sakit pada lokasi
pembe-dahan. |
Pastikan adanya infeksi atau abses
dan obati berdasarkan apa yang ditemukan. |
Perdarahan uperficial (tepi-tepi
kulit yang atau subkutan) |
Mengontrol perdarahan dan obati
berdasarkan apa yang ditemukan. |
2.4 Manajemen Asuhan Kebidanan
I.Pengumpulan
Data Klien
Data Subjektif
Anamnesa
dilakukan untuk memperoleh data subjektif dari pasien atau klien.
1. Identitas ibu dan
suami
·
Nama
Mempermudah
dalam pembuatan akte / surat kelahiran, dan mengantisipasi kesalahan pemberian
asuhan jika nama klien sama.
·
Umur
Mengetahui
apakah ibu termasuk tergolong pada ibu dengan faktor resiko. Umur
ibu yang dipersayaratkan untuk MOW adalah lebih dari 26 tahun.
·
Pendidikan
Mengetahui
tingkat pengetahuan sehingga mudah dalam pemberian informasi dan edukasi,
karena tingkat pendidikan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang terhadap
masalah kesehatannya
·
Pekerjaan
Mengetahui
tingkat perekonomian keluarga ibu dan
pekerjaan ibu.
·
Alamat
dan nomor telepon
Mempermudah
untuk menghubungi ibu atau keluarga terdekat ibu apabila menemukan masalah yang
perlu diberitahukan dalam pemberian asuhan kebidanan.
2. Keluhan
Utama
Keadaan yang paling mengganggu ibu. Pada ibu yang akan menghadapi
MOW didapatkan keluhan rasa cemas saat sebelum dilakukannya operasi.
3. Riwayat Menstruasi
Mengetahui
kapan mens terakhir ibu untuk memastikan bahwa ibu sedang tidak hamil.
4. Riwayat Kontrasepsi
Mengetahui alat
kontrasepsi apa saja yang telah digunakan oleh ibu selama ini dan memastikan
tidak ada komplikasi dari pemakaian KB sebelumnya.
5. Riwayat Obstetri
Mengetahui ada
tidaknya riwayat obstetri yang menguatkan indikasi medis untuk dilakukan MOW
pada seorang perempuan.
6.
Status Perkawinan
·
Usia
pertama kali kawin
Mengetahui
apakah ibu kawin untuk pertama kali dalam usia reproduksi ( 20 – 35 tahun)
dimana jika ibu kawin pertama kali pada usia ≤ 18 tahun atau ≥ 35 tahun
merupakan usia yang ekstrim yang merupakan
faktor predisposisi yang dapat menimbulkan komplikasi pada ibu.
·
Lama
perkawinan
Menilai
apakah ibu tergolong infertilitas primer, infertilitas sekunder atau bayi
merupakan anak ”mahal”.
·
Suami
Keberapa
Digunakan
untuk mengetahui apakah suami ibu memiliki risiko
untuk menularkan PMS karena dapat menyebabkan penyakit ginekologik pada ibu.
7.
Riwayat Penyakit Sistemik Yang Pernah dan atau Sedang Diderita
1.
Jantung
Pada
ibu yang didapatkan adanya hipertensi sebagai akibat dari retensi cairan dan
natrium dari aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron. Untuk Persyaratan
MOW jika didapatkan tekanan darah sistolik 140-160 mmHg dan diastolik 90-100
mmHg, maka tindakan kontrasepsi mantap MOW dapat dilakukan tetapi dengan
persiapan dan kewaspadaan khusus.
2.
Ginjal
Pada ibu yang
menderita penyakit ginjal, biasanya didapati keluhan mual muntah, sesak nafas,
hipertensi. Hal yang perlu diwaspadai untuk calon akseptor MOW adalah jika efek
dari penyakit ginjalnya pada tekanan darah, karena untuk dilakukan MOW
diperlukan persiapan dan penanganan khusus.
3.
Hepatitis
Bila
terdapat anoreksia, mual, muntah, febris, hepatomegali, ikterus jika termasuk
kategori aktif maka sebaiknya tindakan kontrasepsi mantap (MOW) ditunda sampai
kondisi medis diperbaiki, tetapi jika karier dapat dilakukan MOW.
4.
Diabetes Melitus
Bila
ada tiga tanda utama yang biasanya terdapat pada penderita diabetesmellitus
yaitu poliuri(sering kencing), polidipsi (sering haus) dan poli phagi (sering
lapar). Diabetes mellitus merupakan
kontraindikasi dilakukannya MOW.
8. Riwayat Kesehatan dan Penyakit Keluarga ( Keturunan)
1.
Jantung
Bila
ditandai dengan mudah lelah, jantung berdebar, sesak napas, angina pektoris, pembesaran
vena jugularis, oedema, tangan berkeringat, hepatomegali, takhikardi,
kardiomegali.
2.
Hipertensi
Pada ibu dengan
hipertensi, cenderung ada anggota keluarga yang pernah menderita hipertensi,
baik dari keluarga ibu maupun keluarga suami.
3.
TBC ( menular)
Bila
pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki
basah), tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum, batuk yang lama
terutama pada malam hari, pembesaran kelenjar limfe.
4.
Ginjal
Bila
ditandai dengan fatigue, malaise, gagal tumbuh, pucat, lidah kering, poliguria,
hipertensi, proteinuria, nokturia.
5.
Hepatitis ( menular)
Bila
terdapat anoreksia, mual, muntah, febris, hepatomegali, ikterus.
6.
Asma
Bila
ditandai dengan napas pendek, berbunyi (wheezing), batuk-batuk (tersering
padamalam hari), napas atau dada seperti tertekan.
7.
Diabetes Melitus
Bila
ada anggota keluarga yg menderita DM, dengantiga tanda utama yang biasanya
terdapat pada penderita diabetes mellitus yaitu poliuri(sering kencing),
polidipsi (sering haus) dan poliphagi (sering lapar)
9. Pola Fungsi Kesehatan / Pola Kebiasaan Sehari - hari
a. Nutrisi
dan hidrasi
Untuk
prosedur MOW, Ibu yang akan melakukan operasi harus di puasakan minimal 8 jam
sebelumnya.
b. Eliminasi
Ibu
yang akan dilakukan operasi, kandung kemih dan rektum dalam keadaan kosong
c.
Aktivitas dan istirahat
Untuk memantau keadaan ibu, karena ibu
yang akan menjalani operasi keluhan utamanya cemas akan menghadapi operasi yang
berakibat kurangnya istirahat.
10.
Riwayat psikososial budaya
Perlu dikaji apakah
suami dan istri telah yakin dan untuk
melakukan MOW.
Data
Objektif
1.
Pemeriksaan Umum
Mengetahui keadaan ibu, status gizi, kelainan bentuk
badan dan kesadaran serta untuk mengetahui perubahan –perubahan fisik pada ibu.
1) Kesadarannya composmentis dengan tanda-tanda bisa atau
tidak timbal balik dalam berkomunikasi.
2) Keadaan emosional baik bila bisa diajak berkomunikasi dan
mau bekerjasama.
3) Tanda – tanda vital
Penilaian
tekanan darah, temperature tubuh, jumlah dan frekuensi pernafasan dan denyut
nadi.
1).
Denyut Nadi : 76-88 kali/menit
2).
Pernapasan :
16-24 kali/menit
3). Suhu : 36,5-37,5 C
4). Tekanan
Darah :
110-120/70-80 mmHg
2.
Pemeriksaan Fisik
Mengetahui
adanya penyulit / kelainan yang timbul pada ibu.
Inspeksi, Palpasi, Perkusi
Muka : oedem atau
tidak.
Mata : sklera
putih dan konjungtiva
merah muda
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe, tidak ada bendungan vena jugularis,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Abdomen : Tidak ada
nyeri, tidak ada massa, tidak ada pembesaran uterus
Genitalia : Tidak
oedem, tidak ada varises
Ekstrimitas
Atas : Tidak ada oedem, simetris
Bawah :
Tidak ada varises, tidak ada oedem, simetris
3. Pemeriksaan Penunjang
Lab Hematologi (darah
lengkap) sebagai persiapan operasi MOW, karena bila anemia berat, DM, ada
kelainan pembekuan darah, hepatitis, serta infeksi sistemik yang akut, maka
proses MOW tidak dapat dilaksanakan.
II. Perumusan Diagnosa
dan Masalah
Identifikasi Diagnosa, Masalah dan
Kebutuhan
Diagnosa : PAPAHpre / post MOW
Masalah : keluhan yang dirasakan oleh ibu yang akan menghadapai
operasi adalah
gangguan rasa cemas
Kebutuhan : Konseling
III. Antisipasi
Diagnosa dan Masalah Potensial
Mengidentifikasi diagnosa dan
masalah potensial sesuai dengan diagnosa dan masalah yang sudah diidentifikasi
Diagnosa : PAPAHpre /
post MOW
Masalah Potensial : infeksi
luka, hematoma, perdarahan superfisial
Antisipasi : konseling bila
terdapattanda infeksi pada luka bekas jahitan
IV. Identifikasi Kebutuhan Tindakan Segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan
segera oleh bidan atau dokter untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama
dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien.Tidak ada tindakan segera yang dibutuhkan
dalam kasus MOW.
VI. Perencanaan
1.
Beritahukan hasil
pemeriksaan pada ibu.
R/ Agar ibu tahu dan mengerti mengenai
keadaan ibu saat ini.
2.
Observasi keadaan umum,
keluhan, TTV, kandung kemih, pemeriksaan abdomen.
R/ Agar dapat mengambil tindakan lebih
lanjut apabila terdapat ketidaknormalan.
3.
Berikan dukungan
psikologi kepada ibu dalam menghadapi perubahan fisik, psikologis, dan peran
sosial yang dialaminya.
R/ Agar Ibu lebih tenang dan menerima
keadaannya saat ini.
4.
Berikan KIE
(Konsultasi, Informasi, dan Edukasi) kepada Ibu mengenai kebutuhan nutrisi,
mobilisasi, personal hygiene, eliminasi, istirahat,.
R/ Agar Ibu memperbaiki
pola nutrisi, mobilisasi, personal hygiene, eliminasi, dan istirahat.
5.
Konsultasi dan
kolaborasi dengan dokter obgyn untuk perawatan luka pemberian terapi antibiotik
dan analgesik yang tepat.
R/ Agar luka kering dan menutup sempurna
serta tidak terjadi infeksi.
6.
Menjadwalkan kunjungan
ulang untuk kontrol jahitan.
R/ Agar keadaan jahitan ibu dan kondisi
post op dapat terpantau.
VII.
Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan
asuhan kebidanan yang diberikan kepada ibu sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
ibu yang mengacu pada perencanaan.
VIII.
Evaluasi
Tindakan pengukuran antara
keberhasilan dalam melaksanakan tindakan untuk mengetahui sejauh mana
keberhasilan tindakan yang dilakukan sesuai kriteria hasil yang ditetapkan dan
apakah perlu untuk melakukan asuhan lanjutan
atau tidak.
BAB
3
TINJAUAN
KASUS
DATA
SUBYEKTIF
Tanggal
MRS : 18 Pebruari 2019
Tanggal
pengkajian : 19 Pebruari 2019
Jam
pengkajian : 09.30 WIB
Tempat : Premed Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya
No.
RM : 56.89.xx
1.
IDENTITAS
Nama
ibu |
: |
Ny.
S. |
Nama
suami |
: |
Tn.
S. |
Umur |
: |
41
tahun |
Umur |
: |
44
tahun |
Agama |
: |
Islam |
Agama |
: |
Islam |
Suku |
: |
Jawa |
Suku |
: |
Jawa |
Pendidikan |
: |
SD |
Pendidikan |
: |
SMA |
Pekerjaan |
: |
Swasta |
Pekerjaan |
: |
Swasta |
Alamat |
: |
Wonoayu |
|
|
|
2.
Keluhan Utama
Ibu merasa cemas
karena akan menjalani operasi
3.
Riwayat menstruasi
HPHT |
: |
24-10-2018 |
Siklus |
: |
Tidak teratur |
Lama |
: |
3-6 hari |
Fluor albus |
: |
Tidak ada |
Dysmenorhea |
: |
Jarang |
4.
Riwayat obstetri lalu
Kehamilan |
Persalinan |
Anak |
Nifas |
KB |
|||||||||
Suami ke |
Anak
ke |
UK |
Pylt |
Penol |
Jenis |
Tmpt |
Pylt |
JK |
BB |
H/M |
Pylt |
ASI |
|
1 |
1 |
9 bl |
- |
Bidan |
Spt |
PMB |
- |
L |
2500 gr |
21 th |
- |
2 th |
Stk |
2 |
9 bl |
- |
Bidan |
Spt |
PMB |
- |
L |
3200 gr |
17 th |
- |
2 th |
Stk |
|
2 |
3 |
9 bl |
- |
Bidan |
Spt |
PMB |
- |
L |
3000 gr |
16 bl (M) |
- |
1 th |
Stk |
4 |
9 bl |
- |
Bidan |
Spt |
PMB |
- |
L |
3200 |
8 th |
- |
2 th |
Stk |
|
5 |
HAMIL INI dd mola
hidatidosa |
5.
Riwayat kehamilan dan persalinan ini
Pada
kehamilan ini melakukan ANC pertama kali pada bulan November 2018 di Sp. OG
Klinik Surabaya dengan keluhan telat menstruasi. Pada bulan Desember 2018 ANC
dengan keluhan keluar flek darah sedikit, diberikan terapi penguat kandungan.
Pemeriksaan selanjutnya pada bulan Pebruari 2019 pemeriksaan ANC dengan keluhan
flek semakin banyak karena kecapekan, dilakukan pemeriksaan penunjang USG
dengan hasil janin tidak berkembang dan dilakukan rujukan ke Rumkital Dr.
Ramelan
Dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa USG transvaginal
di Rumkital Dr. Ramelan dengan hasil
ditemukan hamil mola hidatidosa +
kista ovarium kanan + susp. hematocele disarankan
untuk kuretase dan kistektomi.
6.
Riwayat kontrasepsi
Ibu
menggunakan kontrasepsi pil selama 2 bulan sebelum kehamilan anak pertama,
dilanjutkan kontrasepsi suntik 3 bulan selama 3 tahun setelah kelahiran anak
pertama hingga kehamilan kedua, 2 tahun dari kelahiran anak kedua ke kehamilan
anak ketiga, 4 tahun dari kelahiran anak ketiga ke kehamilan keempat, dan 7
tahun dari kelahiran anak keempat ke kehamilan sekarang (kelima). Ibu melepas
kontrasepsi suntik 3 bulan karena merencanakan untuk hamil lagi. Total
penggunaan kontrasepsi 3 bulan selama 16 tahun.
Saat
ini ibu menginginkan untuk kontrasepsi MOW, suami menyetujui kontrasepsi yang
dipilih ibu. Ibu beserta suami memahami resiko dari kontrasepsi MOW berupa
kontrasepsi mantap yang efektivitas tinggi dan peluang kembali subur rendah.
7.
Riwayat penyakit ibu
Tidak sedang atau pernah menderita
penyakit menurun seperti jantung, ginjal, hipertensi DM, dan asma, tidak sedang atau pernah pernah menderita
penyakit menular seperti TBC, hepatitis, dan PMS.
8.
Riwayat penyakit keluarga
Keluarga tidak ada yang sedang atau
pernah menderita penyakit menurun seperti jantung, ginjal, DM, hipertensi, asma
dan tidak ada yang sedang atau pernah menderita penyakit menular seperti TBC,
hepatitis, dan PMS.
9.
Data fungsional kesehatan
1). Data nutrisi
Terakhir
makan tanggal 18 Pebruari 2018 jam 21.00 WIB dengan satu porsi nasi, lauk, dan
sayur. Serta terakhir minum jam 24.00 WIB sebanyak 1/2 gelas air putih.
2). Data Eliminasi
Terakhir BAB tanggal 18 Pebruari 2018 jam
17.00 WIB dan BAK terakhir tanggal 19 Pebruari 2019 jam 06.00 WIB.
3). Data
Istirahat
Tidur malam <6 jam dikarenakan cemas
4). Data
kebiasaan
Ibu tidak mengkonsumsi alkohol,
jamu-jamuan, obat-obatan tertentu, tidak merokok, tidak pijat perut, tidak
narkoba dan tidak punya hewan peliharaan.
10.
Riwayat psikososial dan budaya
Pernikahan kedua ibu dengan suami,
pernikahan pertama selama ±7 tahun dan pernikahan kedua selama ±15 tahun, ibu
menikah pertama kali pada usia 18 tahun, ibu dan keluarga tidak
mempunyai kebiasaan yang merugikan kesehatan. Kehamilan ini merupakan kehamilan
yang direncanakan oleh ibu dan suami, ibu memahami resiko dari kehamilan saat
ini (usia >35 tahun dan kehamilan >4 kali) berupa keguguran dan bayi
lahir cacat
Ibu dan suami
menyetujui melakukan kontrasepsi MOW. Ibu merasa cemas menghadapi proses operasi, ibu didampingi oleh
keluarga.
DATA
OBYEKTIF
1) Pemeriksaan
umum
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos
mentis
Tanda-tanda vital
TD : 120/70 mmHg
S : 36,6oC
N : 81 x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2 : 99%
Antropometri
BB :
44 kg
TB :
152 cm
IMT :
44 kg : (1,52 m)2 = 19,04 kg/m2
2) Pemeriksaan
fisik
Wajah
|
: |
tidak
pucat dan tidak oedema |
Mata |
: |
konjungtiva
merah muda, sklera putih |
Abdomen |
: |
tidak
terdapat bekas jahitan operasi, tidak ada nyeri tekan |
Ekstremitas |
: |
Tidak
terdapat oedema pada ekstremitas bawah, juga tidak terdapat varises. Terpasang infus RL di
tangan kanan. |
Genitalia |
: |
Tidak ada pengeluaran darah selama di premed, terpasang
DC. |
3) Data
Rekam Medik
Ibu
melakukan pemeriksaan penunjang di poli kandungan Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
berupa USG pada tanggal 18 Pebruari 2019 pagi dengan hasil diagnosis berupa mola hidatidosa + kista ovarium + susp. hematocele dengan advis dokter pro
kuretase + pro MOW + pro kistektomi. Saat diruangan E2 sebelum tindakan
operasi, pasien diberikan terapi cefazolin 2 gr sebagai antibiotik profilaksis
dan tidak ada reaksi alergi.
4) Pemeriksaan
penunjang
(1) Hasil
pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Pebruari 2019
Parameter |
Hasil |
Satuan |
Nilai
Normal |
Kesimpulan |
HEMATOLOGI |
||||
WBC |
8,03 |
103/uL |
4,00 – 10,00 |
N |
HGB |
13,8 |
g/dL |
13,2 – 17,3 |
N |
PLT |
337 |
103/uL |
150 – 440 |
N |
KIMIA |
||||
GD Puasa |
123,0 |
mg/dL |
74 – 106 |
N |
GD 2 JPP |
138,0 |
mg/dL |
<120 |
N |
BUN |
12,0 |
mg/dL |
10 – 24 |
N |
Kreatinine |
0,6 |
mg/dL |
0,6 – 1,1 |
N |
SGOT |
20,0 |
U/L |
0 – 35 |
N |
SGPT |
14,0 |
U/L |
0 – 37 |
N |
Albumin |
4,43 |
g/dL |
3,40 – 4,80 |
N |
Natrium |
134,7 |
mmol/L |
135,00 – 147,00 |
A |
Kalium |
3,52 |
mmol/L |
3,50 – 5,00 |
A |
Chlorida |
104,8 |
mmol/L |
95,00 – 105,00 |
A |
(2) Hasil
pemeriksaan thorax PA pada tanggal 15 Pebruari 2019
Kesan : keradangan paru kanan atas susp. KP minimal lesion
(3) Hasil
pemeriksaan USG pada tanggal 19 Pebruari 2019
Kista : 4,22 cm
Susp. Hematocele : 4,25 cm
ANALISIS
DATA
Diagnosis : G5P4003, 16/17
minggu, abortus dd mola hidatidosa +
kista ovarium + susp. Hematocele
dengan pro kuretase + pro MOW + pro
kistektomi
PENATALAKSANAAN
Jam |
Penatalaksanaan |
Ket. |
19/02/19 09.30 |
Transfer
ruang E2 ke ruang premed - Memeriksa
formulir informed consent anestesi,
kuretase dan MOW - KIE
ulang kontrasepsi MOW berupa MOW adalah kontrasepsi mantap yang tingkat
kembalinya kesuburan rendah, MOW tidak mempengaruhi siklus menstruasi, tidak
mengganggu pola/gairah seksual - Memastikan
pasien puasa pada jam yang ditentukan - Memastikan
rambut area genetalia telah dicukur - Memastikan
pasien tidak memakai perhiasan, lipstick,
cat kuku, dan gigi palsu |
Bidan, Mahasiswa |
11.45 |
Masuk
kamar operasi Pasien
diposisikan litotomi |
Bidan, Mahasiswa |
12.00 |
Kolaborasi
dengan dokter dan perawat Anestesi untuk tindakan anestesi |
Dokter Sp.An |
12.15 |
Kolaborasi
dengan dokter Sp.OG untuk tindakan kuretase, tindakan laparoskopi untuk tubektomi
bilateral, dan kistektomi ovarium dekstra Temuan
saat operasi : -
Uterus membesar dalam interval normal -
Tuba dekstra dan tuba sinistra normal -
Ovarium sinistra normal -
Ovarium dekstra terdapat kista 4 cm -
Hematocele tidak ada |
Dokter Sp.OG |
14.00 |
Operasi
selesai Tidak
ditemukan komplikasi dan perdarahan Sampel
hasil kuretase dan kistektomi dikirim ke bagian Patologi Anatomi |
Dokter Sp.OG, Bidan |
14.40 |
Pasien
dipindahkan ke Recovery Room Kesadaran : compos
mentis GCS : 456 K.
U. : cukup TD : 110/60 mmHg SpO2 : 100% RR : 20 x/menit N : 80 x/menit Wajah : terpasang oksigen masker Abdomen
: terpasang plester pada luka insisi tepat di bawah umbilikus dan 3 insisi
pada abdomen bawah kanan dan kiri.
Plester dalam keadaan baik, tidak merembes, tidak ada perdarahan Genetalia : pengeluaran darah ± 5 cc, terpasang DC Ekst. : terpasanag IV cath menetes RL di tangan kanan Terapi : Ketorolac 30 mg, Antrain 1 gr, Traksamin
1gr, Tomit 10 mg, tidak ada reaksi alergi terhadap terapi yang diberikan. |
Bidan, Mahasiswa |
CATATAN
PERKEMBANGAN
Tanggal
20-02-2019 pukul 12.00 WIB (di ruang E2)
S : Pasien mengatakan nyeri luka jahitan
dan takut luka jahitan bernanah
O :
K.U. : baik Kes. : compos mentis
TD :
120/80 mmHg N : 90 x/menit RR : 20
x/menit
S :
37oC SpO2 : 97% GCS : 456
Skala nyeri : 2
Abdomen
: terpasang plester pada luka insisi tepat di bawah umbilikus dan 3 insisi pada
abdomen bawah kanan dan kiri. Plester dalam keadaan baik, tidak merembes, tidak
ada perdarahan
Genetalia : ada pengeluaran darah sedikit
Aff infus DS dan DC pukul 09.00 WIB
A : post kuretase + tubektomi bilateral +
kistektomi dekstra a/i kista ovarium dekstra + abortus dd mola hidatidosa hari
ke 1
P :
-
Observasi TTV, perdarahan, dan keluhan
-KIE
menegenai fisiologi nyeri yang dirasakan ibu, nyeri normal dirasakan pada
pasien post-operasi, disarankan ibu untuk meminum obat anti nyeri yang
diberikan dan tetap melakukan mobilisasi sesuai kemampuan ibu
-Terapi
paracetamol 3x500 mg, Vitablet 1x1, inj. Ketorolac 2x1, inj. Transamin 2x500 mg,
tidak ada reaksi alergi terhadap terapi yang diberikan.
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal
21-02-2019 pukul 11.00 WIB (di Ruang E2)
S : Tidak ada keluhan
O :
K.U. : baik Kes. : compos
mentis
TD :
120/80 mmHg N : 90 x/menit RR : 20
x/menit
S :
37oC SpO2 : 97% GCS : 456
Skala nyeri : 2
Abdomen
: terpasang plester pada luka insisi tepat di bawah umbilikus dan 3 insisi pada
abdomen bawah kanan dan kiri. Plester dalam keadaan baik, tidak merembes, tidak
ada perdarahan
Genetalia : tidak ada pengeluaran darah
A
: post kuretase + tubektomi bilateral +
kistektomi dekstra a/i kista ovarium dekstra + abortus dd mola hidatidosa hari
ke 2
P :
-
Observasi TTV dan keluhan
-Konseling
efektivitas MOW, seksualitas, dan mengkaji pemahaman pasien tentang MOW
-KIE
perawatan luka dengan menjaga luka operasi kering dan bersih, aktivitas seksual
dapat dilakukan sekiranya ibu merasa siap, tidak berpantang makanan kecuali ibu
memiliki alergi, disarankan mengonsumsi makanan tinggi protein untuk membantu
penyembuhan luka
-Pro
KRS pada tanggal 21 Pebruari 2019 dan dijadwalkan untuk kontrol ulang pada
tanggal 27 Pebruari 2019 di Klinik KB Rumkital Dr. Ramelan Surabaya atau bila
ibu mengalami keluhan
BAB 4
PEMBAHASAN
Ny. S merupakan
pasien rujukan ke klinik kandungan Rumkital Dr. Ramelan pada tanggal 18
Februari 2019 atas indikasi abortus mola dengan usia kandungan 16/17 minggu.
Ny. S melakukan pemeriksaan kehamilan pertama kali saat usia telat haid selama
2 bulan dan dilakukan pp test positif, kemudian melakukan pemeriksaan kehamilan
ke dokter kandungan, selama kehamilan Ny. S mengeluh keluar bercak darah pada
bulan November dan sudah diberikan penguat kandungan oleh dokter kandungan di
tempat Ny. S melakukan ANC. Pada bulan Februari Ny. S mengeluh keluar bercak
darah kembali dalam jumlah lebih banyak dari sebelumnya dan di diagnosis hamil
mola, akhirnya dilakukan rujukan ke Rumkital Dr. Ramelan untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan
ditemukan kehamilan mola, kista berukuran 4 cm, dan suspect hematokel ukuran 4
cm. Ny. S berencana untuk menggunakan kontrasepsi metode operatif wanita (MOW)
dan sudah disetujui oleh suaminya, sehingga Ny. S masuk ruang perawatan di E2
Rumkital Dr. Ramelan dan dijadwalkan kuretase dan laparoskopi untuk tindakan
MOW pada tanggal 19 Februari 2019.
Salah satu
faktor predisposisi kehamilan mola menurut Syafii, dkk (2006) dan Jafar et al (2011) adalah faktor usia ibu
yaitu risiko mola akan lebih tinggi pada usia kurang dari 20 dan diatas 35
tahun. Menurut Genest et al (2003)
risiko hamil mola meningkat 5 sampai 10 kali lipat lebih besar pada wanita
hamil berusia belasan atau antara 40 sampai 50 tahun. Pada kasus ini usia Ny. S
adalah 41 tahun, sehingga risiko untuk terjadi hamil mola menjadi tinggi.
Selain itu faktor lainnya menurut Jaffar et
al (2011) adalah paritas tinggi, yaitu ibu multipara cenderung berisiko
karena trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi genetik. Ny. S merupakan
kehamilan ke lima dan termasuk kategori grande multipara (paritas tinggi)
sehingga hal ini juga memicu ringginya risiko hamil mola. Selain itu faktor
lainnya adalah riwayat kehamilan mola sebelumnya, keadaan sosial ekonomi yang
rendah, diet kurang vitamin A, kekurangan protein, infeksi mikroorganisme,
golongan darah (berisiko hamil mola ibu golongan darah A menikah dengan suami
golongan darah O). Ny. S dilakukan pemeriksaan USG saat di Rumkital Dr. Ramelan
pada saat di poli kandungan, dengan hasil pada uterus tidak terlihat janin yang
berkembang. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa hasil USG pada
kehamilan mola adalah akan terlihat badai salju (snow flake pattern) dan tidak
terlihat janin yang berkembang, gambaran pada layar USG seperti televisi rusak.
Ny. S mengeluh
keluar flek-flek sebanyak dua kali selama kehamilannya. Menurut teori
menyebutkan bahwa komplikasi dari kehamilan mola adalah perdarahan yang masif.
Sebelum terjadinya keguguran pada kehamilan mola, tanda awal adalah perdarahan
sedikit-sedikit yang berulang, hal ini bisa menyebabkan anemia. Tetapi
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, kadar hemoglobin Ny. S dalam batas
normal yaitu 13 gr/dl, hanya saja kadar Mean Corpuscular Volume (75,2 dengan
nilai normal 80-100) dan Mean Corpuscular Hb (25,7 dengan nilai normal 27-34)
lebih rendah dari nilai normal. Kadar MCH yang rendah bisa menyebabkan anemia
defisiensi besi dan kadar MCV yang rendah menunjukkan volume yang encer yang
diakibatkan oleh produksi Hb rendah karena kekurangan zat besi.
Tatalaksana yang
dilakukan di Rumkital Dr. Ramelan adalah dilakukan kuretase pada Ny. S untuk
membuang jaringan mola. Menurut teori untuk tatalaksana di Rumah Sakit terhadap
kehamilan mola adalah tindakan kuretase dengan tujuan mengeluarkan jaringan.
Kuretase dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai (pemeriksaan darah
rutin, kadar beta-hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah
keluar spontan. Pada kasus ini jaringan belum keluar secara spontan, namun Ny.
S sudah mengeluarkan flek-flek. Sebelum dilakukan tindakan kuretase, sudah
dilakukan pemeriksaan darah dan dilakukan foto thoraks, tetapi tidak ada
pemeriksaan untuk kadar beta-hCG. Selain itu menurut teori menyebutkan bahwa
bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan luminaria dan
dilakukan kuretase 24 jam setelahnya dan jaringan hasil kerokan dikirim ke
laboratorium patologi anatomi. Hal ini sudah sesuai karena 1 hari sebelum
dilakukan kuretase, Ny. S dilakukan pemasangan laminaria, dan setelah dilakukan
kuretase, hasil jaringan tersebut dikirim ke laboratorium patologi anatomi
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Karena dari kehamilan mola dapat
menjadi koriokarsinoma dan trofoblast neoplasma ganas dengan angka kejadian
20%, yang ditandai dengan kadar beta-hCg yang tetap tinggi setelah kuretase
bahkan cenderung meningkat serta adanya tanda-tanda metastase. Sehingga
diperlukan observasi lebih lanjut pada Ny. S.
Setelah
dilakukan kuretase, Ny. S dilakukan tindakan laparoskopi untuk tindakan MOW.
Hal ini sudah sesuai teori yang menyebutkan bahwa penderita dianjurkan untuk
memakai kontrasepsi. Hal ini dimaksudkan agar Ny. S tidak hamil lagi karena
riwayat mola akan berisiko mola pada kehamilan berikutnya. Pasien dengan
penderita hamil mola baru bisa hamil lagi ketika kadar beta-hCG, pemeriksaan
fisis, dan foto thoraks dalam 1 tahun dinyatakan normal.
Kista
ovarium (kista indung telur) berarti kantung berisi cairan, normalnya berukuran
kecil, yang terletak di indung telur (ovarium) (Nugroho, 2010: 101). Kista
indung telur adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan di dalam jaringan
ovarium. Penyebab terjadinya
kista overium menurut Wiknjosastro (2005) antara
lain faktor genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker ovarium
dan payudara, faktor
lingkungan (polutan zat radio aktif), gaya hidup yang tidak sehat, ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, misalnya
akibat penggunaan obat-obatan yang merangsang ovulasi dan obat pelangsing tubuh
yang bersifat diuretik, kebiasaan
menggunakan bedak tabur di daerah vagina. Dalam hasil pengkajian Ny. S didapatkan data riwayat penggunaan
riwayat kontrasepsi dari setelah kelahiran anak pertama hingga sebelum
kehamilan kelima ini ibu menggunakan KB suntik 3 bulan. Hal ini merupakan
faktor pendukung dari salah satu faktor penyebab yang disebutkan oleh Wiknjosastro (2005) yaitu ketidakseimbangan hormone esterogen dan
progesterone. Karena pada penggunaan KB suntik 3 bulan, hormone esterogen
ditekan sehingga tidak terjadi ovulasi.
Setiap
hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel
de Graff. Pada
pertengahan siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan
melepaskan oosit mature. Folikel yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang
pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah.
Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami
fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus
luteum mula-mula akan membesar kemudian secara gradual akan mengecil selama
kehamilan. Fungsi ovarium yang
abnormal kadang menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak
sempurna di dalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan
gagal melepaskan sel telur, terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium
karena itu terbentuk kista di dalam ovarium (Corvin, E.J 2008: 649). Kista ovarium terbentuk oleh
berbagai penyebab. Penyebab inilah yang nantinya akan menentukan tipe dari
kista.
Kista
yang berukuran besar atau berjumlah banyak dapat menimbulkan gejala seperti
rasa sakit pada panggul, sakit pinggang, sakit saat berhubungan seksual, serta
perdarahan rahim yang abnormal (Setiati, 2009). Namun kebanyakan wanita yang memiliki
kista ovarium tidak memiliki gejala kecuali jika kista tersebut pecah atau
terpluntir sehingga menyebabkan rasa sakit yang hebat di daerah perut bagian
bawah dan daerah tersebut menjadi kaku. Hal ini didukung dengan pernyataan dari Nugroho (2010: 104), yang ,mengatakan bahwa kebanyakan
wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala sampai periode
tertentu . Pada pengkajian Ny.
S mengalami nyeri saat haid namun tidak selalu/jarang. Ini merupakan salah satu
gejala dari kista yang diderita Ny. S. hal ini didukung oleh Nugroho (2010)
yang menyatakan bahwa tanda gejala dari kista ovarium antara lain nyeri saat
menstruasi, nyeri di perut bagian bawah, nyeri saat berhubungan seksual, nyeri pada punggung
terkadang menjalar sampai ke kaki, terkadang disertai nyeri saat berkemih atau BAB, siklus
menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar banyak, wanita post menopouse merasakan nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi
atau diare, obstruksi usus.
Sebagian besar
dari kasus kanker ovarium bermula dari suatu kista, maka apabila pada seorang
wanita ditemukan suatu kista ovarium harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menentukan apakah kista tersebut bersifat jinak atau ganas (kanker
ovarium). Pada saat dilakukan pembedahan
laparoskopi, jaringan kista diambil untuk dikirim ke laboratorium untuk
mengetahui kista tersebut bersifat jinak atau ganas. Salah satu penanganan dari
kista ovarium yaitu dengan pembedahan. Teknik pembedahan yang dilakukan oleh
Ny. S yaitu dengan teknik laparoskopi. Bila hanya kistanya yang
diangkat, maka operasi ini disebut ovarian cystectomy. Setelah dilakukan pembedahan dan jaringan
kista diambil untuk diperiksa, maka hasil akan pemeriksaan akan diberikan pada
tanggal 27 Februari.
Kehamilan Ny. S
merupakan kehamilan risiko tinggi karena faktor usia dan paritas. Ini merupakan
perkawinan kedua Ny. S dan suami ingin mempunyai anak kedua dari Ny. S sehingga
keduanya memutuskan untuk hamil kembali, namun akhirnya terjadi kehamilan mola.
Setelah melakukan konsultasi dengan dokter kandungan, Ny. S disarankan untuk
menggunakan kontrasepsi jangka panjang karena jika hamil lagi bisa muncul
penyulit selama kehamilan maupun persalinan pada Ny. S. Setelah dilakukan
konseling oleh pihak Rumkital Dr. Ramelan di poli kandungan, Ny. S beserta
suami memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi Metode Operatif Wanita (MOW)
atau steril yang merupakan kontrasepsi jangka panjang dan permanen pada wanita.
Sebelum dilakukannya tindakan MOW, Ny. S dan suami sudah mengisi lembar informed consent terlebih dahulu karena
kontrasepsi ini bersifat permanen. Meskipun sudah dikembangkan operasi
rekanalisasi yaitu operasi dengan bedah mikro, namun angka keberhasilannya
masih rendah karena teknik ini tidak saja menyambung kembali tuba fallopi
dengan baik, tetapi juga menjamin kembalinya fungsi tuba.
Metode ini
memerlukan prosedur bedah sehingga dilakukan di ruang operasi saat Ny. S
dilakukan kuretase, kistektomi, dan terakhir adalah dilakukan prosedur MOW
pembedahan dengan proses laparoskopi menggunakan teknik elektrokoagulasi. MOW
memiliki angka kegagalan yang rendah dan sangat efektif untuk mencegah
kehamilan serta memiliki efek samping yang sedikit, sehingga kontrasepsi ini
cocok digunakan oleh Ny. S yang mempunyai usia lebih dari 35 tahun serta sudah
pernah hamil lebih dari 4 kali.Syarat
untuk dapat melakukan MOW menurut buku panduan praktis pelayanan
kontrasepsi diantaranya: usia > 26 tahun, yakin telah mempunyai besar
keluarga yang sesuai dengan kehendaknya, jika hamil akan menimbulkan risiko
kesehatan yang serius, pasca keguguran, paham dan secara sukarela setuju dengan
prosedur. Berdasarkan kasus ini, syarat diatas sudah memenuhi untuk dilakukan
MOW pada Ny. S.
Waktu
yang tepat untuk melakukan MOW berdasarkan teori Anggraini (2011) adalah dapat
dilakukan setiap saat saat tidak hamil, saat fase proliferasi, pascapersalinan,
dan pasca keguguran segera atau dalam 7 hari pertama selama tidak ditemukan
infeksi pelvis. Berdasarkan kasus ini, Ny. S dilakukan MOW pada pasca keguguran
segera, sehingga tidak ada ketimpangan antara tindakan dengan teori. Prosedur
MOW pada Ny. S dilakukan pembedahan dengan proses laparoskopi menggunakan
teknik elektro-koagulasi. Berdasarkan teori Affandi (2011), salah satu cara
untuk mecapai tuba bisa dilakukan dengan laparoskopi yang merupakan suatu
pemeriksaan endoskopik dari bagian dalam rongga peritoneum dengan
alat laparoskop yang dimasukkan melalui dinding anterior abdomen. Keuntungan
laparoskopi yaitu komplikasi rendah dan pelaksanaannya cepat (rata-rata
5-15 menit), insisi kecil sehingga luka parut sedikit sekali, dapat dipakai
juga untuk diagnostik maupun terapi, kurang menyebabkan rasa sakit bila
dibandingkan dengan mini laparotomi, sangat berguna bila jumlah calon
akseptor banyak. Teknik penutupan tuba dengan teknik Elektro-koagulasi menurut
Winknjosastro (2005) merupakan teknik pemutusan tuba dengan memasukan grasping
forceps melalui laparoskop, tuba dijepit kurang lebih 2 cm dari koruna diangkat
menjahui uterus dan alat-alat panggul lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi.
Tuba terbakar kurang lebih 1cm ke proksimal dan distal serta mesosalping
terbakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi,tuba tampak menjadi putih,
menggembung lalu putus.
Keluhan awal
yang terjadi pada post operasi hanya bersifat rasa nyeri pada daerah sayatan (Prawiroharjo,
2010). Berdasarkan kasus Ny. S mengalami nyeri pada daerah sayatan, namun rasa
nyeri yang dirasakan tidak terlalu berpengaruh karena selama diruang perawatan
sudah diberikan terapi anti nyeri yang diberikan untuk Ny. S.
Saat diruang
perawatanm kelompok memberikan konseling mengenai efektifitas MOW, seksualitas,
dan menggali berbagai pemahaman yang keliru tentang MOW. Hal ini sesuai dengan
teori Sujiyantini (2009) yang menyebutkan bahwa tugas bidan harus memberikan
penjelasan tentang berbagai alternatif pengendalian kehamilan permanen dan
sementara, konseling difokuskan untuk membicarakan rasa takut dan pemahaman
yang keliru tentang MOW ini dan kenikmatan seksual menurun tidak benar kecuali
hal tersebut disebabkan oleh faktor psikis.
BAB 5
PENUTUP
5.1
Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari asuhan
kebidanan akseptor baru kontrasepsi MOW dengan abortus dengan diagnose mola hidatidosa dan kista ovarium yang telah disusun adalah sebagai berikut :
1. MOW merupakan metode kontrasepsi mantap yang
memiliki efektivitas sangat tinggi (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama
tahun pertama penggunaan). MOW dapat dijalani oleh wanita berusia >26 tahun,
paritas >2, yakin telah memiliki besar keluarga yang diinginkan, terdapat
resiko jika terjadi kehamilan, pascapersalinan, pascakeguguran, dan sukarela
setuju dengan prosedur MOW (Handayani, 2010).
2. Banyak faktor yang dapat menyebabkan hamil mola pada Ny. S,
antara lain karena usia da karena grande multipara
3. Tatalaksana untuk hamil
mola pada Ny. S yaitu dengan kuretase sudah sesuai teori.
4. Faktor yang menyebabkan
kista ovarium pada Ny. S dari hasil pengkajian yaitu ketidakseimbangan hormone
karena lama penggunakan kontrasepsi.
5. Tatalaksana untuk kista
ovarium Ny.S yaitu dengan ovarian
cystectomy sudah sesuai teori.
6. Dari hasil pengkajian data subyektif dan data
obyektif, dapat ditegakkan diagnosa yang tepat sesuai teori, guna merencanakan
penatalaksanaan yang tepat.
7. Penatalaksanaan yang disusun telah sesuai dengan
prioritas masalah serta kebutuhan Ny.S
8. Prosedur MOW pada Ny. S dilakukan pembedahan
dengan proses laparoskopi menggunakan teknik elektro-koagulasi sudah sesuai teori.
5.2
Saran
1. Bidan sebagai tenaga kesehatan khusunya ujung
tombak kesehatan ibu dan anak hendaknya selalu meningkatkan kemampuan dan
kapasitas diri dalam memberikan asuhan secara menyeluruh, mencakup segala hal
yang dibutuhkan ibu akseptor kontrasepsi MOW.
2. Mahasiswa kebidanan diharapkan mampu memahami
dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam memberikan asuhan pada ibu akseptor kontrasepsi MOW secara komprehensif dan berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Mohamad, Baziad, Ali, dan
Prabowo, Prajitno,2011, Ilmu Kandungan, Jakarta :PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Baziad, A 2008,Kontrasepsi hormonal,PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta.
Cunningham, et al. 2013.
Williams Obstetrics. Ed.23. Vol.1.
Jakarta : EGC.
Handayani, Sri. 2010. Buku
ajar pelayanan keluarga berencana. Yogyakarta : Pustaka Rihama.
Hanretty, et al. 2014. Ilustrasi Obstetri. Ed.7. Jakarta :
CV. Pentasada Media Edukasi
Irianto K. 2014. Pelayanan Keluarga Berencana Dua Anak Cukup.
Bandung :Alfabeta.
Kepmenkes. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor938/Menkes/SK/VIII/2007 Tentang Standar Asuhan Kebidanan. Jakarta
Kemenkes. 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2015
Manuaba,Ida Bagus Gde,2003, Ilmu kebidanan, penyakit kandungan &
Keluarga berencana untuk pendidikan bidan,ECG,Jakarta.
Manuaba. 2007. Pengantar
Kuliah Obstetri. Cet.1. Jakarta : EGC.
Mochtar,Rustam,,1998,
Sinopsis Obstetri,ECG, Jakarta.
Prawihardjo,S 2010, Ilmu kebidanan, PT Bina Pustaka, Jakarta.
Saifuddin A.B., et.al.
2010. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Ed.1. Cet.5. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
_________________ 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sofian A. 2013. Rustam
Mochtar Sinopsis Obstetri Operatif Obstetri Sosial Jilid 2.
Ed.3. Jakarta : EGC.
______________., 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
(Indonesian Journal of Clinical and Medical
Laboratory, Vol. 13, No.1, November 2006: 1-
____________,Pelayanan Kesehatan Ibu Di
fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, Jakarta: Kemenkes Republik Indonesia
Jurnal Kesehatan, Vol.2, No.4, tahun
2009 di akses tanggal 14 September 2014
SMF Ilmu Kebidana dan Penyakit
Kandungan, Pedoman Diagnosis Dan Terapi, 2008, Surabaya: RSUD dr Soetomo
kerjasam dengan Universitas Airlangga
Saminem. 2010. Dokumentasi asuhan
Kebidanan: Konsep dan Praktik. Jakarta: EGCSastrawinata, Sulaiman. 2005.
Obstetri Fisiologi Bagian Obstetri Ginekologi FK Unpad Bandung. Bandung: El Eman
Silfiah, Nur, 2014,PENILAIAN EKSPRESI
PROTEIN p57Kip2 DENGAN PENGECATAN IMUNOHISTOKIMIA VALID DALAM MEMBEDAKAN MOLA
HIDATIDOSA
http://repository.usu.ac.id/bitstream,Mola
Hidatidosa,diakses tanggal 16 September 2015
Saifuddin, Abdul bari,2006, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi,PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
TIPE KOMPLIT DAN PARSIAL ,Program Pasca
Sarjana: Universitas Udayana Denpasar
Varney H., et.al., 2007. Buku
Ajar Asuhan Kebidanan. Ed.4. Vol.1. Jakarta : EGC.
Wiknjosastro H. 2005. Ilmu Kebidanan.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Komentar
Posting Komentar