BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Menurut data Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, AKI di Indonesia masih tinggi jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 305 per 100.000
kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan AKI di
Indonesia dapat turun menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari target SDGs sehingga
perlu upaya yang lebih besar untuk menurunkan AKI agar mencapai target SDGs di
tahun 2030. Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan,
preeklampsia/eklampsia, dan infeksi. Hal tersebut
dapat terjadi pada masa nifas. Masa nifas merupakan masa kritis yang rawan bagi
ibu, sekitar 60% kematian ibu terjadi setelah melahirkan dan hampir 50% dari
kematian pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama setelah melahirkan (Walyani, dkk, 2015).
Masa nifas atau puerperium
dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari)
setelah itu. Pelayanan pascapersalinan harus terselenggara pada masa itu untuk
memenuhi kebutuhan ibu dan bayi, yang meliputi upaya pencegahan, deteksi dini
dan pengopatan komplikasi dan penyakit yang mungkin terjadi, serta penyediaan
pelayanan pemberian ASI, cara menjarangkan kehamilan, imunisasi, dan nutrisi
bagi ibu (Saifuddin, dkk, 2010).
Periode pascapersalinan
meliputi masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan keluarganya secara
fisiologis, emosional, dan social. Baik di Negara maju maupun Negara
berkembang, perhatian utama bagi ibu dan bayi terlalu banyak tertuju pada masa
kehamilan dan persalinan, sementara keadaan sebenarnya justru merupakan
kebalikannya, oleh karena risiko kesakitan dan kematian ibu serta bayi lebih
sering terjadi pada masa pascapersalinan. Keadaan ini terutama disebabkan oleh
konsekuensi ekonomi, di samping ketersediaan pelayanan atau rendahnya peranan
fasilitas kesehatan dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang cukup
berkualitas. Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan juga menyebabkan rendahnya
keberhasilan promosi kesehatan dan deteksi dini serta penatalaksanaan yang
adekuat terhadap masalah dan penyakit yang timbul pada masa pascapersalinan
(Saifuddin, dkk, 2010).
Oleh karena itu perlu adanya
peningkatan pengetahuan tenaga kesahatan khususnya dalam pelayanan asuhan ibu
dan bayi secara komprehensif termasuk asuhan pada masa nifas. Salah satu cara
meningkatkan pengetahuan ialah dengan mengkaji kembali teori dan prosedur yang
ada dengan penatalaksanan asuhan yang diberikan/dilakukan pada pasien/ibu secara
nyata, seperti adanya laporan “Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas Fisiologis”.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan
umum
Mahasiswa dapat melakukan asuhan
kebidanan pada ibu nifas fisiologis dengan menerapkan pola pikir melalui
pendekatan manajemen asuhan kebidanan varney dan pendokumentasian menggunakan
SOAP
1.2.2 Tujuan
khusus
Mahasiswa
mampu dengan benar
1.
Menjelaskan
konsep dasar masa nifas
2.
Menjelaskan
konsep dasar asuhan kebidanan pada masa nifas
3.
Melakukan
asuhan kebidanan pada ibu nifas
4.
Melakukan
pengkajian (pengumpulan data pada ibu nifas)
5.
Mengidentifikasi
masalah dan diagnosa pada ibu nifas
6.
Melakukan
antisipasi diagnosa dan masalah potensial pada ibu nifas
7.
Mengidentifikasi
kebutuhan segera pada ibu nifas
8.
Merencanakan
asuhan kebidanan nifas fisiologis
9.
Melaksanakan
intervensi sesuai dengan rencana asuhan kebidanan nifas fisiologis
10. Mengevaluasi keefektifan dari asuhan kebidanan yang telah
diberikan pada ibu nifas
11. Menganalisis dan membahas suatu masalah yang ada pada ibu
nifas fisiologis
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi
mahasiswa
Dapat menerapkan
ilmu yang telah diperoleh secara nyata dalam melaksanakan asuhan kebidanan pada
ibu nifas fisiologis
yang dapat digunakan sebagai pengalaman dan pelajaran bagi mahasiswa dalam
melaksanakan tugas sebagai bidan nantinya.
1.3.2 Bagi lahan praktik
Dapat menjadi
evaluasi bagi tenaga kesehatan dan staf lainnya dalam pelayanan yang telah
diberikan pada pasien sehingga dapat lebih meningkatkan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat dan selalu menjaga mutu pelayanan terutama pada ibu nifas.
BAB
2
TINJAUAN
TEORI
2.1 Konsep Dasar Nifas
2.1.1 Definisi
Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput
janin (menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus
reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil. Periode ini juga disebut
puerperium, dan wanita yang mengalami puerperium disebut puerperal. Periode
pemulihan pascapartum berlangsung sekitar enam minggu (Varney, 2008).
Masa nifas atau
puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu
(42 hari) setelah itu (Saifuddin, dkk,
2010).
Menurut Sofian (2011), masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan kembali,
mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti
prahamil yang lamanya 6-8 minggu. Masa nifas adalah suatu perode dalam
minggu-minggu pertama setelah kelahiran yang lama periodenya sebagian besar
menganggap 4 – 6 minggu (Cunningham, dkk, 2012). Masa
nifas (puerperium), berasal dari bahasa Latin, yaitu puer yang artinya bayi dan
parous yang artinya melahirkan atau masa sesudah melahirkan (Saleha, 2009).
Dengan demikian, masa
nifas merupakan masa
yang dimulai dari plasenta lahir sampai alat-alat kandungan kembali seperti
sebelum hamil, dan memerlukan waktu kira-kira 6 minggu.
2.1.3 Tahap Masa Nifas
Sofian (2011)
dan Yanti, dkk (2011) menyatakan bahwa tahapan yang terjadi
pada masa nifas terdiri
dari:
1. Puerperium dini yaitu kepulihan saat ibu telah
diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.
2. Puerperium intermediate, yaitu kepulihan menyeluruh
alat-alat genitalia yang lamanya 6-8 minggu.
3. Puerperium lanjut atau remote puerperium, yaitu waktu
yang diperlukan untuk pulih dan sehat kembali dalam keadaan sempurna tertutama
ibu bila ibu selama hamil atau waktu
persalinan mengalami komplikasi.
Adapun tahapan
masa nifas menurut Saleha (2009) dan Bobak (2005) terdiri dari:
1. Periode
immediate postpartum
Masa
segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini sering
terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena atonia uteri. Oleh karena
itu, bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus,
pengeluaran lokia, tekanan darah, dan suhu.
2. Periode
early postpartum (24 jam-1 minggu)
Pada
fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada
perdarahan, lokia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan
makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
3. Periode
late postpartum (1 minggu - 6 minggu)
Pada
periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari - hari serta
konseling KB.
2.1.4 Perubahan Fisiologis Masa
Nifas
1. Sistem Endokrin
Sistem
endrokrin mengalami perubahan secara tiba-tiba selama kala IV persalinan
dan mengikuti lahirnya plasenta. Menurut Maryunani (2013), pada akhir kehamilan, sebagian
besar hormon steroid berasal dari plasenta walaupun korpus luteum dan ovarium
terus menghasilkan sebagian. Selama periode postpartum, terjadi perubahan
hormon yang besar. Kadar estrogen dan progesteron turun ke tingkat sebelum
hamil dalam 72 jam setelah persalinan. Hormon protein plasenta memiliki waktu paruh
yang lama sehingga kadar plasma turun lebih lambat. Selama kehamilan,
pembentukan gonadotropin tertekan. Kadar FSH pulih ke konsentrasi prahamil
dalam 3 minggu setelah persalinan, tetapi pemulihan sekresi LH memerlukan waktu
yang lebih lama, bergantung masa laktasi. Kadar oksitosin dan prolaktin juga
bergantung pada kinerja laktasi. Dimana prolaktin akan merangsang sel alveoli
di mammae untuk memproduksi ASI, sedangkan hormon oksitosin akan merangsang
otot mioepitel dalam pengeluaran ASI.
Menurut Bobak (2005) dan Saleha (2009), beberapa hormone yang
mengalami perubahan selama masa nifas, diantaranya:
a.
Hormon
Plasenta
Selama
periode pasca partum terjadi perubahan hormone yang besar. Pengeluaran plasenta
menyebabkan penurunan siknifikan hormone-hormon yang diproduksi oleh plasenta.
Hormone plasenta menurun dengan cepat setelah persalinan. Penurunan hormone
Human Placenta Lagtogen (HPL), estrogen dan progesterone serta plasental
enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar gula
darah menurun secara bermakna masa nifas. Ibu diabetic biasanya membutuhkan
insulin dalam jumlah yang jauh lebih kecil selama beberapa hari. Karena
perubahan hormon normal ini membuat masa nifas menjadi suatu periode transisi
untuk metabolism kaborhidrat, interpretasi tes toleransi glukosa lebih sulit
pada saat ini. Human Chorionic
Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam
hingga hari ke 7 post partum sebai onset pemenuhan mamae pada hari ke 3 postpartum.
b.
Hormon
Pituitary
Prolaktin
darah meningkat dengan cepat, pada
wanita tidak menyusui menurun dalam waktu 2 minggu. FSH dan LH meningkat
pada fase konsentrasi folikuler pada minggu ke 3, dan LH tetap rendah hingga
ovulasi terjadi.
c.
Hormon
Oksitosin
Oksitosin
dikeluarkan dari kelenjar bawah otak bagian belakang (posterior), bekerja
terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Selam tahap ketiga persalinan,
oksitosin menyebabkan pemisahan plasenta kemudian seterusnya bertindak atas
otot yang berkontraksi, mengurangi tempat plasenta dan mencegah perdarahan.
Pada wanita yang memilih menyusui bayinya isapan sang bayi merangsang keluarnya
oksitosin lagi dan ini membantu uterus kembali kebentuk normal dan pengeluaran
air susu.
d.
Hipotalamik
Pituitary Ovarium
Untuk
wanita yang menyusui dan tidak menyusui akan mempengaruhi lamanya ia mendapatkan
menstruasi. Seringkali menstruasi pertama itu bersifat anofulasi yang
dikarenakan karenakan rendahnya kadar
estrogen dan progesterone. Diantara wanita laktasi sekitar 15% memperoleh
menstruai selam 6 minggu dan 45% setelah 12 minggu. Diantara wanita yang tidak
laktasi 40% menstruasi setelah 6 minggu, 65% setelah 12 minggu dan 90% setelah
24 minggu untuk wanita laktasi 80% menstruasi pertama anovulasi dan untuk
wanita yang tidak laktasi 50% siklus pertamaan ovulasi.
e.
Hormon
Estrogen dan Progesteron
Volume
darah normal selama kehamilan, akan
meningkat. Hormon estrogen yang tinggi memperbesar hormon anti diuretik yang
dapat meningkatkan volume darah. Sedangkan hormone progesteron mempengaruhi
otot halus yang mengurangi perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini
mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul,
perineumdan vulva serta vagina.
2. Sistem
Reproduksi
a. Involusi
Uterus
Involusi uterus
atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi
sebelum hamil (Yanti, dkk, 2011). Involusi uterus meliputi reorganisasi dan
pengeluaran desidua/ endometrium dan eksfoliasi tempat perlekatan plasenta yang
ditandai dengan penurunan ukuran dan berat serta perubahan pada lokasi uterus
juga ditandai dengan warna dan jumlah lochea (Varney, 2008).
Menurut Yanti,
dkk (2011) dan Ambarwati, dkk (2010), proses involusi uterus
adalah sebagai berikut :
1) Efek
oksitosin
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara
bermakna segera setelah lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap
penuruanan volume intrauteri yang sangat besar. Hormon oksitosin yang
dilepaskan dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus,
mengompresi pembuluh darah dan membantu proses hemostatis. Kontraksi dan
retraksi otot uterus kan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan membantu mengurangi bekas luka
perlekatan plasenta memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total.
Oksitosin yang dibebaskan dari kelenjar hipofisis
posterior akan menginduksi kontraksi miometrium yang intermiten dan kuat, dan
karena rongga uterus sudah kosong maka keseluruhan uterus berkontraksi penuh kearah bawah dan
dinding uterus kembali menyatu berhadapan satu sama lain. Serat spiral
miometrium yang membatasi aliran darah ke tempat perlekatan plasenta.
Selama 1 sampai 2 jam pertama postpartum intensitas
kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi teratur. Karena itu penting sekali
menjaga dan mempertahankan kontraksi uterus pada masa ini. Suntikan oksitosin biasanya
diberikan secara intravena atau intramuskuler segera setelah kepala janin bayi
lahir. Pemberian ASI segera setelah lahir akan merangsang pelepasan oksitosin
karena isapan bayi pada payudara (Ambarwati, dkk, 2010).
2) Autolisis
Autolisis merupakan proses penghancuran diri sendiri
yang terjadi didalam otot utertus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan
otot yang telah sempat megendur sebanyak 10 kali panjangnya dari semula dan
lima kali lebar dari semua selama kehamilan. Sitoplasma sel yang berlebih akan
tercerna sendiri sehingga tertinggal jaringan fibro elastic dalam jumlah renik sebagai bukti kehamilan.
Peningkatan kadar estrogen dan progesteron
bertanggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus selama masa hamil. Pertumbuhan
uterus pada massa prenatal tergantung pada hyperplasia, peningkatan jumlah
sel-sel otot dan hipertropi,
yaitu peningatan sel-sel yang sudah ada. Pada masa postpartum penurunan
kadar hormon-hormon ini menyebabkan terjadinya autolisis.
3) Atrofi
jaringan
Jaringan yang berpoliferasi dengan adanya estrogren
dalam jumlah besar, kemudian mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap
penghentian produksi estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain
perubahan atrofi pada otot-oto uterus, lapisan desidua akan mengalami atrofi
dan terleapas dengan meningkatnya lapisan basal yang akan beregenerasi menjadi
endometrium yang baru.
Segera setelah persalinan, uterus dapat dipalpasi
tepat dibawah umbilikus. Uterus harus teraba berkontraksi dengan baik. Setelah
24 jam, tinggi fundus uterus mulai menghilang secara progresif sampai tidak
dapat lagi dipalpasi diatas simfisis pubis pada hari ke 10-12 pascanatal.
Proses ini disebut involusi. Berat uterus akan sangat berkurang pada minggu
ke-6 dan bentuknya akan mendekati bentuk uterus sebelum hamil. Tinggi fundus
uterus dan berat uterus menurut masa involusi (Sofian, 2011)
Masa Nifas |
Ukuran Uterus |
Berat Uterus |
Bayi Lahir |
Setinggi pusat |
1000 gram |
Uri lahir |
2 jari bawah pusat |
750 gram |
1 minggu |
Pertengahan pusat simpisis |
500gram |
2 minggu |
Tak teraba diatas simpisis |
350 gram |
6 minggu |
Bertambah kecil |
50 gram |
8 minggu |
Sebesar normal |
30 gram |
b. Lochea
Lochea
adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri yang keluar melalui vagina selama masa
nifas (Varney, 2008).
Akibat involusi uteri,
lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik.
Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara
darah dan desidua inilah yang dinamakan lochea (Yanti, dkk, 2011). Menurut
Sofian (2011) dan Yanti, dkk
(2011), lochea dibagi menjadi :
1) Lochea rubra
Berisi
darah segar berwarna merah dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua,
vornik kaseosa, lanugo dan meconium, selama 1 - 3 hari pasca persalinan.
2) Lochea sanguilenta/sanguinolenta
Berwarna
merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar pada hari 3-7 pascapersalinan.
3) Lochea serosa
Berwarna
kuning cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14 hari pascapersalinan. Berisi lebih sedikit darah dan lebih banyak serum juga
terdiri dari leukosit dan robekan laserasi plasenta.
4) Lochea alba
Dimulai
dari hari ke 14, kemudian makin lama makin sedikit hingga sama sekali berhenti
sampai satu atau dua minggu berikutnya. Bentuknya seperti cairan putih
berbentuk krim serta terdiri atas leukosit
dan selaput lendir
serviks dan serabut jaringan yang mati.
Ada juga lochea purulenta merupakan lokia ini berwarna seperti nanah dan
berbau busuk, hal ini terjadi karena adanya infeksi (Sofian, 2011). Lochea
mempunyai bau yang amis meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda
setiap wanita. Umumnya jumlah lochea lebih sedikit bila dalam posisi berbaring
daripada berdiri, karena pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat posisi
berbaring dan kemudia akan mengalir keluar saat berdiri. Lochea memiliki reaksi
alkalis/basa yang membuat organisme berkembang lebih cepat daripada kondisi
asam yang ada pada vagina normal (Yanti, dkk, 2011).
c. Endometrium
Perubahan pada endometrium adalah trombosis,
degenerasi, dan nekrosis ditempat implantasi plasenta. Pada hari pertama tebal
endometrium 2,5 mm, mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua,
dan selaput janin. Setelah tiga hari
mulai rata, sehingga tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas implantasi plasenta (Saleha,
2009).
d. Serviks
Segera setelah berakhirnya persalinan, serviks menjadi
sangat lembek, kendur, terkulai,
dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan korpus uteri berkontraksi,
sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga perbatasan antara korpus dan
serviks uteru berbentuk cincin. Warna serviks merah kehitam-hitaman karena
pembuluh darah. Selesai involusi, ostium uteri eksternum tidak sama seperti
sebelum hamil. Pada umumnya akan lebih besar, tetap ada reatk-retak, dan
robekan pada pinggirnya (Yanti, dkk, 2011).
e. Payudara
(Mammae)
Selama kehamilan, hormon prolaktin
dari plasenta meningkat tetapi ASI biasanya belum keluar karena masih dihambat
oleh kadar estrogen yan tinggi. Pada hari kedua atau ketiga postpartum, kadar
estrogen dan progesteron turun drastis, sehingga pengaruh prolaktin lebih dominan
dan pada saat inilah mulai terjadi sektesi ASI. Dengan menyusukan lebih dini
terjadi perangsangan puting susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis,
sehingga sekresi ASI semakin lancar. Dua refleks pada ibu yang sangat penting
dalam proses laktasi yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran timbul akibat
perangsangan puting susu oleh hisapan bayi (Ambarwati, dkk, 2010).
1)
Refleks Prolaktin
Sewaktu bayi
menyusu, ujung saraf sensorif yang terdapat pada
puting susu terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke
hipotalamus di dasar otak, lalu memacu hipofise anterior untuk mengeluarkan
hormon prolaktin ke dalam darah. Melalui sirkulasi prolaktin memacu sel
kelenjar alveoli untuk memproduksi air susu. Jumlah prolaktin yang disekresi dan jumlah susu yang
diproduksi berkaitan dengan stimulus isapan, yaitu frekuensi, intensitas dan
lamanya bayi menghisap (Ambarwati, dkk, 2010).
2)
Refleks Aliran (Let Down Refleks)
Rangsangan yang
ditimbulkan oleh bayi saat menyusu selain mempengaruhi hiopofise anterior
mengeluarkan hormon prolaktin juga menpengaruhi hipofise posterior mengeluarkan
hormon oksitosin. Dimana setelah oksitosin dilepas kedalam akan memacu
otot-otot polos yang mengelilingi alveoli dan duktulus berkontraksi sehingga
memeras air susu dari alveoli, duktulus, dan sinus menuju puting susu. Refleks
let-down dapat dirasakan sebagai sensasi kesemutan atau dapat juga ibu
merasakan sensasi apapun. Tanda-tanda lain dari let-down adalah tetesan pada payudara lain yang sedang dihisap oleh
bayi. Faktor-faktor
yang meningkatkan let down adalah
melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi, memikirkan untuk meyusui
bayi. Faktor-faktor yang menghambat reflek let
down ini adalah stres, seperti keadaan bingung/pikiran kacau, takut, dan
cemas (Ambarwati, dkk,
2010; Yanti, dkk,
2011).
f.
Vagina dan Perineum
Segera setelah persalinan, vagina dalam keadaan
menegang dengan disertai adanya edema dan memar, dengan keadaan masih
terbuka. Dalam satu atau dua hari edema vagina akan berkurang. Dinding
vagina akan kembali halus, dengan ukuran yang lebih luas dari
biasanya. Ukurannya akan mengecil dengan terbentuk kembalinya rugae, pada
3 minggu setelah persalinan. Vagina tersebut akan berukuran sedikit lebih besar
dari ukuran vagina sebelum melahirkan pertama kali. Dengan demikian perlu
latihan untuk memulihkan dan mengencangkan otot perineum kembali (Varney, 2008).
3.
Pemulihan Fertilitas
Wanita yang tidak menyusui mulai mendapat haid,
secara rata-rata, sekitar 55-60 hari setelah melahirkan, sementara menyusui
menunda ovulasi sampai 30-40 minggu setelah persalinan dan haid sampai 8-15
bulan, bergantung pada durasi dan tingkat menyusui. Sebagian wanita menjadi
hamil sewaktu amenorea menyusui, tetapi derajat penekanan fertilitas bergantung
pada pola menyusui bayi dan mungkin pada nutrisi ibu. Efek laktasi pada
kesuburan berkurang seiring meningkatnya waktu antara menyusui dan seiring
dengan pemberian makanan tambahan pada bayi. Namun, aminorea laktasi tampaknya
memberi kontrasepsi yang cukup baik selama sekitar 6 bulan walaupun mungkin
lebih berefek pada penjarangan kehamilan (Ambarwati, dkk, 2010).
Banyak wanita yang sengaja membatasi jumlah anak
yang mereka inginkan. Banyak masalah ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan
hal ini; namum perlu diketahui bahwa terdapat sebagian wanita yang sebagian
(atau semua) metode kontrasepsi tidak dapat diterapkan atas alasan keagamaan
atau budaya. Pemulihan kesuburan sangat sulit dinilai karena berbagai faktor,
misalkan menyusui, praktik budaya dan agama, variasi genetik, dan penyakit
dapat mempengaruhi identifikasi pulihnya siklus kesuburan. Perlu ditekankan
bahwa ovulasi mendahului haid sehingga amenorea tidak menjamin fertilisasi
tidak ada (Ambarwati,
dkk, 2010).
4. Sistem
Kardiovaskular
Volume darah dalam sirkulasi dan curah jantung turun
pada masa nifas dan ventrikel yang hipertrofi lambat mengalami remodeling, isi
sekuncup relatif tetap tinggi. Hal ini berarti kecepatan denyut jantung pada
masa nifas berkurang karena isi sekuncup secara proporsional memberi kontribusi
lebih besar terhadap penurunan curah jantung. Dengan demikian wanita masa nifas
lazim mengalami bradikardia (penurunan kecepatan denyut jantung menjadi sekitar
60-70 x/menit). Peningkatan kecepatan denyut jantung mungkin mengindikasikan
anemia berat trombosis vena atau infeksi. Perubahan volume darah tersebut
tergantung pada beberapa faktor, misalnya kehilangan darah selama melahirkan
dan mobilisasi serta pengeluaran cairan ekstravasekuler (Bobak, dkk, 2005).
Pengeluaran darah saat persalinan, yang secara
normal diperkirakan jumlahnya 300-500 ml, dikompensasi secara adekuat oleh
peningkatan volume darah yang terjadi selama kehamilan. Sedangkan melalui seksio
caesaria kurang lebih 700-1000 cc (Saleha, 2009). Pada minggu ketiga dan
keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun mencapai volume darah
sebelum hamil.
5. Sistem
Hematologi
Leukositosis
adalah meningkatnya jumlah sel – sel darah putih sampai sebanyak 15.000 selama
masa persalinan. Leukosit akan tetap tinggi jumlahnya selam beberapa hari
pertama masa postpartum. Jumlah sel – sel darah putih tersebut masih bisa naik
lebih tinggi lagi hingga 25.000 – 30.000 tanpa adanya kondisi patologis jika
wanita tersebut mengalami persalinan lama. Akan tetapi, berbagai jenis
kemungkinan infeksi harus dikesampingkan pada penemuan semacam itu. Jumlah
hemoglobin dan hematokrit serta eritrosit akan sangat bervariasi pada awal –
awal masa nifas sebagai akibat dari volume darah, volume plasma, dan volume sel
darah yang berubah – ubah. Sering dikatakan bahwa jika hematokrit pada hari
pertama atau kedua lebih rendah dari titik 2% atau lebih tinggi daripada saat
memasuki persalinan awal, maka klien dianggap telah kehilangan darah yang cukup
banyak. Titik 2% tersebut kurang lebih sama dengan kehilangan 500 ml dsrsh.
Biasanya terdapat suatu penurunan besar kurang lebih 1.500 ml dalam jumlah
darah keseluruhan selama kelahiran dan masa nifas. Rincian jumlah darah yang
terbuang pada klien ini kira – kira 200 – 500 ml hilang selama masa persalinan,
500 – 800 ml hilang selama minggu pertama post partum, dan terakhir 500 ml
selama sisa masa nifas (Saleha, 2009).
6. Sistem
Pencernaan
Pascapersalinan, kadar progesterone mulai menurun,
tetapi faat usus memerlukan waktu 3 – 4 hari untuk kembali normal (Yanti, dkk,
2011). Sering
terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan. Hal ini disebabkan karena pada
waktu melahirkan alat pencernaan mendapat tekanan yang menyebabkan kolon
menjadi kosong, pengeluaran cairan yang berlebihan pada waktu persalinan
(dehidrasi), kurang makan, hemorroid, laserasi jalan lahir. Disamping itu rasa
takut buang air besar, sehubungan dengan jahitan pada perineum, jangan sampai lepas dan jangan
takut akan rasa nyeri. Buang air besar harus dilakukan tiga sampai empat hari
setelah persalinan
(Ambarwati, dkk, 2010).
Supaya buang air
besar kembali teratur dapat diberikan diit atau makanan yang mengandung serat, pemberian cairan yang cukup, pengetahuan tentang pola eleiminasi pasca
melahirkan, dan perawatan luka jalan lahir. Bila usaha ini tidak
berhasil dalam waktu 2 atau 3 hari dapat ditolong dengan pemberian huknah atau
gliserin spuit atau diberikan obat laksan yang lain (Ambarwati, dkk, 2010; Yanti, dkk, 2011).
7. Sistem
Perkemihan
Ibu postpartum dianjurkan segera buang air kecil agar
tidak mengganggu proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Hal yang
menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu postpartum, diantaranya:
a)
Adanya
edema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi urin
b)
Diaforesis
yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang terentesi dalam tubuh,
terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.
c)
Depresi
dari sfingter uretra oleh karena penekanan kepala janin dan spasme oleh iritasi
muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga menyebabkan miksi.
Setelah plasenta
dilahirkan, kadar hormone estrogen akan menurun, hilangnya peningkatan tekanan
vena pada tingkat bawah, dan hilangnya peningkatan volume akibat keamilan. Hal
ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan yang disebut
dengan diuresis postpartum. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam
tempo 6 minggu (Yanti, dkk, 2011). Saluran kencing kembali
normal dalam waktu 2-8 minggu, tergantung pada keadaan sebelum persalinan,
lamanya partus kala dua dilalui, besarnya tekanan kepala yang menekan pada saat
persalinan (Rahmawati, 2009).
8. Perubahan
Tanda – Tanda Vital
1) Suhu
Tubuh
Suhu
tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 derajat celsius. Sesudah partus
dapat naik kurang lebih 0,5 derajat celsius dari keadaan normal, namun tidak
akan melebihi 0,8 derajat celsius. Kenaikan suhu ini terjadi karena kerja keras sewaktu melahirkan,
kehilangan cairan, maupun kelelahan. Sesudah dua jam pertama
melahirkan umumnya suhu badan akan kembali normal. Nila suhu lebih dari 38
derajat celsius, mungkin terjadi infeksi pada klien (Yanti, dkk, 2011).
2) Denyut
Nadi
Denyut
nadi normal berkisar antara 60-80x/menit, maksimal 100x/menit, segera setelah
post partum terjadi bradikardi. Denyut nadi post partum umumnya lebih labil
dari pada suhu. Kecuali bila persalinan berlangsung lama dan sulit sehingga terjadi
perdarahan maka hal tersebut bisa mengakibatkan takikardi. Bradikardi post
partum pada hari ke 6-10 dengan frekuensi denyutan 40-70x/menit adalah
perubahan normal (Saleha,
2009).
3) Tekanan
darah
Tekanan
darah biasanya tidak berubah pada kasus pascapersalinan normal (Yanti, dkk,
2011). Namun, pada beberapa kasus ditemukan keadaan
hipertensi postpartum akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat
penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam setengah bulan tanpa pengobatan
(Saleha, 2009). Bila
tekanan darah lebih rendah dapat disebabkan oleh perdarahan dan bila tekanna
darah tinggi postpartum dapat disebabkan oleh preeklampsia postpartum (Yanti,
dkk, 2011).
4) Respirasi
Penurunan
konsentrasi progesteron setelah pengeluaran plasenta memulihkan sensitifitas
tubuh terhadap karbondioksida sehingga tekanan parsial karbondioksida kembali
ke kadar prahamil. Diafragma dapat meningkatkan jarak geraknya setelah uterus
tidak lagi menekan sehingga ventilasi lobus-lobus basal paru dapat berlangsung
penuh. Compliance dinding dada,
volume alun napas, dan kecepatan pernapasan kembali ke normal dalam 1-3 minggu.
Pada
umumnya respirasi lambat atau bahkan normal. Hal ini juga bisa karena ibu dalam
keadaan pemulihan/dalam kondisi istirahat. Bila ada respirasi cepat postpartum
(>30x per menit) mungkin karena tanda-tanda syok (Suherni, 2009).
9. Sistem
Muskuloskeletal
Otot-otot uterus
berkontraksi segera setelah partus. Pembuluh-pembuluh darah yang berada
diantara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan
pendarahan setelah plasenta dilahirkan.
Ligamen-ligamen,
diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pada waktu persalinan, secara
berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tak jarang uterus
jatuh kebelakang dan menjadi retrofleksi karena ligamentum rotundum menjadi kendor. Tidak jarang pula wanita
mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan karena ligamen, fasia, jaringan
penunjang alat genetalia menjadi kendor. Stabilisasi secara sempurna terjadi
pada 6-8 minggu setelah persalinan (Sulistyawati, 2009).
10. Kerusakan
dan Perbaikan Jaringan Lunak
Selama persalinan tidak jarang terjadi kerusakan
pada jaringan lunak. Menurut
Sjamsuhidayat, dkk (2004), trauma pada saluran genetalia wanita
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Superfisial
–
hal ini biasanya berupa lecet pada kulit tempat epidermis terpisah akibat
tekanan peregangan. Hal ini tidak memerlukan pengobatan; namun, kelainan ini
sering menimbulkan rasa tidak nyaman karena terganggunya banyak ujung syaraf
yang terletak di lapisan superficial jaringan. Pengeluaran urine mungkin
menimbulkan rasa tidak nyaman sewaktu urine berkontak dengan lecet.
b.
Derajat
satu – ini adalah robekan di kulit dan jaringan
superficial di bawahnya (tidak termasuk otot). Luka sering sembuh sendiri
karena tepi luka biasanya berhadapan langsung. Tepi luka yang tercabik-cabik
dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut berlebihan.
c.
Derajat
dua –
apabila robekan menyebabkan kerusakan otot perineum. Luka ini biasanya dijahit
untuk membantu penyembuhan.
d.
Episiotomi
–
ini adalah insisi bedah untuk memperbesar introitus vagina agar bayi mudah
keluar. Episiotomi termasuk dalam kategori robekan derajat dua.
e.
Derajat
tiga – otot sfingter anus terkena. Harus dilakukan
perbaikan obstetric sehingga aktivitas otot sfingter pulih sehingga penyulit
inkontinensia feses dapat dihindari.
f.
Derajat
empat – apabila robekannya sangat luas, sfingter anus dapat terputus dan robekan mencapai
mukosa rectum. Diperlukan perbaikan bedah spesialistik agar fungsi anus kembali
normal.
Perbaikan perineum dilakukan dengan
penjahitan oleh dokter/ bidan. Tersedia beragam jenis benang dan teknik untuk
memperbaiki perineum; bagaimanapun, penjahitan bertujuan mencapai hal berikut:
a. Hemostasis –
hal ini untuk memastikan bahwa setiap titik perdarahan aktif diikat untuk
mengurangi pengeluaran darah dan penyulit hematom pascanatal (pembentukan
bekuan darah di dalam luka) yang dapat menimbulkan nyeri hebat.
b. Alignment –
hal ini untuk menyatukan jaringan sehingga proses penyembuhan optimal dan luka
dapat mendekati keadaan sebelum robekan. Apabila luka dibiarkan menganga, tidak
terjadi penyatuan dan karena penyembuhan melalui pembentukan jaringan
granulasi, akan terbentuk jaringan ikat. Hal ini akan menyebabkan perineum
menjadi kaku dan berubah bentuk sehingga dapat terjadi dispareunia (nyeri saat
berhubungan kelamin).
Sebagian besar trauma perineum dapat digolongkan
sebagai luka dalam karena trauma jaringan melibatkan lapisan di bawah epidermis
dan dermis. Menurut
Sjamsuhidayat, dkk (2004), penyembuhan luka melibatkan tahap
berikut :
a. Respon
peradangan
Peradangan
adalah suatu reaksi normal terhadap trauma jaringan. Peradangan perineum pada
awalnya dapat menimbulkan rasa tidak nyaman hebat bagi wanita pada awal masa
nifas. Analgesik, misalnya Voltarol, akan bermanfaat karena bekerja sebagai
obat anti inflamasi. Namun, peradangan merupakan hal penting untuk memastikan
penyembuhan luka sehingga analgesik seyogyanya digunakan hanya apabila
responnya berat. Peradangan berfungsi mengisolasi jaringan yang rusak,
mengurangi penyebaran infeksi. Sel darah putih, misalnya neutrofil dan monosit,
menginvasi jaringan akibat peningkatan vasodilatasi di pembuluh darah sekitar.
Sel ini menelan semua bakteri yang masuk dan menguraikan semua jaringan
nekrotik di dalam luka.
b. Fase
Migratorik
Melibatkan
infiltrasi luka oleh sel mesenkim yang membentuk fibroblast, yang mula-mula
membentuk krusta di atas luka terbuka. Setelah itu, pembuluh darah tumbuh ke
dalam luka dan luka secara bertahap terisi dari atas ke bawah oleh pertumbuhan
jaringan baru yang disebut jaringan granulasi.
c. Fase
Poliferatif
Ketika
sel epitel tumbuh di bawah krusta. Fase ini berakhir dengan pematangan sel baru
dan terlepasnya krusta.
Tahapan
Penyembuhan Luka
Hari 0 – 3 |
· Bekuan darah
terbentuk, diperkuat oleh serat fibrin · Terjadi
respons peradangan akut; leukosit polimorf dan makrofag bermigrasi ke tempat
luka; eksudat berprotein tinggi menyebabkan edema lokal |
Satu minggu kemudian |
· Krusta
mengering, mengeras, dan akhirnya terlepas · Luka
berkontraksi · Terjadi
aktifitas mitosis di sel epidermis, yang bermigrasi di atas jaringan yang
hidup · Terbentuk
kapiler darah baru, terbentuk dari tunas endotel, yang membawa nutrient ke
jaringan yang menyembuh · Jaringan ikat
baru, yang dibentuk oleh fibroblast, menunjang pertumbuhan kapiler |
Enam bulan kemudian |
· Depresi
permukaan mungkin masih tampak di bekas luka; jaringan parut menjadi lebih
pucat · Epitelisasi
tuntas · Jaringan ikat
mengalami reorganisasi, pembuluh darah berkurang dan jaringan menjadi lebih
kuat |
2.1.5
Adaptasi
Psikologi Masa Nifas
1. Fase
Taking in (1-2 hari post partum)
Wanita menjadi pasif dan sangat
tergantung serta berfokus pada diri dan tubuhnya sendiri. Mengulang-ulang,
menceritakan pengalaman proses bersalin yang dialami. Wanita yang baru
melahirkan ini perlu istirahat atau tidur untuk mencegah gejala kurang tidur
dengan gejala lelah, cepat tersinggung, campur baur dengan proses pemulihan
(Anggraeni, 2010).
2. Fase
hold period (3-4 hari post partum)
Ibu lebih berkonsentrasi pada
kemampuan menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa
ini ibu menjadi sangat sensitif sehingga
membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang
dialami ibu (Anggraeni,
2010).
3. Fase
Letting go
Pada fase ini pada umumnya ibu
sudah pulang dari tempat persalinan. Ibu mengambil tanggung jawab untuk merawat
bayinya, dia harus menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayi, begitu juga
adanya grefing karena dirasakan dapat mengurangi interaksi sosial tertentu.
Depresi post partum sering terjadi pada
masa ini (Anggraeni, 2010).
2.1.6
Program
dan Kebijakan Teknis Masa Nifas
Dalam Buku Acuan
Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal (2010) disebutkan bahwa pada
masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali kunjungan, masa nifas dilakukan
untuk menilai keadaan ibu dan bayi baru lahir, dan untuk mencegah mendeteksi
dan menangani masalah–masalah yang
terjadi.
Kunjungan |
Waktu |
Tujuan |
1 |
6 – 8 jam
setelah persalinan |
·
Mencegah pendarahan masa nifas karena atonia
uteri. ·
Mendeteksi dan merawat penyebab lain pendarahan :
merujuk bila pendarahan berlanjut. ·
Pemberian ASI awal. ·
Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir. ·
Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah
hipotermia. Jika petugas kesehatan menolong
persalinan, ia harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam
pertama setelah kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil |
2 |
6 hari setelah
persalinan |
·
Memastikan involusi uterus berjalan normal, uterus
berkontraksi, fundus dibawah umbilikus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak
ada bau. ·
Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi atau
cairan, dan istirahat. ·
Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak
memperlihatkan tanda-tanda penyulit. ·
Memberikan konseling pada ibu mengenali asuhan
pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi
sehari-hari. |
3 |
2 minggu
setelah persalinan |
tujuannya sama
dengan kunjungan yang kedua |
4 |
6 minggu
setelah persalinan |
·
Menanyakan pada ibu tentang penyulit –penyulit
yang ia atau bayi alami. ·
Memberikan konseling untuk mendapatkan pelayanan
KB secara dini. |
Sumber : Saifuddin, dkk, 2010.
2.1.7
Perawatan
Pasca Persalinan
Menurut Saifuddin, dkk (2010), ada beberapa tindakan yang baik
untuk asuhan masa nifas normal pada ibu.
1. Kebersihan
diri
a.
Anjurkan kebersihan seluruh tubuh.
b.
Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan
daerah kelamin dengan sabun dan air. Pastikan bahwa ibu mengerti untuk
membersihkan daerah di sekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang,
baru kemudian membersihkan daerah sekitar anus. Nasihatkan kepada ibu untuk
membersihkan vulva setiap kali selesai buang air kecil atau besar.
c.
Sarankan ibu untuk mengganti pembalut
atau kain pembalut setidaknya dua kali sehari.
d.
Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan
sabun dan air sebelum dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
e.
Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau
laserasi, sarankan kepada ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka.
2. Istirahat
a. Anjurkan
ibu agar istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan.
b. Sarankan
ibu untuk kembali ke kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan, serta untuk
tidur siang atau beristirahat selagi bayi tidur.
c. Kurang
istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal :
1) Mengurangi
jumlah ASI yang diproduksi.
2) Memperlambat
proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan.
3) Menyebabkan
depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan dirinya sendiri.
3. Latihan
a. Diskusikan
pentingnya otot-otot perut dan panggul kembali normal. Ibu akan merasa lebih
kuat dan ini menyebabkan otot perutnya menjadi kuat sehingga mengurangi rasa
sakit pada punggung.
b. Jelaskan
bahwa latihan tertentu beberapa menit setiap hari sangat membantu, seperti :
1) Dengan
tidur terlentang dengan lengan disamping, menarik otot perut selagi menarik
nafas, tahan nafas ke dalam dan angkat dagu ke dada, tahan satu hitungan sampai
5. Rileks dan ulangi sebanyak 10 kali.
2) Untuk
memperkuat tonus otot jalan lahir dan dasar panggul (latihan kegel).
c. Berdiri
dengan tungkai dirapatkan. Kencangkan otot-otot pantat dan pinggul dan tahan
sampai 5 hitungan. Kendurkan dan ulangi latihan sebanyak 5 kali.
Mulai
dengan mengerjakan 5 kali latihan untuk setiap gerakan. Setiap minggu naikkan
jumlah latihan 5 kali lebih banyak. Pada minggu ke 6 setelah persalinan ibu
harus mengerjakan setiap gerakan sebanyak 30 kali.
4. Gizi
Ibu menyusui harus :
a. Mengkonsumsi
tambahan 500 kalori tiap hari.
b. Makan
dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral, dan vitamin yang
cukup.
c. Minum
sedikitnya 3 liter air setiap hari ( anjurkan ibu untuk minum setiap kali
menyusui.
d. Pil
zat beri harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya selam 40 hari pasca
persalinan.
e.
Minum kapsul vitamin A (200.000 unit)
agar bisa memberikan vitamin A kepada bayinya melalui ASI.
5. Perawatan
payudara
Perawatan
yang dilakukan bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah dan mencegah
tersumbatnya saluran susu sehingga memperlancar pengeluaran ASI. Perawatan
payudara hendaknya dilakukan sedini mungkin, yaitu 1-2 hari setelah bayi
dilahirkan dan dilakukan 2 kali sehari. Agar tujuan ini dapat tercapai bidan
melakukan perawatan payudara, yaitu dengan menganjurkan ibu nifas untuk :
a.
Menjaga payudara tetap bersih dan kering.
b.
Menggunakan BH yang menyokong payudara.
c.
Apabila puting susu lecet, oleskan ASI yang keluar di
sekitarnya setelah selesai menyusui. Menyusui tetap dilakukan mulai dari puting
susu yang tidak lecet.
d.
Apabila lecet sangat berat dapat diistirahatkan selama
24 jam. ASI dikeluarkan dan diminumkan menggunakan sendok.
e.
Apabila payudara bengkak akibat pembendungan ASI
dilakukan:
1) Pengompresan
payudara menggunakan kain basah dan hangat
2) Lakukan
pengurutan payudara
3) Susukan bayi
setiap 2-3 jam sekali apabila tidak dapat menghisap seluruh ASI dikeluarkan
dengan tangan.
4) Keringkan
payudara
5) Letakkan
kain dingin pada payudara setelah menyusui.
6. Hubungan
seksual
Secara
fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah merah berhenti dan
ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina tanpa rasa nyeri.
7. Keluarga
berencana
a. Idealnya
pasangan harus menunggu sekurang – kurangnya 2 tahun sebelum ibu hamil kembali.
b. Sebelum
menggunakan metode KB, hal – hal berikut sebaiknya dijelaskan lebih dahulu
kepada ibu :
1)
Cara kerja metode ini.
2)
Kelebihan / keuntungannya.
3)
Efek samping.
4)
Bagaimana cara menggunakan metode ini.
5)
Kapan metode ini mulai digunakan untuk
wanita pasca persalinan dan menyusui.
2.1.8
Ketidaknyamanan
Fisik dalam Masa Nifas
Terdapat beberapa ketidaknyamanan pada masa nifas.
Meskipun hal tersebut dianggap sebagai hal yang fisiologis, namun
ketidaknyamanan tersebut dapat menyebabkan distress fisik yang cukup bermakna.
a.
Nyeri
setelah melahirkan
Nyeri setelah melahirkan disebabkan oleh kontraksi dan
relaksasi uterus yang berurutan dan terjadi secara terus menerus. Nyeri umum
terjadi pada seseorang dengan tingkat paritas yang tinggi dan pada wanita
menyusui. Alasan nyeri yang lebih berat pada wanita dengan paritas tinggi adalah
penurunan tonus otot uterus secara bersamaan yang menyebabkan relaksasi
intermitten. Berbeda pada wanita primipara yang tonus ototnya masih kuat dan
uterus tetap berkontraksi tanpa relaksasi intermitten. Pada wanita menyusui,
hisapan bayi menstimulasi produksi oksitosin oleh hipofisis posterior.
Pelepasan oksitosin tidak hanya memicu refleks let down (pengeluaran ASI) pada payudara, namun juga menyebabkan
kontraksi uterus. Nyeri setelah melahirkan akan hilang jika uterus tetap
berkontraksi dengan baik saat kandung kemih kosong. Kandung kemih yang penuh
mengubah posisi uterus ke atas, menyebabkan relaksasi dan kontraksi uterus
lebih nyeri.
Beberapa wanita merasa nyerinya cukup
berkurang dengan mengubah posisi tubuhnya menjadi telungkup dengan meletakkan bantal
atau gulungan selimut di bawah abdomen.
Kompresi uterus yang konstan pada posisi ini dapat mengurangi
kram secara signifikan. Analgesia efektif bagi sebagian besar wanita yang
kontraksinya sangat nyeri, seperti tylenol, ibuprofen.
b.
Keringat
berlebih
Ibu nifas mengeuarkan keringat yang berlebih karena
tubuh menggunakan ruter ini dan diuresis untuk mengeluarkan kelebihan cairan
interstisial yang disebabkan oleh peningatan normal cairan intraselular selama
kehamilan cara menguranginya sangat sederhana, yaitu dengan membuat kulit agar
tetap bersih, kering, dan menjaga hidrasi yaitu minum segelas air setiap satu
jam pada kondisi tidak tidur.
c.
Pembesaran
payudara
Pembesaran payudara dapat mungkin terjadi sebab
kombinasi akumulasi dan stasis air susu serta peningkatan vaskularitas dan
kongesti. Kombinasi ini mengakibatkan kongesti lebih lanjut karena stasis
limfatik dan vena. Hal ini terjadi saat pasokan air susu meningkat, pada
sekitar hari ketiga postpartum baik pada ibu menyusui maupun tidak menyusui
akan berakhir sekitar 24 hingga 48 jam. Cara mengatasinya yaitu,
1.
Bagi
ibu yang menyusui
a)
Kompres
hangat
b)
Menyusui
secara sering
c)
Penggunaan
analgesik ringan
2.
Bagi
ibu yang tidak menyusui
a)
Menggunakan
bra yang menyangga payudara
b)
Kompres
es yang ditujukan untuk membatasi aliran darah dan menghambat produksi air susu
c)
Penggunaan
analgesik
d)
Memberikan
dukungan pada ibu bahwa ini adalah masalah sementara
d.
Nyeri
perineum
Beberapa tindakan dapat mengurangi ketidaknyamanan
atau nyeri akibat laserasi atau luka episiotomi dan jahitan laserasi atau
episiotomi tersebut. Sebelum tindakan dilakukan, penting untuk memeriksa
perineum guna menyingkirkan komplikasi seperti hematoma. Pemeriksaan ini juga
mengindikasikan tindakan lanjutan apa yang mungkin paling efektif. Nyeri
perineum dapat dikurangi dengan beberapa cara, dan salah satunya yaitu dengan
melakukan latihan kegel. Latihan kegel akan meningkatkan sirkulasi ke area
perineum sehingga meningkatkan penyembuhan, selain itu juga dapat emngembalikan
tonus otot panggul, namun pada wanita yang mendapat episiotomy, latihan kegel
ini dapat memberikan efek berlawanan sehingga dapat mengakibatkan nyeri.
e.
Konstipasi
Rasa takut dapat menghambat fungsi bowel jika wanita takut bahwa hal
tersebut dapat merobek jahitan atau akibat nyeri yang disebabkan oleh
iengatannya tentang tekanan bowel
pada saat persalinan. Konstipasi lebih lanjut mungkin diperberat dengan abdomen
yang longgar dan ketidaknyamanan jahitan robekan perineum derajat tiga atau
empat. Hal ini dapat dikurangi dengan mengkonsumsi makanan tinggi serat dan
tambahan asupan cairan.
f.
Hemorrhoid
Jika seorang perempuan mengaami hemoroid, mungkin
mereka sangat merasakan nyeri selama beberapa hari. Hemoroid yang terjadi
selama kehamilan dapat menimbulkan traumatis dan menjadi lebih edema selama kala
dua persalinan. Hemoroid dapat dikurangi dengan melakukan kompres dengan
kantong es atau rendam duduk es.
2.1.9
Tanda
Bahaya Nifas
Menurut Yanti, dkk (2010), beberapa
tanda- tanda bahaya pada masa nifas atara lain sebagai berikut:
1. Perdarahan
vagina yang luar biasa banyak atau tiba – tiba banyak.
2. Rasa
sakit dibagian bawah abdomen.
3. Lochea
yang berbau menusuk.
4. Tanda-tanda
vital : TD > 140/90 mmHg, suhu > 38 C, nadi > 100 x/menit.
5. Rasa
sakit kepala yang terus menerus, nyeri ulu hati, dan masalah penglihatan.
6. Pembengkakan
di wajah dan punggung tangan (PEB).
7. Fundus
lembek, diatas ketinggian fundus saat masa pasca salin.
8. Kandung
kemih (penuh) tidak bisa buang air
kecil .
2.1.10
Komplikasi
Masa Nifas
1. Infeksi
Nifas
Infeksi nifas merupakan semua peradangan yan
disebabkan oleh masuknya kuman-kuman kedalam alat-alat genetalia pada waktu
peresalinan dan nifas.
Infeksi ini disebabkan oleh masuknya kuman kedalam
alat kandungan, diantaranya adalah streptococcus Haemolyticus aerobik, Staphilococcus aureus, Aschericia coli,
Clostridium welchii (kuman
aerobik yang sering ditemui pada abortus kriminalis). Infeksi nifas terbagi
menjadi 2 golongan, yaitu infeksi lokal (ditandai dengan pernanahan, perubahan
warna kulit, pengeluaran lochea bercampur nanah, mobilisasi terbatas karena
rasa nyeri, temperatur badan meningkat) dan infeksi umum (tampak sakit dan
lemah, temperatur meningkat, tekanan darqah menurun dan nadi meningkat dan
terasa sesak, kesadaran gelisah sampai menurun dan koma, terjadi gangguan
involusi uterus, lochea berbau dan bernanah serta kotor).
Pencegahan terjadinya infeksi ini bisa dilakukan
dengan cara melakukan mobilisasi dini sehingga darah lokhea dapat keluar dengan
lancar, personal higine yang baik, rawat gabung dengan isolasi untuk mengurangi
infeksi nosokomial (Saleha, 2009).
2. Sub
Involusi
Terhambatnya proses pengecilan uterus, yang
disebabkan karena adanya infeksi endometrium, terdapat sisi plasenta dan
slaputnya, terdapat bekuan darah atau mioma uteri. Pada palpasi uterus teraba
msih besar , fundus masih tinggi, lochea banya, dapat berbau dan terjadi
perdarahan (Saleha, 2009).
3. Perdarahan
Masa Nifas
Perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam
setelah anak lahir. Berdasarkan waktu timbulnya perdarahan terbagi atas
perdarahan primer (early postpartum hemorhage, terjadi pada 24 jam pertama)
disebabkan karena adanya atonia uteri, retensio plasenta, sisi plasenta,
laserasi jalan lahir, dan inversio uterui dan perdarahan sekunder (late
postpartum hemorhage, terjadi setelah 24 jam persalinan) disebakan oleh sub
involusi, retensio plasenta, dan infeksi nifas.
Pencegahan agar tidak terjadi perdarahan dapat
dilakukan dengan memberikan injeksi oksitosinsetelah bayi lahir, memastikan
kontraksi uterus setelah bayi lahir, memastikan plasenta lahir lengkap,
menangani robekan jalan lahir (Saleha, 2009).
4. Infeksi
Saluran Kemih
Penyebab ISK dihubungkan dengan hipotoni kandung
kemih akibat trauma kandung kemih waktu persalinan, pemeriksaan dalam yang
terlalu sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau kateterisasi yang sering.
Sistitis biasanya memberikan gejala berupa nyeri
berkemih (disuria), sering berkemih, dan tak dapat menahan untuk berkemih.
Demam biasanya jarang terjadi. Adanya retensi urine pasca persalinan umumnya
merupakan tanda adanya infeksi (Saleha, 2009).
2.1.11
Konsep
Dasar Laktasi
a.
Fisiologi
laktasi
Selama kehamilan, ukuran payudara meningkat dan beratnya
juga meningkat dari sekitar 200 gr menjadi 400 – 600 gr. Pada kehamilan
trimester pertama, payudara wanita berespons terhadap perubahan kadar hormon
sirkulasi dengan pertumbuhan duktus-lobulus-alveoli. Selama bulan ketiga
kehamilan, kolostrum mulai tampak di bawah pengaruh prolaktin, dan pada
trimester akhir, alveoli diisi dengan kolostrum. Pada minggu keenambelas
kehamilan, payudara benar-benar dipersiapkan untuk laktasi, penyempurnaan
fisiologis siklus reproduksi.
Saat laktasi, kelenjar mammae fungsional berespons
terhadap sistem saraf kompleks dan sinyal sistem endokrin untuk memproduksi dan
mengeluarkan air susu. Kelenjar mammae berinvolusi, atau regresi, selama dan
setelah menyapih, tetapi tidak kembali pada keadaan prakehamilan. Selama
involusi, alveoli secara bertahap kolaps, setiap sekresi sisa diabsorbsi, dan
jaringan adiposa meningkat di dalam payudara.
Prolaktin adalah hormon esensial untuk penyempurnaan
lobulus-alveolus dalam kehamilan dan memulai sekresi air susu melalui reseptor
pada dinding sel alveolus. Faktor inhibisi-prolaktin dari hipotalamus secara
negatif mengendalikan prolaktin, yang disekresikan oleh hipofisis. Meskipun
kadar prolaktin meningkat sebanyak 10–20 kali lipat selama kehamilan, air susu
tidak diproduksi karena peningkatan kadar progesteron. Dengan pelahiran
plasenta, estrogen dan progesteron menurun, kadar prolaktin yang tinggi
dipertahankan melalui efek menyusui, dan sekresi air susu yang banyak sekali
mulai dan tampak secara klinis 2–3 hari pascapartum. Tanpa stimulasi puting
susu, kadar prolaktin menurun sampai kadar pada wanita tidak hamil, dan tidak
menyusui dalam dua minggu. Menyusui melalui stimulasi puting susu memberi
stimulasi terhadap pelepasan prolaktin.
b.
Keberhasilan
menyusui
1.
Sepuluh
langkah untuk keberhasilan menyusui
LANGKAH |
KETERANGAN |
I |
Dibuat untuk menetapkan kebijakan menyusui yang mencakup
fasilitas guna memandu praktik menyusui |
II |
Menunjukkan bahwa semua staf perlu
diorientasikan dengan kebijakan yang mencakup fasilitas menyusui dan
mengetahui isinya |
III |
Menunjukkan pentingnya integrasi edukasi orang tua tentang menyusui
selama perawatan pranatal dan edukasi tentang pelahiran anak |
IV |
Berfokus pada kontak ibu-anak yang segera
dan memulai menyusui sesegera mungkin. Di sini bidan dalam posisi unik yang
mengharuskan ia mendukung dan memfasilitasi kontak awal dan lama antara ibu
dan bayi serta membantu dalam memulai pemberian makan pertama sesegera
mungkin. |
V |
Menunjukkan pentingnya interaksi pengajaran menyusui yang positif dan
sering antara anggota staf dan ibu |
VI |
Melarang suplemen yang tidak perlu untuk bayi yang disusui |
VII |
Mengatur rumah sakit untuk mempraktikkan rawat-gabung, menggabungkan ibu
dan bayi bersama dalam perawatan, kecuali jika pemisahan diperlukan secara
medis |
VIII |
Mengklarifikasi pentingnya pemberian ASI berdasarkan isyarat menyusu yang
ditunjukkan bayi, bukan berdasarkan pada waktu |
IX |
Mengindikasikan bahwa penggunaan empeng dan dot botol harus dihindari
kecuali diindikasikan secara medis. Waktu yang dihabiskan untuk mengisap
empeng atau dot botol menghilangkan sensasi pada payudara dan sistem
endokrin. Penggunaan empeng dan dot yang terlalu dini menyebabkan penurunan
durasi ASI eksklusif. |
X |
Mengklarifikasi tanggung jawab fasilitas maternitas untuk membantu ibu
mencari dukungan pascapartum. Riset menunjukkan bahwa dukungan komunitas
tidak hanya meningkatkan keberhasilan menyusui, tetapi juga menunjukkan
perbaikan yang dapat diukur pada kesehatan bayi |
2.
Posisi
menyusui
Posisi yang nyaman untuk menyusui sangat penting. Lecet
pada puting susu dan payudara merupakan kondisi tidak normal dalam menyusui,
tetapi penyebab lecet yang paling umum adalah posisi dan perlekatan yang tidak
benar pada payudara.
Untuk menyusu dengan baik, bayi harus mencakup puting dan
areola ibu dengan mulut terbuka lebar. Agar bayi menganga lebar, hidung bayi
harus sejajar dengan puting susu ibu. Ibu menyangga kepala dan leher bayi
dengan lembut dengan meletakkan tangannya pasa tulang oksipital bayi, dan
membuat kepala bayi bergerak ke belakang pada posisi seperti mencium bunga.
Saat rahang bawah bayi membuka, ibu menggerakkan bayi mendekati payudara dengan
perlahan, mengarahkan bibir bawah bayi ke arah lingkar luar areola. Payudara
harus benar-benar memenuhi mulut bayi. Bayi menggunakan bibir, lidah, kavum
oral, rahang, otot wajah, dan lapisan lemak bukal untuk menimbulkan tekanan
negatif dan positif, menarik keluar air susu. Respons hormon ibu terhadap
penarikan dan stimulasi puting susu meningkatkan sirkulasi oksitosin yang
menyebabkan sel mioepitel mengeluarkan air susu.
Posisi Menyusui
3.
Penatalaksanaan
menyusui yang optimal
Rentang frekuensi menyusui yang optimal adalah antara 8 –
12 kali setiap hari. Ibu sebaiknya dianjurkan untuk menyusui sebagai respons
terhadap isyarat bayi, dan berhenti menyusui jika bayi tampak kenyang. Isyarat
kenyang meliputi relaksasi seluruh tubuh, tidur saat menyusu, melepaskan puting
susu, dan lain-lain.
Indikator terbaik kecukupan air susu adalah peningkatan
berat badan dan haluaran bayi. Menyusui sebaiknya nyaman bagi ibu dan bayi. Ibu
sebaiknya dianjurkan untuk melaporkan adanya ketidaknyamanan pada bidannya atau
konselor menyusui sesegera mungkin.
c.
Suplai
ASI
Produksi air susu ibu selama empat bulan pertama laktasi
diperkirakan 725 – 750 ml per hari meskipun volume lebih dari 1000 ml
dilaorkan. Inisiasi dini menyusui dan pola frekuensi menyusui berkaitan dengan
kecukupan produksi air susu. Ibu harus dianjurkan meniru pola menyusui bayi
rutin dengan menggunakan pompa.
Batas kemampuan untuk membuat air susu tidak diketahui.
Ibu dapat secara menyusui ASI eksklusif untuk bayi kembar dua, tiga, dan empat.
Kebutuhan menyusui bayi kembar tampak mengendalikan suplai air susu. Menyusui
segera dan sering akan mengoptimalkan kemampuan jangka panjang ibu dalam
memproduksi air susu.
d.
Hormon
yang mempengaruhi pembentukan ASI
Mulai dari bulan ketiga kehamilan, tubuh wanita
memproduksi hormon yang menstimulasi munculnya ASI dalam sistem payudara.
Beberapa hormon yang terlibat dalam proses pembentukan ASI adalah sebagai
berikut:
1.
Progesterone
Mempengaruhi
proses pertumbuhan dan ukuran alveoli. Tingkat progesteron dan estrogen menurun
sesaat setelah melahirkan. Hal ini menstimulasi produksi secara besar-besaran.
2.
Estrogen
Menstimulasi
sistem saluran ASI untuk membesar. Tingkat estrogen menurun saat melahirkan dan
tetap rendah untuk beberapa bulan selama tetap menyusui. Karena itu, sebaiknya
ibu menyusui menghindari KB hormonal berbasis hormon estrogen, karena dapat
mengurangi jumlah produksi ASI.
3.
Prolaktin
Berperan
dalam membesarnya alveoli dalam kehamilan. dalam fisiologi laktasi, prolaktin
merupakan suatu hormon yang disekresikan oleh glandula pituitari. Hormon ini
memiliki peranan penting untuk memproduksi ASI. Kadar hormon ini meningkat selama
kehamilan. Kerja hormon prolaktin dihambat oleh hormon plasenta pada akhir proses persalinan membuat
kadar estrogen dan progesteron berangsur-angsur menurun sampai tingkat dapat
dilepaskan dan diaktifkannya prolaktin.
4.
Oksitosin
Mengencangkan
otot halus dalam rahim pada saat melahirkan dan setelahnya, seperti halnya juga
dalam orgasme. Setelah melahirkan, oksitosin juga mengencangkan otot halus di
sekitar alveoli untuk memeras ASI menuju saluran susu. Oksitosin berperan dalam proses turunnya susu let-down / milk ejection reflex.
5.
Human Placental Lactogen (HPL)
Sejak
bulan kedua kehamilan, plasenta mengeluarkan banyak HPL, yang berperan dalam
pertumbuhan payudara, puting, dan areola sebelum melahirkan. Pada bulan kelima
dan keenam kehamilan, payudara siap memproduksi ASI.
e.
Pengeluaran
dan penyimpanan ASI
TEMPAT
PENYIMPANAN |
SUHU |
LAMA
PENYIMPANAN |
Dalam ruangan
(ASIP segar) |
19 s.d. 26 °C |
6–8 jam ruang
ber AC dan 4 jam ruang non AC |
Dalam ruangan
(ASIP beku 4 jam yang sudah dicairkan) |
|
4 jam |
Kulkas |
< 4 °C |
2–3 hari |
Freezer pada
lemari es 1 pintu |
-18 s.d. 0 °C |
2 minggu |
Freezer pada
lemari 2 pintu |
-20 s.d. -18 °C |
3–4 bulan |
Sumber:
Buku KIA
Cara Memerah ASI
f.
Konsep
dasar kolostrum
1.
Pengertian
kolostrum
Kolostrum
adalah cairan pelindung yang kaya akan zat anti infeksi dan berprotein tinggi
yang kelar dari hari pertama sampai hari keempat atau ketujuh setelah
melahirkan (Utami Roesli, 2004). Kolostrum diberikan oleh ibu pada bayinya, di
mana melalui proses menyusui dan sebaiknya segera maksimal setengah jam pertama
setelah persalinan, hal ini didasari oleh peran hormon prolaktin yang dalam
peredaran darah ibu akan menurun setelah satu jam persalinan yang disebabkan
oleh lepasnya plasenta (Depkes, 2003).
2.
Kandungan
kolostrum
Kolostrum
penuh dengan zat antibodi (zat pertahanan tubuh untuk melawan zat asing yang
masuk ke dalam tubuh) dan immunoglobulin
(zat kekebalan tubuh untuk melawan infeksi penyakit). Kolostrum mengandung zat
kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari susu matang (matur). Zat kekebalan yang
terdapat pada ASI akan melindungi bayi dari penyakit diare. Kandungan dari
kolostrum antara lain:
a)
Protein 8,5%
b)
Lemak 2,5%
c)
Karbohidrat 3,5%
d)
Garam
dan mineral 0,4%
e)
Air 85,1%
f)
Vitamin
A, B, C, D, E, dan vitamin K dalam jumlah yang sangat sedikit
g)
Leukosit
(sel darah putih)
h)
Sisa
epitel yang mati
Kekebalan
bayi akan bertambah dengan adanya kandungan zat-zat dan vitamin yang terdapat
pada ASI tersebut, serta volume kolostrum yang meningkat dan ditambah dengan
adanya hisapan bayi baru lahir ditempelkan ke payudara ibu, agar bayi dapat
sesering mungkin menyusui.
3.
Manfaat
kolostrum
Kolostrum
sangat penting bagi pertahanan tubuh bayi karena kolostrum merupakan imunisasi
pertama bagi bayi. Menurut Utami Roesli (2004), manfaat kolostrum antara lain,
yaitu:
a)
Membantu
mengeluarkan mekonium dari usus bayi karena kolostrum merupakan pencahar
(pembersih usus bayi) yang membersihkan mekonium sehingga mukosa usus bayi yang
baru lahir segera bersih dan siap menerima ASI
b)
Melindungi
bayi dari diare karena kolostrum mengandung zat kekebalan tubuh 10-17 kali
lebih banyak dibandingkan susu matur
c)
Melawan
zat asing yang masuk ke tubuh bayi
d)
Melawan
infeksi penyakit oleh zat-zat kekebalan tubuh
e)
Menghalangi
saluran pencernaan menghidrolisis (menguraikan) protein
f)
Mengeluarkan
kelebihan bilirubin sehingga bayi tidak mengalami jaundice (kuning) di mana kolostrum mempunyai efek laktasif
(pencahar)
g)
Berperan
dalam gerak peristaltik usus (gerakan mendorong makanan)
h)
Menjaga
keseimbangan cairan sel
i)
Merangsang
produksi susu matur
j)
Mencegah
perkembangan berbagai kuman patogen
2.2
Konsep
Dasar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas Normal
2.2.1
Pengkajian
data S dan O
A.
Data Subyektif
1. Biodata
a. Umur
<
20 tahun : alat-alat reproduksi belum
matang, mental dan psikisnya belum siap.
>
35 tahun : rentan untuk terjadi perdarahan
dalam masa nifas (Saleha, 2009).
b. Pendidikan
Menurut
Notoatmodjo (2007), pendidikan yang
dijalani seseorang memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir,
dimana seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan
yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru
dibandingkan dengan individu yang berpendidikan lebih rendah.
2. Keluhan
Utama
6 – 8 jam PP : nyeri perut, nyeri jahitan, ASI tidak keluar/sedikit.
6 hari PP : nyeri perut, gatal pada luka
jahitan, bengkak pada kaki, puting lecet.
2 minggu PP : cemas, puting lecet, bengkak pada kaki.
6 minggu PP : puting lecet, bengkak pada kaki (Saleha, 2009)
3. Riwayat
Obstetri
Perempuan
yang pernah melahirkan anak atau multipara akan berbeda dengan perempuan yang
baru memiliki anak pertama kali atau primipara. Multipara memiliki risiko lebih
tinggi mengalami komplikasi dibandingkan dengan primipara. Namun, primipara
juga memiliki risiko lebih besar mengalami preeklampsia postpartum (Saifuddin,
dkk, 2010). Jarak kehamilan sebelumnya yang < 2 tahun juga dapat
meningkatkan risiko komplikasi yang dapat terjadi pada masa kehamilan,
persalinan, dan nifas.
4. Riwayat
Persalinan Sekarang
Jenis dan lama persalinan akan memberikan dampak
trauma pada persalinan. Bahaya yang masih tetap mengancam adalah perdarahan
postpartum, infeksi nifas, atau trauma akibat pertolongan obstetrik (Sofian,
2011).
5. Riwayat
Kesehatan Klien dan
Keluarga
Cunningham,
et al (2012), Rukiyah, et al (2010), dan Fraser (2009) mengatakan bahwa setiap
teori yang memuaskan mengenai etiologi dan patogenesis penyakit, termasuk
preeklampsia, lebih mungkin timbul pada perempuan yang telah memiliki penyakit
ginjal, hipertensif kronis, trombofilia diabetes melitus, lupus, dan rematoid
arthritis. Jadi kemungkinan terjadi komplikasi akan lebih besar terjadi pada
masa nifas apabila ibu sebelumnya atau sedang dan memiliki keturunan menderita
penyakit tertentu.
6. Riwayat kontrasepsi
Pemilihan
kontrasepsi yang tepat disesuaikan dengan usia, paritas, dan kesehatan ibu.
Selain itu, jenis kontrasepsi sebelumnya (Saifuddin, dkk, 2010).
7. Pola
Fungsional Kesehatan
a. Nutrisi
Kebutuhan
nutrisi ibu nifas biasanya meningkat seiring dengan persiapan untuk laktasi.
Selain itu, diet juga akan
mempercepat pemulihan kesehatan dan kekuatan ibu pasca melahirkan (Yanti, dkk, 2010).
b. Eliminasi
:
BAK
fisiologis akan terjadi < 6
jam pasca melahirkan, sedangkan BAB biasanya terjadi 3-4 hari pasca melahirkan (Yanti, dkk, 2010).
c. Istirahat
Seorang wanita yang
dalam masa nifas dan menyusui memerlukan waktu lebih banyak untuk istirahat
karena sedang dalam proses penyembuhan, terutama organ-organ reproduksi dan
untuk kebutuhan menyusui bayinya (Yanti, dkk, 2010).
d. Personal
hygiene
Ibu nifas harus
mengganti pakaiannya minimal 2x/hari, ganti celana dalam dan pembalut minimal 3x/
hari (Bahiyatun, 2009; Saifuddin, dkk, 2010)
8. Riwayat
Psikososial dan Budaya :
·
Anisah, et al (2010) menjelaskan
agar proses psikologis dalam masa nifas berjalan
normal, maka diperlukan dukungan dan kenyamanan dalam psikologisnya. Dukungan
dapat berasal dari berbagai pihak seperti suami, orang tua, keluarga dan
orang–orang yang ada disekelilingnya. Wanita yang diperhatikan dan dikasihi
oleh suami selama hamil dan persalinan akan menunjukkan lebih sedikit gejala
emosi, fisik dan lebih mudah melakukan penyesuaian selama masa nifas.
·
Pada daerah atau suku tertentu, ada beberapa adat
istiadat yang harus dilakukan secara turun temurun pada masa nifas. Contohnya
pantang terhadap makanan tertentu seperti telur, daging, udang, ikan. Padahal
telur, daging, udang, dan ikan merupakan makanan kaya akan protein yang berguna
untuk proses penyembuhan luka dan pemulihan tubuh ibu. Pada masa nifas, ibu
dilarang tidur siang, akibatnya ibu menjadi kurang istirahat. Pada masa nifas
seorang ibu harus cukup istirahat karena ibu masih dalam masa pemulihan dan
demi kelancaran ASI (Puspitasari, et al, 2011).
B. Data
Obyektif
1.
Pemeriksaan umum
a. Tanda-tanda
vital
1)
Tekanan darah
Tekanan darah biasanya tidak berubah pada kasus
pascapersalinan normal (Yanti, dkk, 2011). Namun, pada
beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi postpartum akan menghilang dengan
sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya
dalam setengah bulan tanpa pengobatan (Saleha, 2009). Bila tekanan darah lebih rendah dapat disebabkan oleh
perdarahan dan bila tekanna darah tinggi postpartum dapat disebabkan oleh
preeklampsia postpartum (Yanti, dkk, 2011).
2)
Suhu
Peningkatan
suhu badan sampai 24 jam pertama masa nifas pada umumnya disebabkan oleh
dehidrasi, yang disebabkan oleh keluarnya cairan pada waktu melahirkan, selain
itu juga bisa disebabkan karena istirahat dan tidur yang diperpanjang selama
awal persalinan. Tetapi pada umumnya setelah 12 jam post partum suhu tubuh
kembali normal. Kenaikan suhu yang mencapai ≥ 38ºC adalah mengarah ke
tanda-tanda infeksi (Saleha, 2009)
3) Nadi
Nadi
berkisar antara 60-100x/menit. Denyut nadi di atas 100x/menit pada masa nifas
adalah mengindikasikan adanya suatu infeksi, hal ini salah satunya bisa
diakibatkan oleh proses persalinan sulit atau karena kehilangan darah yang
berlebihan. Jika takikardi tidak disertai panas kemungkinan disebabkan adanya
vitium kordis. Beberapa ibu post partum kadang mengalami bradikardi puerperal,
yang denyut nadinya mencapai serendah-rendahnya 40-50x/menit, beberapa alasan
telah diberikan sebagai penyebab yang mungkin, tetapi belum ada penelitian yang
membuktikan bahwa itu adalah suatu kelainan (Yanti, dkk, 2010).
4) Pernapasan
Penurunan
konsentrasi progesteron setelah pengeluaran plasenta memulihkan sensitifitas
tubuh terhadap karbondioksida sehingga tekanan parsial karbondioksida kembali
ke kadar prahamil. Diafragma dapat meningkatkan jarak geraknya setelah uterus
tidak lagi menekan sehingga ventilasi lobus-lobus basal paru dapat berlangsung
penuh. Compliance dinding dada,
volume alun napas, dan kecepatan pernapasan kembali ke normal dalam 1-3 minggu. Pada umumnya respirasi lambat atau
bahkan normal. Hal ini juga bisa karena ibu dalam keadaan pemulihan/dalam
kondisi istirahat. Bila ada respirasi cepat postpartum (>30x per menit)
mungkin karena tanda-tanda syok (Suherni, 2009)
2. Pemeriksaan fisik
a. Wajah
Normalnya yakni tidak oedema tidak
pucat, conjunctiva merah muda, sclera
putih.
b. Payudara
Pada umumnya, ada pembesaran,
konsistensinya lunak, puting susu
menonjol, bersih, tidak terdapat bendungan ASI, ada colostrum. Selama kehamilan,
hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI biasanya belum keluar
karena masih dihambat oleh kadar estrogen yan tinggi. Pada hari kedua atau
ketiga postpartum, kadar estrogen dan progesteron turun drastis, sehingga
pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah mulai terjadi sektesi ASI (Ambarwati, dkk, 2010).
c. Abdomen/
Uterus
6 – 8 jam PP : £ 3 jari bawah pusat,
konsistensi uterus keras, kontraksi baik.
6 hari PP :
Pertengahan pusat simpisis, konsistensi uterus
keras, kontraksi baik.
2 minggu PP : Tak teraba diatas simpisis.
6 minggu PP : Tak teraba.
Adapun menurut Sofian (2011):
Masa Nifas |
Ukuran Uterus |
Berat Uterus |
Bayi Lahir |
Setinggi pusat |
1000 gram |
Uri lahir |
2 jari bawah pusat |
750 gram |
1 minggu |
Pertengahan pusat simpisis |
500gram |
2 minggu |
Tak teraba diatas simpisis |
350 gram |
6 minggu |
Bertambah kecil |
50 gram |
8 minggu |
Sebesar normal |
30 gram |
d. Genetalia
Tidak terdapat oedema pada labia mayora maupun labia
minora, jahitan perineum baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi, terdapat
pengeluaran berupa:
6 – 8 jam PP : darah segar warna merah, tidak berbau
busuk, jumlahnya.
6 hari PP :
darah bercampur lendir berwarna merah kekuningan, tidak berbau busuk,
jumlahnya.
2 minggu PP : lendir, tidak berbau busuk, jumlahnya.
6 minggu PP : berwarna putih seperti krim, tidak
berbau busuk, jumlahnya
(Sofian, 2011).
e. Ekstrimitas
atas/ bawah
Tidak
ada oedema, tidak ada varices, refleks baik.
2.2.2
Intrepetasi data diagnosis dan masalah
1.
Diagnosa Kebidanan
PAPAH, PP........jam/hari
2.
Masalah
Masalah yang
biasa timbul saat masa nifas adalah kurang istirahat. Hal ini dikarenakan
proses persalinan yang membuat ibu merasa kelelahan (Yanti, dkk, 2010).
2.2.3
Identifikasi diagnosa dan
masalah potensial
1.
Infeksi
(vulvitis, vaginitis, servisitis, tromboflebitis, endometritis, peritonitis,
infeksi jahitan operasi jika SC)
2.
Perdarahan
3.
Infeksi saluran
kemih
4.
Patologi
menyusui (puting susu lecet, payudara bengkak, saluran susu tersumbat,
mastitis, abses payudara) (Yanti, dkk, 2010)
2.2.4
Identifikasi tindakan segera
1. Mandiri : pada beberapa situasi
yang memerlukan penanganan segera (emergensi) dimana bidan harus segera
melakukan tindakan untuk menyelamatkan pasien.
2. Kolaborasi : dengan dokter
spesialis obstetri dan ginekologi atau dengan tenaga kesehatan lain yang ahli
dibidangnya untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim
kesehatan lain sesuai dengan kondisi pasien.
3. Merujuk
: bila terjadi komplikasi.
2.2.5
Perencanaan tindakan
1.
Jelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga
R/ informasi yang jelas mengoptimalkan
asuhan yang diberikan
2.
Jelaskan
penyebab dari keluhan atau masalah yang dirasakan ibu, seperti perut terasa
mules akibat adanya kontraksi uterus, lemas atau pusing akibat perubahan
fisiologis ibu nifas
R/ informasi yang jelas memberikan kenyaman klien
3.
Bimbing ibu untuk mobilisasi bertahap
R/ mobilisasi
mencegah thrombosis vena dan
tromboemboli, serta mempercepat
pemulihan kondisi ibu post partum
4.
Bimbing ibu massage fundus uteri untuk membantu
kontraksi uterus
R/ massage akan
membantu uterus berkontraksi dengan baik ditandai dengan teraba keras dan
bundar sehingga dapat mencegah perdarahan
5.
Berikan dukungan psikologis kepada ibu dalam
menghadapi perubahan fisik, psikologis, dan peran sosial yang dialaminya
R/ dukungan psikologis akan membantu ibu dan keluarga
lebih mudah menghadapi perubahan fisik, psikologis, dan peran sosial di
masyarakat.
6.
Observasi keluhan, TTV, ASI,
kontraksi
uterus, TFU, jahitan perineum, dan
lochea.
R/ Memantau kondisi ibu dapat mencegah terjadinya komplikasi masa nifas
7.
Bimbing tentang perawatan payudara dan cara menyusui
yang benar
R/ ASI yang lancar dapat memberikan kenyamanan dan
pertumbuhan serta perkembangan yang baik bagi bayi
8.
Berikan HE
tentang :
a.
Tanda bahaya nifas
Pusing berat, mata kunang-kunang,
perdarahan sur-sur, panas yang tinggi, perut terasa sangat nyeri.
b. Tanda
bahaya bayi baru lahir
Malas minum, sianosis, sesak napas,
ikterus, panas atau suhu badan rendah, retraksi dada, BBLR.
c.
Perawatan tali pusat bayi
Ajarkan ibu untuk merawat tali
pusat bayinya dengan perawatan kering hanya mengunakan kasa kering saja tanpa
ditambahi/dibubuhi apapun agar tidak terjadi infeksi.
d. Kebersihan
diri
-
Anjurkan kebersihan seluruh tubuh.
-
Ajarkan ibu bagaimana membersihkan
daerah kelamin dengan sabun dan air. Memastikan bahwa ibu mengerti untuk
membersihkan daerah di sekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang,
baru kemudian membersihkan daerah sekitar anus. Menjelaskan kepada ibu untuk
membersihkan vulva setiap kali selesai buang air kecil atau besar.
-
Sarankan ibu untuk mengganti pembalut
atau kain pembalut setidaknya dua kali sehari.
-
Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan
sabun dan air sebelum dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
-
Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau
laserasi, menyarankan kepada ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka.
2.2.6
Pelaksanaan tindakan
Melakukan rencana asuhan
menyeluruh yang telah diuraikan pada langkah 5.
2.2.7
Evaluasi
Dilakukan evaluasi dari keefektifan dari asuhan
yang diberikan
Tanggal/jam
1. Subjektif : diharapkan ibu tidak lagi
merasakan keluhan
2. Objektif : TTV dalam batas normal, ASI
sudah keluar dikedua payudara, kontraksi uterus baik, TFU sesuai involusi
uteri, lochea sesuai periode nifas, tidak ada tromboflebitis.
3. Analisis : merupakan
diagnosa dari pemeriksaan subjektif dan objektif
4. Penatalaksanaan : menentukan
rencana tindakan selanjutnya
BAB 3
TINJAUAN KASUS
Pengkajian
Tanggal
|
: |
08
Februari 2019, jam 14.15 WIB |
Tempat |
: |
Ruang
Bersalin PMB S F |
Oleh |
: |
Rina
Septi Andriani |
No.
Reg |
: |
5*6*/*/4/II2019 |
Data
Subyektif
1. Identitas
Nama
ibu |
: |
Ny.
K |
Nama
suami |
: |
Tn.
I |
Umur |
: |
33
tahun |
Umur |
: |
34
tahun |
Agama |
: |
Islam |
Agama |
: |
Islam |
Suku/Bangsa |
: |
Jawa/Indonesia |
Suku/Bangsa |
: |
Jawa/Indonesia |
Pendidikan |
: |
SMA |
Pendidikan |
: |
SMA |
Pekerjaan |
: |
Tidak
bekerja |
Pekerjaan |
: |
Swasta |
Alamat |
: |
Jl.
Rxxxxx, Surabaya |
|
|
2. Keluhan
Perut mulas
3. Riwayat
Obstetri yang Lalu
No |
Kehamilan |
Persalinan |
Anak |
Nifas |
|||||||||
Suami |
UK |
Peny |
Jenis |
Pnlg |
Tmpt |
Peny |
Sex |
BB |
H |
M |
Laktsi |
Peny |
|
1 |
1 |
40
mgg |
- |
Spt
B |
Bdn |
PMB |
- |
P |
3,3Kg |
14 thn |
- |
ASI
2 tahun |
- |
2 |
39
mgg |
- |
Spt
B |
Bdn |
PMB |
- |
L |
3,3
Kg |
6 thn |
- |
ASI
2 tahun |
- |
|
3 |
40
mgg |
- |
Spt
B |
Bdn |
PMB |
- |
L |
3,5
Kg |
2 jam |
- |
Nifas
ini |
4. Kehamilan
dan Persalinan
a.
Riwayat kehamilan ini
HPHT 20 April
2018. Status imunisasi TT5 tahun 2004. Pertama kali PP test sendiri dengan
hasil positif pada 21 Juni 2018. Pertama merasa gerakan janin sekitar awal
bulan September 2018. Trimester I periksa kehamilan sebanyak 1 kali di PMB,
keluhan mual, KIE yang diberikan tentang nutirisi dan istirahat, terapi yang
diberikan ROB 1 (B6, asam folat, multivitamin). Trimester II periksa kehamilan
sebanyak 3 kali yakni 2 kali di PMB dan 1 kali di PKM, tidak ada keluhan, KIE
yang diberikan tentang nutrisi, tanda bahaya kehamilan, dan istirahat, terapi
yang didapatkan adalah ROB 2 (Fe, kalk, dan multivitamin). Trimester III
periksa kehamilan sebanyak 5 kali di PMB, tidak ada keluhan, terapi yang
didapatkan adalah ROB 3 (multivitamin dan kalk) dan alinamin, KIE yang
didapatkan adalah tanda bahaya kehamilan, tanda dan persiapan persalinan.
Mengaku rutin meminum obat/vitamin yang diberikan. Tidak ada penyulit/kelainan
selama hamil.
b.
Riwayat Persalinan ini
Tanggal 8
Februari jam 12.15 WIB bersalin spontan di PMB S F dengan usia kehamilan
40-41 minggu, bayi berjenis kelamin laki-laki, langsung menangis keras, ketuban
jernih, BB 3500 gram, PB 50 cm. Plasenta lahir spontan lengkap pukul 12.25 WIB.
Mengalami laserasi perineum derajat II dan telah dijahit.
5. Riwayat
Kontrasepsi : suntik 3 bulan, selama 5
tahun, tidak ada keluhan, berhenti karena ingin punya anak lagi, belum ada
rencana menggunakan jenis KB tertentu.
6. Riwayat
Kesehatan
a. Ibu
Tidak pernah atau tidak
sedang menderita penyakit menurun, seperti hipertensi, DM, jantung, alergi,
asma, dan talasemia. Tidak pernah atau sedang menderita penyakit menular
seperti TBC, hepatitis, HIV, IMS, dan penyakit menular lainnya
b. Keluarga
Tidak ada anggota
keluarga yang sedang atau pernah menderita penyakit menurun, seperti
hipertensi, DM, jantung, alergi, asma, talasemia, dan keturunan kembar. Tidak
ada keluarga yang sedang atau pernah menderita penyakit menular seperti TBC dan
penyakit menular lainnya.
1.1
Data Fungsional Kesehatan:
a. Nutrisi
Makan
terakhir pukul 13.30 WIB, 1 piring habis berisi nasi, lauk, dan sayur, minum air
putih terakhir jam 14.00 WIB.
b. Eliminasi
Belum
BAB dan BAK semenjak pasca persalinan.
c. Hygiene
Ibu
belum mengganti pembalut sejak setelah bersalin, sudah dilakukan seka pada
badan bagian bawah dan kaki, sudah mengganti pakaian setelah bersalin.
d. Istirahat
Belum
tidur semenjak proses persalinan selesai
e. Aktivitas
Sudah
bisa miring kanan-kiri dan duduk, sudah dapat menyusui bayinya dalam posisi
berbaring dan duduk.
f. Riwayat Sosial Budaya:
- Riwayat
pernikahan : Menikah satu kali selama 15 tahun, pertama kali menikah usia 18
tahun.
- Riwayat
psikososial : Merasa lega dan senang karena bayinya sudah lahir dengan sehat.
Suami terus mendampingi ibu selama proses persalinan hingga sekarang, masih
tergantung pada bidan dalam merawat bayinya karena ibu masih lelah pasca proses
persalinan.
- Riwayat
budaya : Tidak ada adat budaya yang membahayakan masa nifas
Data
Objektif
1. Pemeriksaan
Umum
KU : Baik
Kesadaran :
Compos mentis
TTV
TD : 110/80 mmHg
Suhu : 36,6°C
Nadi : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
2. Pemeriksaan
Fisik
Wajah : tidak oedem, tidak tampak pucat
Mata : sklera putih, konjungtiva merah muda
Mulut : bibir lembab tidak pecah-pecah
Payudara : bersih, kedua putting susu menonjol, kolostrum
payudara kanan/kiri sudah keluar.
uterus
teraba keras, kandung kemih teraba
penuh.
Genetalia : terdapat pengeluaran darah berwarna merah
segar (lochea rubra) ± 1 pembalut penuh
(sekitar 40 cc), ada bekas jahitan perineum,
tidak bengkak, tidak ada kemerahan.
Ekstrimitas:
tidak ada oedema dan varices pada tangan dan kaki.
Analisis
P3003 Post partum 2 jam.
Penatalaksanaan
Tanggal/Jam |
Penatalaksanaan |
Pelaksana |
08-02-2019/ 14.17 |
1. Memberitahukan
hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan kepada ibu, ibu mengerti 2. Menjelaskan
perubahan fisiologus masa nifas terkait dengan keluhan yakni perut mulas
akibat adanya kontraksi uterus sebagai proses involusi uterus (pengerutan
ukuran uterus) dan cara mengatasinya dengan massage fundus uteri, mobilisasi
dini, ibu mengerti. |
Rina |
14.19 |
3. Memberikan KIE tentang: a. Mobilisasai
dini secara bertahap b. Jenis-jenis metode kontrasepsi, kelebihan,
kekurangan, dan efek sampingnya c. Nutrisi ibu nifas dan menyusui dengan tinggi
kalori dan protein, seperti terdapat nasi, ikan, sayur dalam sekali makan,
lebih banyak mengkonsumsi sayuran yang berkuah, minum sekitar 3 L/hari, dan
minum susu 1 gelas/hari. d. Personal
Hygiene dan vulva hygiene yakni mandi 2 kali/hari,
mengganti pembalut sekitar 2-3 jam sekali, mencuci tangan sebelum
membersihkan vagina, membersihkan vagina dengan air biasa dari arah depan ke
belakang, mengeringkan vagina setelah selesai memberisihkannya, mengganti pakaian
dalam minimal 2 kali sehari atau segera jika lembab/basah, dan tidak
menggunakan pakaian dalam terlalu ketat. e. Istirahat yang cukup dengan tidur malam sekitar
7-8 jam/hari dan tidur siang sekitar 1 jam/hari atau mengikuti pola tidur
bayi. f. Tanda bahaya nifas yakni demam > 38oC
pada hari ke 2 atau lebih, perdarahan jalan lahir yang banyak, berbau, uterus
lembek, tinggi fundus uterus tidak mengalami penurunan, bengkak payudara,
bengkak kaki dan tangan, kemerahan pada kaki, dan depresi. Jika ada salah satu
tanda yang dirasakan, segera ke fasilitas kesehatan. Ibu
mengerti dan bersedia mengikuti anjuran yang telah diberikan. |
Rina |
14.35 |
4. Memfasilitasi
dan membantu ibu untuk pindah ruangan ke ruang nifas bersama bayinya, ibu dan
bayi telah pindah ruangan |
Rina |
15.00 |
5. Memfasilitasi
kebutuhan eliminasi dan menganjurkan ibu untuk tidak menahan BAK/BAB, ibu
dapat BAK sendiri di kamar mandi dan telah mengganti pembalut. |
Rina |
15.10 |
6. Menganjurkan ibu untuk rutin mengkonsumsi vitamin dan obat yang
diberikan yaitu metilergometrin 0,125 mg 3x1/hari, asam mefenamat 500 mg
3x1/hari, vitamin BC 1x1/hari, amoxilin 500 mg 2 x1/hari, dan Fe 1x1/hari,
ibu bersedia mengkonsumsi obat secara teratur. |
Rina |
15.15 |
7. Menyepakati kontrol
nifas 3 hari lagi (tanggal 11 Februari 2019) atau jika sewaktu-waktu terdapat
keluhan, ibu mengerti dan bersedia kembali lagi guna memantau kesehatannya. |
Rina |
BAB 4
PEMBAHASAN
Data subjektif pada kasus ini menunjukkan bahwa pengkajian dilakukan
pada tanggal tanggal 8 Februari 2019 jam 14.15 WIB, dimana bayi
lahir pada jam 12.15 WIB dan plasenta lahir jam
12.25 WIB pada tanggal yang sama. Hal ini menyatakan bahwa
Ny.
K berada pada periode
pascapartum atau yang biasa disebut dengan masa nifas atau pueperium. Varney
(2008) menjelaskan bahwa Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran
plasenta dan selaput janin (menandakan akhir periode intrapartum) hingga
kembalinya traktus reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil. Periode ini juga
disebut puerperium, dan wanita yang mengalami puerperium disebut puerperal.
Periode pemulihan pascapartum berlangsung sekitar enam minggu (Varney, 2008).
Pada kasus ini, ibu mengeluh perut mulas. Rasa mulas pada postpartum
merupakan hal fisiologis, sebagaimana diungkapkan Rustiningsih (2010) bahwa
nyeri atau kram pada area sekitar perut yang terjadi 2-3 hari pascasalin
disebabkan oleh proses kembalinya otot-otot dan organ kehamilan (proses
involusi uterus) yang biasa disebut dengan afterpains.
Dalam data fungsional kesehatan ditemukan bahwa ibu belum tidur semenjak proses persalinan. Hal tersebut dapat terjadi akibat adanya perut
mulas yang dialami ibu
(Brayshaw, 2008).
Data aktivitas
menunjukkan bahwa mobilisasi yang sudah ibu lakukan pada postpartum 2 jam yaitu
miring kanan-kiri dan duduk. Mobilisasi atau ambulasi dini (early ambulation) adalah mobilisasi
segera setelah ibu melahirkan dengan membimbing ibu untuk bangun dari tempat
tidurnya dan memulai mobilisasi dengan miring kanan/kiri, duduk kemudian
berjalan (Yanti, dkk, 2011). Menurut Bahiyatun (2009) pada persalinan normal,
ibu diperbolehkan untuk mandi dan ke toilet dengan bantuan orang lain yaitu pada 1
atau 2 jam setelah persalinan. Jika ibu belum melakukan rentang gerak
dalam tahapan mobilisasi dini selama 1 atau 2 jam setelah persalinan, ibu nifas
tersebut belum melakukan mobilisasi secara dini (late ambulation). Sehingga, Ny. “K” dapat dikatakan late ambulation karena belum mencoba untuk berdiri dan berjalan ke
kamar mandi dengan bantuan orang lain. Hal ini juga bisa disebabkan oleh ketidaknyaman
ibu akibat perut mulas.
Dari data riwayat psikologis didapatkan bahwa ibu merasa
lega dan senang karena bayinya sudah lahir dengan sehat dan masih tergantung pada bidan dalam
merawat bayinya karena ibu masih lelah pasca proses persalinan. Pada hari 1 – 2
postpartum, ibu berada pada fase taking
in dalam adaptasi psikologis postpartum dimana ibu menjadi
pasif dan sangat tergantung serta berfokus pada diri dan tubuhnya sendiri (Anggraeni, 2010). Sehingga, ibu yang baru melahirkan ini perlu
istirahat atau tidur untuk mencegah gejala kurang tidur dengan gejala lelah,
cepat tersinggung, campur baur dengan proses pemulihan (Anggraeni, 2010).
Pada data objektif didapatkan bahwa kolostrum payudara kanan/kiri sudah
keluar. Selama kehamilan,
hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI biasanya belum keluar
karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi. Pada hari kedua atau
ketiga postpartum, kadar estrogen dan progesteron turun drastis, sehingga
pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah mulai terjadi sekresi
ASI. Dengan menyusukan lebih dini terjadi perangsangan puting susu,
terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga sekresi ASI semakin lancar. Dua
refleks pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi yaitu refleks
prolaktin dan refleks aliran timbul akibat perangsangan puting susu oleh
hisapan bayi
(Ambarwati, dkk, 2010). Sehingga sangat penting menganjurkan
ibu untuk menyusui bayinya sedini dan sesering mungkin.
Adapun pada pemeriksaan abdomen didapatkan TFU
2 jari dibawah pusat dan
konsistensi uterus teraba keras.
Menurut Sofian (2011), ukuran uterus setelah plasenta lahir sekitar 2 jari di
bawah pusat. Hal tersebut merupakan bagian dari proses involusi uterus.
Involusi uterus meliputi reorganisasi dan pengeluaran desidua/endometrium dan
eksfoliasi tempat perlekatan plasenta yang ditandai dengan penurunan ukuran dan
berat serta perubahan pada lokasi uterus juga ditandai dengan warna dan jumlah
lochea (Varney, 2008). Selain itu, intensitas kontraksi
uterus meningkat secara bermakna segera setelah lahir, diduga terjadi sebagai
respon terhadap penuruanan volume intrauteri yang sangat besar. Hormon
oksitosin yang dilepaskan dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur
kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu proses hemostatis.
Kontraksi dan retraksi otot uterus akan mengurangi suplai darah ke uterus. Selama 1 sampai 2 jam pertama
postpartum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi teratur.
Karena itu penting sekali menjaga dan mempertahankan kontraksi uterus pada masa
ini. Suntikan oksitosin biasanya diberikan secara intravena atau intramuskuler
segera setelah kepala bayi lahir. Pemberian ASI segera setelah lahir akan
merangsang pelepasan oksitosin yang diakibatkan dari isapan bayi pada payudara
(Ambarwati, dkk,
2010).
Dari pemeriksaan genitalia Ny. “K” menunjukkan bahwa terdapat pengeluaran darah berwarna merah
segar (lochea rubra) ± 1 pembalut penuh
(sekitar 40 cc). Menurut
Yanti, dkk (2011), lochea selama 1 - 3 hari pasca persalinan berisi darah segar berwarna merah
dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, vornik kaseosa, lanugo
dan meconium, disebut
sebagai lochea rubra.
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi
situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama
dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan
lochea (Yanti, dkk, 2011).
Berdasarkan data subjektif dan objektif, maka analisis pada kasus ini
adalah P3003
postpartum
fisiologis 2 jam. Salah
satu penatalaksanaan pada kasus ini adalah menjelaskanan
perubahan fisiologis
nasa nifas terkait dengan keluhan yakni perut mulas akibat adanya kontraksi
uterus sebagai proses involusi uterus (pengerutan ukuran uterus) dan cara
mengatasinya dengan massage fundus uteri
dan mobilisasi dini. Perut
mulas atau nyeri yang timbul akan berdampak pada kesehatan ibu, antara lain
timbulnya stress dan keletihan karena kurang istirahat, serta trauma baru
setelah melahirkan (Brayshaw, 2008). Peran sebagai
ibu juga terhambat karena kondisi fisik ibu yang lemah. Dengan adanya penjelasan
mengenai keluhan tersebut beserta cara mengatasinya diharapkan ibu bisa
menerapkannya sehingga nyeri atau keluhan perut mulas dapat berkurang. Semakin
cepat kesehatan ibu pulih, semakin menyenangkan sikap dan semakin yakin ibu
akan kemampuannya untuk melaksakanan peran ibu secara memuaskan (Saleha, 2009).
Adapun salah satu terapi yang diberikan dalam kasus ini
adalah amoxilin untuk mencegah terjadinya infeksi. Pasca melahirkan
merupakan masa yang rawan bagi ibu, sekitar 60 % kematian ibu terjadi setelah
melahirkan dan hampir 50 % dari kematian pada masa pasca melahirkan terjadi
pada 24 jam pertama setelah persalinan, diantaranya disebabkan oleh adanya
komplikasi masa nifas, selama ini perdarahan pasca melahirkan merupakan
penyebab kematian ibu, namun dengan meningkatnya persediaan darah dan sistem
rujukan, maka infeksi menjadi lebih menonjol sebagai penyebab kematian dan
morbiditas ibu, sehingga diberikan obat sesuai dengan kondisi ibu salah satunya
diberikan terapi antibiotik pada kasus tertentu, seperti KPP ≥ 24 jam (Saleha, 2009).
Pada kasus ini alasan pemberian antibiotik adalah karena ibu mengalami laserasi perineum derajat
2 dan bukan KPP, sehingga sebenarnya pemberian amoxilin tidaklah wajib
diberiakan. Pengobatan antibiotik untuk perawatan luka perineum
saat ini cenderung dihindari. Beberapa antibiotik harus dihindari selama masa
laktasi, karena jumlahnya sangat signifikan dan berisiko (Kurniawati, dkk, 2015). Penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau berlebihan mendorong
berkembangnya resistensi dan multipel resisten terhadap bakteri tertentu yang
akan menyebar melalui infeksi silang. Terdapat hubungan antara
penggunaan (atau kesalahan penggunaan) antibiotik dengan timbulnya resistensi
bakteri penyebab infeksi nosokomial. Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi
dapat diperlambat melalui penggunaan antibiotik yang bijak. Hal tersebut
membutuhkan kebijakan dan program pengendalian antibiotik yang efektif (Kemenkes, 2011).
Pada kasus ini Ny. K
belum mendapatkan terapi vitamin A. Menurut Kemenkes (2013), salah satu suplemen yang diberikan pada masa
nifas adalah vitamin A dosis tinggi 2 x 200.000 IU. Ibu
nifas harus diberikan kapsul Vitamin A dosis tinggi karena: 1) Pemberian 1
kapsul Vitamin A merah cukup untuk meningkatkan kandungan Vitamin A dalam ASI
selama 60 hari, 2) Pemberian 2 kapsul Vitamin A merah diharapkan cukup menambah kandungan Vitamin A dalam
ASI sampai bayi berusia 6 bulan, 3) Kesehatan ibu cepat pulih setelah
melahirkan (Depkes, 2009).
Vitamin A memiliki manfaat untuk diferensiasi sel dimana terjadi bila sel – sel tubuh mengalami
perubahan dalam sifat dan fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini
adalah salah satu karakteristik dari kekurangan vitamin A yang terjadi pada
tiap tahap perkembangan tubuh. Diduga vitamin A dalam membentuk asam retinoat
memegang peranan aktif dalam kegiatan inti sel. Vitamin A juga berperan dalam fungsi kekebalan tubuh. Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan diferensiasi sel limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan
humoral), kekurangan vitamin A juga menurunkan respon anti bodi yang tergantung
pada sel – T (Almatsier,
2010).
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada Ny. K, maka analisis yang ditegakkan P3003 postpartum fisiologis. Penatalaksanan yang dilakukan
telah sesuai dengan kebutuhan ibu dan juga teori yang ada. Ada beberapa
penatalahksanaan yang kurang tepat diberikan pada kasus ini bila dibandingan
dengan teori yang ditemukan seperti pemberian anibiotik pada kasus fisiologis
seperti yang dialami ibu dikhawatirkan meningkatkan terjadinya resistensi obat.
Selain itu, tidak diberikannya vitamin A, padahal vitamin A merupakan suplemen yang penting pada
ibu nifas.
Penatalaksanaan yang diberikan diharapkan mampu
mengatasi keluhan ibu dan memenuhi kebutuhan ibu secara efektif dan efisien.
Apalagi disesuaikan dengan teori atau ilmu yang mendasari tatalaksana tersebut.
Dengan demikian, ibu nifas akan semakin cepat pulih sehingga mampu secara mandiri
untuk mengurus dirinya sendiri dan bayinya, bahkan keluarganya seperti sebelum
melahirkan.
5.2 Saran
1)
Bagi Lahan Praktik
Sebaiknya
meminimalisir pemberian antibiotik pada ibu nifas fisiologis dan mempertimbangkan
pemberian antibiotik hanya pada kasus-kasus tertentu. Selain itu, sebaiknya
vitamin A dosis tinggi dapat diberikan pada ibu nifas.
2)
Bagi Mahasiswa/Tenaga Kesehatan
Seharusnya
dapat memprioritaskan penatalaksanaan
secara berurutan sesuai dengan kebutuhan ibu dan menggali secara mendalam
biopsikososial kultural sehingga penatalaksaannya benar-benar sesuai dengan
kebutuhan ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier,
S.2010.Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.
Ambarwati, dkk. 2009.Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta: Mitra
Cendekia.
Anggraini Y. 2010.
Asuhan Kebidanan Masa Nifas.
Yogyakarta: Pustaka.
Anisah, U., et al. 2010. Pengalaman Perempuan yang Mengalami Sectio
Caesarea atas Indikasi Preeklampsia Berat
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwoketo. Jurnal Keperawatan Soedirman.
5 (1) : 21 – 29.
Bahiyatun.,
2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas
Normal. Jakarta: EGC.
Bobak,
Lowdermilk, Jensen. 2005. Buku
ajar keperawatan maternitas. Edisi 4. Jakarta:
EGC.
Brayshaw, E.
2008. Senam Hamil & Nifas: Pedoman
Praktis Bidan. Jakarta: EGC.
Cunningham
FG, dkk, 2012. Obstetri
Williams. Volume; I. Ed: 23.
Jakarta: EGC.
Fraser,
D. M, dan Cooper, M. A. 2009. Myles Buku
Ajar Bidan. Ed. 14. Alih bahasa Sri Rahayu. Jakarta: EGC,
Kemenkes. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi
Antibiotik. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukkan. Jakarta: Kemenkes RI.
Kurniawati, S.
L. C., dkk. 2015. Perbedaan Penggunaan
Daun Sirih terhadap Waktu Penyembuhan Luka Perineum. Jurnal Ners dan
Kebidanan. 2 (3): 227 – 231.
Maryunani, A. 2013. Asuhan
Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Jakarta : Trans Info Medika.
Notoatmodjo,
2007. Promosi kesehatan dan ilmu
perilaku.Jakarta: Rineka Cipta.
Puspitasari,
H. A., dkk. 2011. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Post Operasi
Sectio Caesarea (SC). Jurnal
Ilmiah Kesehatan Keperawatan. 7 (1) : 50 – 59.
Rahmawati, dkk. 2009. Perawatan Masa Nifas.Yogyakarta: Fitramaya
Rustiningsih, L.
2010. Pengaruh Seam Nifas terhadap
Tingkat After Pains pada Ibu Postpartum di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Naskah
Publikasi. Prodi Ners-Ilmu Keperawatan. Stikes ‘Aisyiyah. Yogyakarta.
Saifuddin
AB, dkk. 2010. Ilmu
Kebidanan. Ed: 4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2010. Buku panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwonono Prawirohardjo: Jakarta.
Saleha,
S. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas.
Jakarta: Salemba Medika
Suherni dkk.
2009. Perawatan Masa Nifas.
Jogjakarta: Fitramaya.
Sulistyawati Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Pada Ibu Nifas. Jogjakarta: Andi Offset
Walyani,
E.S., dan Purwoastuti, T. E., 2015. Asuhan
Kebidanan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Yanti, D., dkk.
2011. Asuhan Kebidanan Masa Nifas:
Belajar Menjadi Bidan Profesional. Bandung: PT Refika Aditama.
Komentar
Posting Komentar