https://www.wattpad.com/amp/667830044Tambahkan teks |
Cafe ini cukup nyaman, free
Wi-Fi pula. Aku melirik layar ponsel,
7 Juli 2020, muncul pemberitahuan untuk pembaharuan beberapa aplikasi. Aku klik
OK, selagi ada Wi-Fi gratis, pikirku. Aku penasaran dengan pembaharuan pada aplikasi
berlogo kotak yang bertuliskan Instagram.
Kini aku bisa memainkan fitur Instagram Story.
Aku mengunggah sebuah konten untuk meminta pendapat kepada teman-teman online mengenai kesan menjadi manusia
seperempat abad.
***
Gue ngerasa
kalau gue masih boros banget. Selama ini kerja, tapi gue gak punya investasi
apapun. Itu sih yang bikin gue insecure sama keadaan gue yang sekarang. –TY—
***
Sering
ditanya “Kapan punya anak? Udah setahun menikah kenapa belum hamil?” Aduh gue
pusing banget ladenin mulut-mulut netizen yang maha benar. Pas gue belum nikah,
ditanya kapan nikah sampe gue mual dengernya. –SI—
***
Manusia
seperempat abad yang belum bekerja, aku ngerasa gelisah banget sih. Selama ini
aku jalanin bisnis yang gak seberapa sih, tapi lumayan aja hasilnya. –DAA—
***
Gue kadang
iri sih liat postingan oranglain, wah 25 tahun udah punya bisnis, sukses lagi.
Sedangkan gue kerja ya gini-gini aja wkwk. –NS—
***
Sering
ditanya kapan nikah wkwk. Kalau ada temen yang single kenalin aja ke gue Sal
haha. –BPP—
***
Kapan
mbaknya nikah? Pasti itu pertanyaan yang menyeramkan buat orang yang belum
nikah diumur 25 tahun. Ya kan? Wkwk. –WR—
***
Hmm. Just
sharing an experience. Kebayang gak kamu diposisi kakak yang belum menikah, dan
adik kamu menikah bulan lalu. Dilema banget aku, berat banget rasanya, apalagi
kalau denger pertanyaan tetangga yang bikin sakit kepala sampe ke hati. Urusan
jodoh memang udah diatur, banyak pasangan yang merencanakan pernikahan tapi
ternyata batal pas mendekati hari H. Ya karena manusia hanya bisa berencana.
Gak boleh ngerasa kalah saing sama adik sendiri sih, gaktau ya ini bener atau
enggak statement aku. Pasti dalam hati adik aku juga ada rasa gak nyaman.
Meskipun wajahnya keliatan bahagia, tapi hati kecilnya merasakan sakit yang
kakaknya alami. Kalau boleh memilih, mungkin dia ingin kebahagiaan yang sempurna,
sepenuhnya dia menyadari bahwa ada sang kakak yang harus berkorban. Karena itu,
bibirnya tak lepas mendoakan kakaknya agar mendapatkan jodoh terbaik di waktu
yang paling tepat. –RMH—
***
Gue baru
aja putus 2 bulan lalu dan selama 2 tahun gue terjebak di toxic relationship. 3
bulan lagi gue 26 tahun, gue jadi kayak ngerasa terpuruk. Gue ngerasa udah
berkorban banyak tapi dia nya enggak. Sad story... –MS—
***
Untuk
teman-teman online yang sudah menanggapi unggahanku, I feel you. You were born
to be real, not to be perfect. Kita diciptakan Tuhan dengan maksud dan tujuan
yang sudah ditetapkan. Kita berharga, kita adalah orang terpilih, kita pasti
mampu menjalankan ujian yang sedang kita hadapi. Tenang, ini hanyalah ujian
dunia. Tetaplah lakukan yang terbaik. Aku mengunggah kata-kata yang
sudah dirangkai sedemikian rupa.
***
Aku teringat kejadian September
2019 lalu. Sel-sel dalam tubuhku bertransformasi menjadi lebih tua, layaknya
manusia seperempat abad. Selama aku hidup di dunia ini, apa yang sudah aku
dapatkan? Karir yang cemerlang? Membangun keluarga yang diidamkan? Pendidikan
tinggi yang membanggakan?
Terkadang aku terlalu sibuk untuk
memenuhi standar sosial yang ada. Terkadang aku sibuk mencari validasi dalam banyak
jiwa hanya untuk menilai diriku sendiri, seberapa berartinya aku bagi orang lain,
seberapa diakuinya keberadaanku di mata orang lain. Nyatanya validasi bisa
menjadi bumerang, terlebih jika aku mulai menggantungkan maknaku pada validasi
tersebut.
Kerap kali aku tinggi hati atas
pencapaian yang telah aku dapatkan, aku bisa melanjutkan pendidikan, mempunyai
pacar yang bisa dibanggakan di mata orang lain dan sudah berjalan hampir enam
tahun, orang tua dan keluarga yang selalu mendukung, pertemanan yang bermakna.
Satu hal yang kerap aku lupakan, bersyukur. Sampai suatu ketika, aku
mendapatkan sebuah ujian kehidupan yang cukup mengguncang psikologisku.
Saat itu aku adalah seorang
mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di ujung Timur Jawa Dwipa, tepatnya di Kota Surabaya. Dalam
hitungan bulan, aku akan melaksanakan perayaan kelulusan pendidikan profesiku. Tiba
waktunya untuk merajut asa dan benar-benar mewujudkannya. Menyusun strategi
untuk menata kehidupan, mulai dari mengembangkan karir, memaksimalkan hobi
menulisku, serta membawa kisah asmara ke malighai
cinta yang sesungguhnya.
Namun manusia hanya bisa berencana,
Tuhan yang menentukan kemudian. Ternyata kisah asmara yang selama ini dirajut
dengan benang wol merah muda, hancur disobek-sobek tanpa pernah menjadi sebuah
baju hangat yang cantik. Pengkhianatan telah aku dapatkan dengan sangat kejam,
hubungan jarak jauh yang kami jalankan selama bertahun-tahun tinggal menjadi
kenangan. Aku mencoba memaknai kembali kejadian yang aku alami.
Aku kunyah masalahku seperti aku
sedang menikmati makanan favorit, sate padang. Kemudian aku telan dan besok aku
hanya perlu buang air. Sesimpel itu. “Aku bersyukur, cuma butuh waktu tiga hari
buat lupain semuanya,” ucapku pada
seorang sahabat. Pikirku begitu, ternyata apa hebatnya mengulum keluh?
Berpura-pura sembuh, padahal jiwa tinggal separuh. Aku melupakan bahwa aku
diberikan otak yang bekerja dengan baik. Beberapa memori kerap kali muncul
dalam otakku. Layaknya Jalangkung, yang datang tak diundang dan pulang tak
diantar. Mungkin aku terlalu gusar untuk melalui fase healing.
Aku sadar bahwa aku sudah
memaksakan semuanya. Memaksakan diri untuk merasa baik-baik saja. Nyatanya,
urusan hati tidak ada indikator kapan waktu yang tepat untuk sembuh. Setiap
orang berbeda. Sebagian orang hanya sedang mengaktifkan mode defensif pada dirinya, menolak untuk
jujur dengan apa yang dirasakan. Tapi setiap orang tentunya punya pilihan
masing-masing, hanya saja mode tersebut tidak cocok untuk diterapkan pada
diriku.
***
Aku tlah
tahu kita memang tak mungkin, tapi mengapa kita selalu bertemu?
Aku tlah
tahu hati ini harus menghindar, namun kenyataan ku tak bisa
Maafkan
aku, terlanjur mencinta.
Lantunan merdu penyanyi wanita
meninabobokan seisi ruangan cafe,
membuatku tersadar dari lamunan yang cukup panjang. Telingaku tampak asing dengan
lagu ini. Pandanganku terfokus pada sosok didepanku, seorang perempuan muda
yang sibuk dengan ponselnya. Memotret minuman di hadapannya. Hasil jepretan
dipandangnya sebentar, kemudian memotret kembali. Begitu terus sampai lima
kali. Ponsel yang digunakan memiliki 3 lingkaran kamera di bagian belakangnya,
sebuah logo apel terpampang tidak jauh dari lingkaran-lingkaran tersebut. “Ponsel
tipe apa ya? Rasanya aku belum pernah lihat sebelumnya,” batinku dalam hati.
Kulirik layar ponsel kembali,
beberapa tanggapan dari Instagram Story
memenuhi layar. Sudah dapat ditebak jawabannya. Kekhawatiran manusia seperempat
abad tidaklah jauh dari status pernikahan, pekerjaan, dan kesuksesan yang
dinilai dari materi.
Sudah jam 9 malam. Biasanya
ponselku sudah menyanyikan nada dering, menandakan sebuah panggilan masuk.
Saatnya untuk pulang sebelum orang tuaku menghubungi. Aku bergegas beranjak
menuju kasir, “Meja nomer berapa Kak?” Tanya seorang laki-laki yang ada
didepanku, tersenyum ramah, bersiap menekan angka yang ada di layar komputernya
untuk melihat rincian pesanan.
“Nomer sebelas, Mas,” ucapku sambil
mengeluarkan uang pecahan seratus ribu rupiah yang khas dengan gambar bunga
merah muda, berbahan polymer, terpampang
sosok Soekarno-Hatta. “Hot Latte Macchiato
aja ya Kak?” Aku mengangguk dengan sigap. “Jadi 40.000 rupiah Kak,” ucapnya
lagi. Aku menyodorkan uang yang sudah disiapkan. Penjaga kasir menerimanya
dengan alis mengernyit. Dipandangnya lagi uang yang aku berikan. “Maaf Kak tapi
uang ini kan sudah tidak beredar.” Ucapnya membuatku sangat terkejut, diikuti
dengan pandangan beberapa pengunjung cafe
kearahku. Aku mencoba mengingat-ingat, rasanya kemarin aku masih bertransaksi
dengan uang ini. Aku mengambil kembali uang seratus ribu dari tangan penjaga
kasir dan mencari uang lainnya. Aku menyodorkan pecahan dua puluh ribu dan dua
lembar sepuluh ribu. Sang penjaga kasir menerima dan melakukan proses
transaksi.
“Terimakasih ya Kak, silahkan
datang kembali. Hati-hati di jalan.” Ucapnya ramah, tapi tampak jelas di wajahnya
menggambarkan rasa heran karena aku mengeluarkan uang yang sudah tidak beredar.
Aku melemparinya senyuman dan mengucapkan terimakasih.
Aku melangkahkan kaki, mendekatkan
diri menuju papan bertuliskan exit. Satu
meter lagi aku dapat meraih pegangan pintu yang terbuat dari kayu, tapi kuhentikan
langkahku. Kupandangi wajahku di cermin yang tergantung di pintu, rasanya tidak
ada yang salah dengan diriku. Kaki kanan kembali melangkah kedepan. Kutarik
gagang pintu dan aku melangkahkan kaki keluar, namun tiba-tiba aku merasakan
kakiku tidak menapaki apapun disana.
Tubuhku seketika terjun, mengikuti
pergerakan gravitasi. Mataku menerawang mencari di mana jalanan yang sebelumnya
aku lihat dari dalam cafe, aku
merasakan tubuhku jatuh. Semakin jatuh. Apakah cafe tadi berada diatas langit? Itu sangat mustahil. Tubuhku
semakin jauh terjatuh layaknya penerjun payung, tapi aku tidak menemukan
parasut yang terpasang di tubuhku.
***
Mataku terbuka, kulihat atap
berwarna putih. Sebelah kanan, tepatnya ditembok, tergantung agenda perkuliahan
dan tertempel beberapa foto bersama pacar. Sebelah kiri aku hanya mendapati
tembok dengan cat berwarna putih. Tanganku meraba kain yang menutupi tubuhku,
sebuah selimut berwarna merah muda yang tidak asing. Ini kamar kosku.
Ternyata aku tertidur entah sudah
berapa jam. Kulihat layar ponsel, masih dengan ponsel yang sama. 11 September
2017, pukul 01.00 malam. Tiba-tiba ponselku berdering, “Sayangku” melakukan
panggilan video. “Hello.. Happy Birthday
Sayang.” Ucap sesosok pria di layar ponselku, lengkap dengan kue dan lilin yang
sudah dinyalakan.
Aku terpaku, mengingat mimpi yang
baru saja aku alami. Sangat nyata. Namun kenyataannya aku adalah seorang
mahasiswi berusia 23 tahun dan aku masih menjalin hubungan dengan pacarku yang
berjalan hampir empat tahun.
Aku hanya bisa bersyukur dengan apa
yang aku punya saat ini, mencoba berdamai dengan diri sendiri dan tidak
membandingkan diriku dengan orang lain. Aku berjanji pada diriku untuk menjadi
lebih baik dari diriku yang kemarin. Kita tak akan pernah menang melawan waktu.
Jadi, jangan ditaklukkan, tapi dijalani sebaik-baiknya saja.
“Sayang lilinnya mau habis, masih make a wish?” Aku kembali tersadar dan
mulai mengerucutkan bibirku, seolah-olah meniup lilin yang ada di layar ponsel.
“Huffhh...” Lilin padam.
Komentar
Posting Komentar