Langsung ke konten utama

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THALASEMIA DI POLI ANAK RS. XXX

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Thalasemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya rantai globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi terbanyak di dunia. Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan pembawa sifat thalasemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang. Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalasemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen thalassemia β berkisar 3-10% (Menkes RI, 2018).

Data Pusat Thalasemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Transfusi darah merupakan tindakan transplantasi organ yang sederhana, tetapi mengandung banyak risiko, seperti reaksi transfusi dantertularnya penyakit akibat tercemarnya darah donor oleh virus sepertihepatitis B, C, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan human t-cell leukaemia virus (HTLV). Data Pusat thalasemia Jakarta menunjukkan hasil uji serologis dari 716 pasien, 2% pasien tertular infeksi hepatitis B, 15% pasien tertular infeksi hepatitis C, dan 5 orang pasien tertular infeksi HIV.

Pengobatan penyakit thalassemia sampai saat ini belum sampai pada tingkat penyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat seorang thalassemia mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah, namun masih dapat memberikan gen thalassemia pada keturunannya. Komplikasi seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan, keterlambatan pertumbuhan tanda pubertas akibat gangguan hormonal, dan lainnya umumnya muncul pada penderita. Di Pusat thalasemia RSCM angka kematian terbanyak adalah gagal jantung (46%) dan diikuti oleh infeksi (23%).

Selain risiko tertular penyakit infeksi, pasien yang mendapatkan transfusi berulang juga dapat mengalami reaksi transfusi mulai dari ringan seperti menggigil, urtikaria, sampai berat seperti syokanafilaksis. Transfusi darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup sering menimbulkan rasa jenuh, bosan berobat, belum lagi adanya perubahan fisik, merasa berbeda dengan saudara atau teman-temannya akan menyebabkan rasa inferior diri.

Berdasarkan gambaran masalah di atas, program pengelolaan penyakit thalassemia dinyatakan penting untuk memberikan pengobatan yang optimal pada pasien thalassemia mayor sehingga tumbuh kembang menjadi baik.

 

1.2  Tujuan

1.2.1.      Tujuan Umum

Diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan thalasemia dan melakukan pendokumentasian menggunakan asuhan keperawatan dan kebidanan.

1.2.2.      Tujuan Khusus

Diharapkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Bidan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga mampu menjelaskan mengenai kasus thalasemia yang meliputi Definisi, Klasifikasi, Epidemiologi, Etiologi, Patogenesis, Gambaran Klinis, Determinan, Pencegahan.

 

1.3  Manfaat

1.3.1      1.3.1      Manfaat Bagi Penulis

 Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama pendidikan.

1.3.2        Manfaat Bagi Klien

Klien mendapatkan asuhan kebidanan dan keperawatan yang berkualitas.

 

1.4  Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam proses penyusunan laporan ini adalah:

1.4.1.      Metode pendekatan deskriftif yaitu metode yang sifatnya menggunakan peristiwa dan gejala yang terjadi.

1.4.2.      Teknik pengumpulan data dan pengidentifikasian data melalui observasi, wawancara, pemeriksaan fisik, studi dokumen dan studi kepustakaan.

1.4.3.      Sumber data primer dari klien dan data sekunder dari keluarga dan petugas kesehatan.

 

1.5    Pelaksanaan

Praktek profesi ini dilaksanakan mulai tanggal 04 – 15 Maret 2019 di Poli Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya.





BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1    Konsep Thalasemia

2.1.1   Definisi

Thalassemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya rantai globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi terbanyak di dunia. Manifestasi klinis yang ditimbulkan bervariasi mulai dari asimtomatik hingga gejala yang berat. Thalassemia dikenal juga dengan anemia mediterania, namun istilah tersebut dinilai kurang tepat karena penyakit ini dapat ditemukan dimana saja di dunia khususnya di beberapa wilayah yang dikenal sebagai sabuk thalassemia (Menkes RI, 2018).

Penyakit thalasemia diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Menkes RI, 2018).

Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) (Old, 2013). Penderita Thalasemia tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah merahnya tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, penderita Thalasemia mengalami anemia sepanjang hidupnya (Atmakusumah et al, 2010).

2.1.2   Klasifikasi Thalasemia

Thalasemia dibedakan menjadi Thalasemia α jika menurunnya sintesis rantai alfa globin dan Thalasemia β bila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin (Menkes RI, 2018). Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari kedua orang tua pembawa Thalasemia dan menunjukkan gejala klinis yang paling berat, keadaan ini disebut juga Thalasemia mayor.

1.    Thalassemia alfa

Terjadi akibat mutasi pada kromosom 16. Rantai globin alfa terbentuk sedikit atau tidak terbentuk sama sekali sehingga rantai globin yang ada membentuk HbBart (γ4) dan HbH (β4). Tetramer tersebut tidak stabil dan badan inklusi yang terbentuk mempercepat destruksi eritrosit. Thalasemia ini terdiri dari :

a.    Silent Carrier State

Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.

b.    Thalasemia Alfa Trait

Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.

c.    Hemoglobin H Disease

Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa (splinomegali).

d.   Thalasemia Alfa Mayor

Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada Thalasemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa Thalasemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

2.    Thalassemia beta

Terjadi akibat mutasi gen globin beta sehingga produksi rantai globin beta menjadi berkurang atau tidak terbentuk sama sekali. Rantai globin alfa yang terbentuk tidak semua dapat berikatan dengan rantai globin beta sehingga terjadi peningkatan HbF dan HbA2. Selain itu terbentuk pula rantai tetramer alfa yang tidak stabil yang mudah terurai. Rantai globin alfa bebas tersebut tidak larut, kemudian membentuk presipitat yang memicu lisis eritrosit di mikrosirkulasi (limpa) dan destruksi di sumsum tulang. Thalasemia beta terdiri dari:

a.    Thalasemia Beta Trait (Minor)

Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).

b.    Thalasemia Intermedia

Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.

c.    Thalasemia Mayor (Cooley’s Anemia)

Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita Thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita Thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.

2.1.3   Epidemiologi Talasemia

Sebaran talasemia terentang lebar dari Mediterania, Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara (Pignatti, 2014 dan Old, 2013). Saat ini talasemia didapatkan hampir di semua belahan dunia, akibat terjadinya migrasi populasi hingga ke Eropa, Amerika dan Australia (Old, 2013). Talasemia α ditemukan di Asia Timur, Asia Tenggara, Cyprus, Yunani, Turki dan Sardinia. Sedangkan talasemia β banyak ditemukan di Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan dan Cina (Rund, 2005). Di Cyprus dan Yunani lebih banyak varian β+ sedangkan di Asia Tenggara lebih banyak varian βo. Talasemia α sering dijumpai di Asia Tenggara, lebih sering daripada talasemia β. Dari hasil survei lokal dan kunjungan wawancara para ahli, WHO memperkirakan jumlah pembawa sifat kelainan hemoglobin mencapai 269 juta orang. Sekitar 3% populasi dunia (150 juta orang) membawa gen talasemia β (Pignatti, 2014). Di Indonesia kasus talasemia disebabkan oleh adanya migrasi penduduk dan percampuran penduduk.Keseluruhan populasi ini tersebar di Kalimantan, Sulawesi, pulau Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores. Di Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar 3-5% dari jumlah populasi.

Di beberapa daerah di Indonesia mencapai 10% sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-36% (Atmakusumah et al, 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional talasemia adalah 0,1%, dengan 8 propinsi yang menunjukkan prevalensi di atas prevalensi nasional yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (1,34%), DKI Jakara (1,23%), Sumatera Selatan (0,54%), Gorontalo (0,31%), Kep. Riau (0,3%), Nusa Tenggara Barat (0,26%), Papua Barat (0,22%) dan Maluku (0,19%). Prevalensi terendah terdapat di Provinsi Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,01%. Di Bali prevalensi talasemia didapatkan 0,04% (Riskesdas, 2007).

2.1.4   Etiologi

Talasemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif dimana semua perubahan genetik yang terjadi diturunkan dari ibu maupun ayah. Talasemia terjadi bila sintesis salah satu rantai polipeptida menurun (Atmakusumah, 2009). Sebagian besar kelainan hemoglobin dan jenis talasemia merupakan hasil kelainan mutasi pada gamet yang terjadi pada replikasi DNA. Pada replikasi DNA dapat terjadi pergantian urutan asam basa dalam DNA dan perubahan kode genetik akan diteruskan pada penurunan gen berikutnya. Mutasi ini dapat memperpendek rantai asam amino maupun memperpanjangnya. Kelainan mutasi dapat pula terjadi pada kesalahan berpasangan kromosom pada proses meiosis yang mengakibatkan perubahan susunan material genetik. Bila terjadi crossing over pada kesalahan berpasangan itu, sebagai hasil akhir peristiwa tadi akan terjadi apa yang disebut duplikasi, delesi, translokasi dan inversi (Old, 2013).

Mutasi gen pada talasemia β dibagi menjadi bentuk (Atmakusumah, 2009):

1.    Delesi, sedikitnya 17 delesi berbeda ditemukan pada talasemia β. Yang sering ditemukan adalah delesi 619 bp pada ujung akhir 3’ gen globin β, pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Bentuk homozigot delesi ini menyebabkan talasemia β° sedangkan heterozigotnya menimbulkan peningkatan HbA2 dan HbF.

2.    Non delesi, terjadi transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik:

a.    Region promote

b.    Mutasi transkripsional pada lokasi CAP

c.    Mutasi prosesing RNA :intron-exon boundaries, polyadenilation signal, splice site consesnsus sequences, cryptic sites in exons, cryptic sites in introns.

d.   Mutasi yangmenyebabkan translasi abnormal RNA messenger: inisiasi, nonsense dan mutasi frameshift.

3.    Bentuk mutasi lain seperti talasemia β yang diwariskan dominan, varian globin β tidak stabil, talasemia β tersembunyi, mutasi talasemia yang tidak terkait kluster gen globin β dan bentuk variasi talasemia β.

Sedangkan pada talasemia α, mutasi gen yang terjadi berbentuk (Atmakusumah, 2009):

1.    Delesi, mencakup satu gen (-α) atau kedua (--) gen globin α. Pada talasemia -α°, terdapat 14 delesi yang mengenai gen α, sehingga produksi rantai α hilang sama sekali dari kromosom abnormal. Bentuk umum –α+ yang paling umum (-α3,7 dan -α4,2) mencakup delesi satu atau duplikasi gen globin α lainnya.

2.    Non delesi, kedua haplotip gen α utuh (αα).ekspresi gen –α2 lebih kuat 2-3 kali dari ekspresi gen –α1 sehingga sebagian besar mutasi non delesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen-α2.

2.1.5   Patogenesis Thalasemia

1.    Thalasemia alfa

Alfa globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang disebut hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke sel dan jaringan di seluruh tubuh. Hemoglobin terdiri dari 4 komponen alfa globin dan 2 komponen beta globin.

HBA1 (Hemoglobin, α-1) adalah gen yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut alfa globin. Protein ini juga diproduksi dari gen yang hampir identik yang disebut HBA2 (Hemoglobin, α-2). Kedua gen alfa globin terletak dalam sebuah kromosom 16 yang dikenal sebagai lokus alfa globin.

Pada manusia normal terdapat 4 copy gen alfa globin. Sedangkan pada penderita Thalasemia, terjadi mutasi pada gen alfa globin. Apabila terjadi mutasi pada 1 gen α, maka tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang tersebut membawa sifat Thalasemia atau disebut carrier (trait) Thalasemia. Apabila terjadi mutasi pada 2 gen α, maka akan menderita Thalasemia ringan yang tidak menunjukkan gejala berat.

Sedangkan mutasi yang terjadi pada 3 gen α akan menyebabkan penderita mengalami anemia berat, yang disebut juga Hemoglobin H Disease. Mutasi yang terjadi pada 4 gen α akan berakibat fatal pada bayi karena alfa globin tidak dihasilkan sama sekali.

2.    Thalasemia beta

Beta Globin adalah sebuah komponen dari protein yang lebih besar yang disebut hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Gen HBB (Hemoglobin Beta) yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut beta globin. Lebih dari 250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan menyebabkan Thalasemia beta. Tanpa beta globin, hemoglobin tidak dapat terbentuk dan akan mengganggu perkembangan sel-sel darah merah. Kekurangan sel darah merah akan menghambat oksigen yang akan dibawa dan membuat tubuh kekurangan oksigen.

Pada manusia normal terdapat 2 copy gen beta globin yang terdapat pada kromosom 11. Dan mutasi yang terjadi pada gen beta globin akan menyebabkan Thalasemia. Jika seseorang hanya memiliki 1 gen beta globin yang normal dan 1 gen beta globin sudah termutasi, maka orang tersebut carrier Thalasemia (trait).

2.1.6   Gambaran Klinis Thalasemia

Menurut Menkes RI (2018), tanda dan gejala dari penyakit Thalasemia disebabkan oleh kekurangan oksigen di dalam aliran darah. Hal ini terjadi karena tubuh tidak cukup membuat sel-sel darah merah dan hemoglobin. Thalasemia alfa silent carrier umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala. Hal ini terjadi karena kekurangan protein alfa globin tidak terlalu banyak sehingga hemoglobin dalam darah masih dapat bekerja dengan normal. Penderita Thalasemia alfa atau beta dapat mengalami anemia ringan. Anemia ringan dapat membuat penderita merasa lelah dan hal ini sering disalah artikan menjadi anemia kekurangan zat besi.

Penderita beta Thalasemia intermedia dapat mengalami anemia ringan sampai dengan sedang. Selain itu juga dapat diikuti dengan masalah kesehatan lainnya, seperti:

1.    Menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak

2.    Masalah tulang, Thalasemia dapat menyebabkan sumsum tulang tidak berkembang. Hal ini menyebabkan luas tulang melebihi normal dan tulang menjadi rapuh.

3.    Pembesaran limpa.

4.    Osteoporosis, banyak penderita Thalasemia yang memiliki masalah tulang, salah satunya adalah osteoporosis. Osteoporosis adalah suatu kondisi dimana tulang menjadi sangat rapuh dan mudah patah.

Penderita  hemoglobin  H  disease  dapat  mengalami  anemia  dengan  tingkat yang berat. Tanda dan gejala akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Penderita akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan serius lainnya, seperti:

1.    Pucat dan lesu

2.    Nafsu makan menurun

3.    Urin lebih pekat

4.    Pertumbuhan dan perkembangan terhambat

5.    Kulit berwarna kekuningan

6.    Pembesaran hati dan limpa

7.    Masalah tulang (terutama tulang wajah)

2.1.7   Determinan Thalasemia

1.      Genetik

Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen alfa globin dan gen beta globin yang terletak pada kromosom 16 dan kromosom 11. Pada manusia, kromosom selalu ditemukan berpasangan. Kelainan sebelah gen globin disebut carrier Thalasemia. Seorang carrier Thalasemia tampak sehat, sebab masih ada sebelah gen globin yang normal dan dapat berfungsi dengan baik. Seorang carrier Thalasemia biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom disebut Thalasemia mayor (homozigot). Kedua belah gen yang mengalami kelainan berasal dari kedua orang tua yang masing-masing carrier Thalasemia.

Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing carrier Thalasemia, maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, anak mendapatkan gen globin yang berubah (gen Thalasemia) dari ayah dan ibunya, sehingga anak akan menderita Thalasemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen Thalasemia dari ibu atau ayahnya, maka anak akan menjadi carrier Thalasemia. Kemungkinan lainnya adalah anak mendapatkan gen globin normal dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut tidak menderita Thalasemia ataupun membawa sifat Thalasemia.

2.      Umur

Thalasemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier Thalasemia. Anak-anak dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan mengalami anemia pada usia 3 – 18 bulan. Penderita memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya. Apabila penderita Thalasemia mayor tidak dirawat, maka hidup mereka biasanya hanya bertahan antara 1 – 8 tahun.

Pada Thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah terlihat sejak anak berusia dibawah 1 tahun. Sedangkan pada Thalasemia minor yang gejalanya ringan, biasanya datang berobat pada usia 4 – 6 tahun.

2.1.8   Pencegahan Thalasemia

Transfusi darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup sering menimbulkan rasa jenuh, bosan berobat, belum lagi adanya perubahan fisik, merasa berbeda dengan saudara atau teman-temannya akan menyebabkan rasa inferior diri. Mereka sering putus sekolah dan tidak mendapatkan pekerjaan sehingga menimbulkan efek psikososial yang sangat berat.

Menurut Menkes RI (2018), penyakit thalassemia memang belum dapat disembuhkan, namun merupakan penyakit yang dapat dicegah, yaitu dengan melakukan skrining pre dan retrospektif. Sayangnya skrining ini belum menjadi prioritas pemerintah. Dengan melakukan skrining, akan banyak biaya yang dapat dihemat pada 10-20 tahun mendatang dan bisa dipakai di bidang lainnya.

1.      Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah mencegah seseorang agar tidak menderita Thalasemia ataupun menjadi carrier Thalasemia. Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah konseling genetik pranikah. Konseling ini ditujukan kepada pasangan pranikah terutama pada populasi yang berisiko tinggi agar mereka memeriksakan diri apakah mereka carrier Thalasemia atau tidak (Kilpatrick, 2014). Konseling ini juga ditujukan kepada mereka yang memiliki kerabat penderita Thalasemia.

Tujuan utama konseling pranikah ini adalah mencegah terjadinya pernikahan antar carrier Thalasemia karena berpeluang 50% untuk mendapat keturunan carrier Thalasemia, 25% Thalasemia mayor, dan 25% bebas Thalasemia.

2.      Pencegahan Sekunder

a.       Diagnosis

Thalassemia yang bergantung pada transfusi adalah pasien yang membutuhkan transfusi secara teratur seumur hidup. Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia umumnya sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.

1)      Anamnesis

a)    Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan, pada thalassemia β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia yang lebih tua.

b)   Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor memerlukan transfusi berkala.

c)    Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.

d)   Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.

e)    Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Thalassemia paling banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar 8%.

f)    Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.

2)      Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita Thalasemia berupa pucat, bentuk muka mongoloid, dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, dan splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar. Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.

3)      Pemeriksaan Laboratorium

a)      Darah Perifer Lengkap (DPL)

(1)   Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.

(2)   Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan kemungkinan thalassemia trait dan hemoglobinopati.

(3)   Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan high Persisten fetal hemoglobine (HPFH)13,

(4)   Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.

(5)   Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage changes).

b)      Gambaran Darah Tepi

(1)   Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan tear-drop), mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan diseritropoiesis).

(2)   Total hitung dan neutrofil meningkat.

(3)   Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia, neutropenia, dan trombositopenia.

c)      Red Cell Distribution Width (RDW)

RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi memiliki RDW yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada thalassemia mayor. Thalassemia trait memiliki eritrosit mikrositik yang uniform sehingga tidak/hanya sedikit ditandai dengan peningkatan RDW. Thalassemia mayor dan intermedia menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi nilainya.

d)     Retikulosit

Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien thalassemia memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan pada anemia defisiensi besi akan diperoleh hasil yang rendah.

e)      High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

(1) Sebagai alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi dan menghitung varian hemoglobin secara presumtif. Pemeriksaan alternatif dapat dilakukan jika varian hemoglobin yang terdeteksi pada HPLC relevan dengan klinis pasien.

(2) HbF dominan (>90%) pada hampir semua kasus thalassemia β berat, kecuali pasien telah menerima transfusi darah dalam jumlah besar sesaat sebelum pemeriksaan. HbA tidak terdeteksi sama sekali pada thalassemia β0 homozigot, sedangkan HbA masih terdeteksi sedikit pada thalassemia β+. Peningkatan HbA2 dapat memandu diagnosis thalassemia β trait.

Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi. HbA2 3,6-4,2% pada thalassemia β+ ringan. HbA2 4-9% pada thalassemia heterozigot β0 dan β+ berat. HbA2 lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika hemoglobin yang dominan adalah HbF dan HbE, maka sesuai dengan diagnosis thalassemia β/HbE.

(3) HbA2 normal tidak langsung menyingkirkan diagnosis thalassemia. 1) HbA2 dapat menjadi lebih rendah dari kadar sebenarnya akibat kondisi defisiensi besi, sehingga diperlukan terapi defisiensi besi sebelum melakukan HPLC ulang untuk menilai kuantitas subtipe Hb.

(4) Feritin serum rendah merupakan petunjuk adanya defisiensi besi, namun tidak menyingkirkan kemungkinan thalassemia trait. Bila defisiensi besi telah disingkirkan, nilai HbA2 normal, namun indeks eritrosit masih sesuai dengan thalassemia, maka dapat dicurigai kemungkinan thalassemia α, atau koeksistensi thalassemia β dan δ.

f)       ELEKTROFORESIS HEMOGLOBIN

Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis cellose acetat membrane), HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom), HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis.

g)      ANALISIS DNA

Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular thalassemia, yang dilakukan pada kasus atau kondisi tertentu:

(1)   Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan pemeriksaan hematologi:

(a)    Diagnosis thalassemia β mayor yang telah banyak menerima transfusi. Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan thalassemia β heterozigot (pembawa sifat thalassemia beta) pada kedua orangtua.

(b)   Identifikasi karier dari thalassemia β silent, thalassemia β dengan HbA2 normal, thalassemia α0, dan beberapa thalassemia α+.

(c)    Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.

(2)  Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal.

b.      Skrining

Skrining merupakan pemantauan perjalanan penyakit dan pemantauan hasil terapi yang lebih akurat. Pemeriksaan ini meliputi Hematologi rutin untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel darah, gambaran darah tepi untuk melihat bentuk, warna, dan kematangan sel-sel darah, feritin dan iron serum (SI) untuk melihat status besi, analisis hemoglobin untuk diagnosis dan menentukan jenis Thalasemia, serta analisis DNA untuk diagnosis prenatal (pada janin) dan penelitian.

3.      Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi bagi penderita Thalasemia. Pencegahan tersier bagi penderita Thalasemia adalah dengan mendirikan pusat rehabilitasi medis bagi penderita Thalasemia. Saat ini telah berdiri Yayasan Penderita Thalasemia Indonesia di Jakarta. Yayasan ini bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi penderita Thalasemia yang kurang mampu. Selain itu, yayasan ini juga menjadi wadah untuk bertukar informasi, fikiran dan pengalaman dalam mengatasi masalah kesehatan dan psikologis pada penderita Thalasemia. 

2.1.9   Alur Diagnosis Thalasemia



* Bila sudah transfusi, dapat dilakukan pemeriksaan DPL dan dilanjutkan pemeriksaan analisis Hb kedua orangtua.

** Pemeriksaan DNA dilakukan apabila telah transfusi darah berulang, hasil skrining orangtua sesuai dengan pembawa sifat thalassemia, hasil pemeriksaan esensial tidak khas (curiga ke arah thalassemia α delesi 1 gen atau mutasi titik).

Sumber : Perhimpunan Hematologi dan Transfusi darah Indonesia (PHTDI)

2.1.10    Tatalaksana

1.      Transfusi Darah

Indikasi Transfusi Darah :

Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap pasien. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x pemeriksaan dengan selang waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau deformitas tulang akibat thalassemia.

Keluarga atau pasien diinformasikan mengenai kegunaan dan risiko transfusi, kemudian menandatangani persetujuan (informed consent) sebelum transfusi dimulai. Identifikasi pasien dan kantong darah perlu dilakukan pada setiap prosedur pemberian transfusi darah sebagai bagian dari upaya patient safety.

Jenis produk darah yang digunakan : Produk darah yang digunakan hendaknya PRC rendah leukosit (leukodepleted) yang telah menjalani uji skrining NAT dan menggunakan produk darah yang telah dicocokkan dengan darah pasien (Level of Evidence IIa)

Cara pemberian transfusi darah :

a.    Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila kadar Hb pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang ditransfusikan berkisar 10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan 5 mL/kg/jam.

b.    Target pra kadar Hb post-transfusi tidak melebihi dari 14-15 g/dL, sedangkan kadar Hb pratransfusi berikutnya diharapkan tidak kurang dari 9,5 mg/dL. Nilai Hb pretransfusi antara 9-10 g/dL dapat mencegah terjadinya hemopoesis ekstramedular, menekan konsumsi darah berlebih, dan mengurangi absorpsi besi dari saluran cerna.

c.    Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah yang ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan transfusi dikurangi hingga 2 mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan/overload.

d.   Darah yang diberikan adalah golongan darah donor yang sama (ABO, Rh) untuk meminimalkan alloimunisasi dan jika memungkinkan menggunakan darah leucodepleted yang telah menjalani uji skrining nucleic acid testing (NAT) untuk menghindari/meminimalkan tertularnya penyakit infeksi lewat transfusi.

e.    Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus ditransfusikan dalam waktu 30 menit sejak keluar dari bank darah. Lama waktu sejak darah dikeluarkan dari bank darah hingga selesai ditransfusikan ke tubuh pasien maksimal dalam 4 jam. Transfusi darah dapat dilakukan lebih cepat (durasi 2-3 jam) pada pasien dengan kadar Hb > 6 gr/dL.

f.     Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL. Diuretik furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/kg pada pasien dengan masalah gangguan fungsi jantung atau bila terdapat klinis gagal jantung. Pasien dengan masalah jantung, kadar Hb pratransfusi dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian transfusi diberikan dalam jumlah kecil tiap satu hingga dua minggu.

g.    Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi anemia berat interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi 8-12 jam.

h.    Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb dicatat, begitu pula dengan volume darah yang sudah ditransfusikan. Data ini dievaluasi berkala untuk menentukan kebutuhan transfusi pasien. Pasien tanpa hipersplenisme kebutuhan transfusi berada di bawah 200 mL PRC/kg per tahun. Prosedur transfusi mengikuti/sesuai dengan panduan klinis dan laboratoris masing-masing senter. Pada saat transfusi diperhatikan reaksi transfusi yang timbul dan kemungkinan terjadi reaksi hemolitik. Pemberian asetaminofen dan difenhidramin tidak terbukti mengurangi kemungkinan reaksi transfusi.

 

2.      Kelasi Besi

Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di berbagai sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi kelebihan besi dan menurunkan angka kematian pada pasien thalassemia. Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi dimulai setelah timbunan besi dalam tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa parameter seperti jumlah darah yang telah ditransfusikan, kadar feritin serum, saturasi transferin, dan kadar besi hati/ liver iron concentration – LIC (biopsi, MRI, atau feritometer).

Kelasi besi diberikan bila kadar ferritin serum ≥ 1000 mg/mL atau saturasi transferin ≥ 70% atau bila data lab tidak tersedia, maka digunakan estimasi pasien telah mendapatkan 3-5 liter atau 10-20 kali transfusi PRC.

3.      Nutrisi dan Suplementasi

Pasien thalassemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi besi. Semua pasien thalasemia harus mendapatkan nutrisi adekuat. Perlu dilakukan penilaian konsultasi gizi berkala sesuai dengan asuhan nutrisi pediatrik. Vitamin E 2x200 IU/hari dan Asam folat 2x1 mg/hari diberikan pada semua pasien thalasemia. Asam folat tidak diberikan pada pasien dengan kadar pretransfusi Hb ≥9 g/dL. Vitamin C 2-3 mg/kg/hari diberikan secara bersamaan pada saat pemberian desferoksamin.

4.      Splenektomi

Transfusi yang optimal sesuai panduan saat ini biasanya dapat menghindarkan pasien dari tindakan splenektomi, namun splenektomi dapat dipertimbangkan pada beberapa indikasi di bawah ini:

a.    Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC /kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).

b.    Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia atau trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit atau kondisi lain.

c.    Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup lama. Splenomegali masif yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma.

Klinisi perlu mencermati kemungkinan splenomegali yang disebabkan pemberian tranfusi darah yang tidak adekuat. Pada kondisi tersebut ukuran limpa dapat mengecil dengan transfusi darah adekuat dan kelasi besi yang intensif selama beberapa bulan kemudian dilakukan evaluasi ulang apakah tindakan splenektomi dapat dihindari. Mengingat risiko komplikasi splenektomi yang berat, maka splenektomi sedapat mungkin dihindari dan hanya dilakukan dengan indikasi yang kuat. Pasien yang terindikasi splenektomi sedapat mungkin menunda splenektomi hingga pasien berusia 5 tahun untuk mengurangi risiko terjadinya sepsis berat pasca tindakan.

5.      Transplantasi sumsum tulang

Hingga saat ini tata laksana kuratif pada thalassemia mayor hanya transplantasi sumsum tulang (hematopoietic stem cell transplantation / HSCT). Tiga faktor risiko mayor yang memengaruhi luaran dari transplantasi adalah pasien dengan terapi kelasi besi yang tidak adekuat, hepatomegali, dan fibrosis portal.

6.      Vaksinasi

Pasien thalassemia hendaknya mendapatkan vaksinasi secara optimal karena pasien thalassemia merupakan kelompok risiko tinggi akibat transfusi darah dan tindakan splenektomi. Status imunisasi perlu dievaluasi secara teratur dan segera dilengkapi. Vaksin pneumokokus diberikan sejak usia 2 bulan, kemudian di-booster pada usia 24 bulan. Booster kembali dilakukan tiap 5 hingga 10 tahun. Bila perlu dilakukan pemeriksaan kadar antibodi pneumokokus. Vaksinasi hepatitis B wajib dilakukan karena pasien mendapatkan transfusi rutin. Pemantauan dilakukan tiap tahun dengan memeriksakan status hepatitis. Pasien dengan HIV positif ataupun dalam pengobatan hepatitis C tidak diperkenankan mendapatkan vaksin hidup. Vaksin influenza diberikan tiap tahun. Status vaksinasi perlu diperhatikan lebih serius pada pasien yang hendak menjalani splenektomi. Vaksin merupakan upaya imunoprofilaksis untuk mencegah komplikasi pasca-splenektomi.

7.      Tumbuh Kembang anak dengan Thalasemia

Pemantauan tumbuh kembang dilakukan secara berkala sesuai usia anak, untuk anak usia kurang dari 1 tahun setiap bulan, anak balita setiap 3 bulan, anak usia sekolah dan remaja setiap 6 bulan. Instrumen umum yang dapat digunakan adalah Kuesioner Praskrining Perkembangan (KPSP) dan Denver-II. Pediatric Symptom Checklist (PSC) digunakan untuk mendeteksi masalah perilaku, sedangkan Pediatric Quality of Life InventoryTM (PedsQLTM) untuk menilai kualitas hidup anak.

2.1.11    Komplikasi Thalasemia

Komplikasi pada thalassemia dapat terjadi akibat penyakit dasarnya, akibat pengobatan, dan akibat terapi kelasi besi, sehingga pemantauan komplikasi yang terjadi perlu dilakukan terus-menerus. Komplikasi akibat penyakit dasar meliputi anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia, fraktur patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang menekan organ sekitarnya. Namun berdasarkan penelitian Safitri (2015) menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara kepatuhan transfusi dengan pertumbuhan anak dengan thalasemia, sehingga anak thalasemia dapat tumbuh secara normal bila melakukan transfusi sesuai jadwal karena anak thalasemia dapat tumbuh normal apabila kadar hemoglobin dipertahankan di atas 10-11 g/dl dan diikuti terapi kelasi besi yang memadai. Menurut penelitian Arytha (2014) yang melakukan penelitian menggunakan alat ukur IMT/U pada anak thalasemia dan mendapatkan bahwa pertumbuhan responden normal sebanyak 24 orang (75%). Anak thalasemia mayor dapat tumbuh normal jika kadar hemoglobin dipertahankan 8,5 g/dl selama 10 tahun pertama kehidupan (Made & Ketut, 2011).

Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi pada organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ endokrin (Dimiati & Lubis, 2014). Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi, khususnya hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi seperti kelebihan darah atau transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan gagal jantung, dan dapat terjadi reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan darah yang diberikan. Kelebihan besi yang telah terjadi dalam jaringan tubuh sangat sulit diatasi karena hanya sedikit kelator besi yang dapat mengikat kelebihan besi dalam jaringan dan memerlukan waktu yang lama untuk dapat mengembalikan kadar besi tubuh ke tingkat yang aman. Skrining komplikasi jantung pada thalasemia dimulai pada usia 10 tahun atau lebih dini jika terdapat gejala klinis (Dimiati & Lubis, 2014).


2.1.12    Pathway Thalasemia

 






 


 

 

2.2    Konsep Asuhan Keperawatan Thalasemia

1.   Identitas pasien

Angka kejadian dapat terjadi pada semua ras, berbagai golongan sosial ekonomi, karena di Indonesia kasus Thalasemia disebabkan oleha danya migrasi penduduk dan percampuran penduduk.

Usia            : thalasemia seringkali menunjukkan gejala pada anak usia 3-18 bulan (Wistiani, dkk, 2011)

Jenis Kelamin : talasemia β mayor diturunkan secara autosomal resesif sehingga laki-laki dan perempuan memiliki potensi sama untuk mendapatkan risiko diturunkan dari kedua orang tua yang pembawa sifat talasemia. Namun berdasarkan jurnal Putri et all (2015) dan penelitian di RS Dr. Kariadi Semarang yang dilakukan oleh Dewi Ratih (2010) menghasilkan kelompok jenis kelamin perempuan penderita thalasemia beta lebih banyak daripada laki-laki.

2.   Riwayat kesehatan.

·         Keluhan Utama: Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan, gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran hati dan limpa. Umumnya, keluhan ini muncul pada usia 6 bulan. Karena thalasemia merupakan penyakit gangguan hemoglobin sehingga tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal.

·         Riwayat Kesehatan Sekarang: Klien masuk rumah sakit dengan keadaan anemia, sering mengeluh mudah lelah, lemas, terlihat pucat, merasa pusing. Sering kali diikuti dengan masalah kesehatan lainnya seperti keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan anak, masalah tulang, pembesaran limpa.

·         Riwayat kesehatan dahulu. Klien memiliki riwayat anemia berulang.

·         Riwayat kesehatan keluarga. Ayah maupun ibu klien merupakan carrier thalasemia. Saudara kandung ada yang menderita thalasemia.

·         Riwayat ibu saat hamil: pada proses pembuahan anak hanya mendapat sebelah gen globin dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orangtua carrier thalasemia, kemungkinan anak akan menderita thalasemia, menjadi carrier, atau tidak menderita thalasemia. Pada kehamilan dapat dilakukan analisis DNA pada janin untuk mendiagnosis.

·         Pola fungsional kesehatan:

-       Nutrisi : anak yang menderita thalasemia mengalami nafsu makan yang menurun. Penelitian Putri (2015) juga menghasilkan  gambaran status gizi berdasarkan indeks berat badan per umur dan berdasarkan indeks lingkar lengan atas per umur pada anak talasemia β mayor di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang menunjukkan lebih banyak gizi kurang.

-       Aktivitas : anak yang menderita thalasemia terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur / istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.

3.   Pemeriksaan fisik.

1.      Pemeriksaan Umum.

Keadaan umum : Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah anak seusianya yang normal.

BB : dipakai sebagai indikator dalam mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang.

TB : sebagai perbandingan terhadap perubahan relativ, seperti nilai berat badan dan lingkar lengan atas.

2.      Head to toe.

a)      Kepala dan bentuk muka : Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar. Tampak wajah yang pucat.

b)      Mata : konjungtiva menunjukkan tanda anemis, dapat ditemukan ikterus.

c)      Mulut dan bibir terlihat pucat.

d)     Dada : Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.

e)      Abdomen: Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan hati (hepatosplemagali). Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

f)       Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas : Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia kronik.

g)      Kulit : Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).

h)      Ekstermitas: Dapat ditemukan akral hangat/dingin, pucat, basah/kering.

3.      Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk menganalisa Hb.

4.   Diagnosa keperawatan

1)      Kecemasan berhubungan dengan hasil pemeriksaan Hb dibawah batas normal.

2)      Risiko jatuh berhubungan dengan rendahnya kadar Hb yang menyebabkan pusing.

3)      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya suplai O2/ Na ke jaringan yang ditandai dengan klien mengeluh lemas dan mudah lelah ketika beraktifitas.

4)      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologis (anemia) yang ditandai dengan kulit bersisik kehitaman padabeberapa tempat.

5)      Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hemokromatesis.

6)      Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan hipoksia jaringan.

7)      Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan menurunnya imunitas.

5.   Intervensi

DX 1   : Kecemasan berhubungan dengan hasil pemeriksaan Hb dibawah batas normal.

Data Subjektif: keluarga merasa cemas dengan keadaan anaknya terkait hasil pemeriksaan Hb yang berada dibawah batas normal sehingga butuh transfusi darah. Klien sering menanyakan apakah keadaan tersebut bisa disembuhkan atau tidak.

Data Obyektif:  Keluarga tampak gelisah, sering bertanya tentang keadaan dan prognosis anaknya.

Tujuan NOC: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan kecemasan berkurang.

Kriteria Hasil :

·    Keluarga mau menerima keadaan anaknya yang dialami sekarang

·    Keluarga kooperatif terhadap kestabilan kondisi anaknya sehingga melakukan kontrol secara rutin.

·    Keluarga nampak tenang dan mau bekerja sama dalam perawatan dan penatalaksanaan tindakan.

Intervensi NIC:

1.      Bina hubungan kepercayaan antara perawat-keluarga-dokter dalam pengumpulan data/pengkajian dan penatalaksanaan.

Rasa percaya yang terbina antara perawat dan klien, klien dan dokter, merupakan modal dasar komunikasi efektif dalam pengumpulan data, menemukan masalah dan alternatif pemecahan masalah.

2.      Diskusikan dan informasikan dengan jelas sesuai tingkat pengetahuan dan pengalaman keluarga : gambaran klinis pada klien thalasemia menunjukkan pemeriksaan laboratorium dengan Hb rendah, sehingga perlu melakukan transfusi darah.

Diskusi merupakan metode efektif untuk menyampaikan informasi untuk diterima dan dipertimbangkan oleh keluarga, sehingga informasi mendapat tanggapan dan kooperatif serta partisipatif yang berkesinambungan. Penjelasan yang diterima cenderung memberikan jalan pikiran terbuka, sehingga mau menerima keadaan anaknya dan sedikit menekan stress.

3.        Beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya dan mengungkapkan perasaan cemasnya.

Asertivitas dalam menghadapi sesuatu dengan segala perasaan dan kepuasan akan mendorong atau memberi semangat untuk melakukan pemeriksaan rutin terhadap anaknya sampai dalam keadaan stabil.

 

DX II Risiko jatuh berhubungan dengan rendahnya kadar Hb yang menyebabkan pusing.

Data Subjektif : Keluarga mengatakan anaknya sering terlihat murung, tingkat aktivitas berkurang, mengeluh pusing. Semua/sebagian kebutuhan dan perawatan anak sehari-hari dibantu oleh keluarga, tingkat kemampuan dalam aktivitas sehari-hari masih minimal daripada anak normal yang seusianya.

Data Objektif : wajah tampak pucat, konjungtiva anemis, hasil pemeriksaan penunjang laboratorium menunkukkan kadar Hb yang rendah.

Tujuan NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan  diharapkan klien memiliki nilai risiko jatuh yang rendah, aktivitas fisik dalam batas optimal.

Kriteria Hasil :

·         Hasil pemeriksaan Hb dalam batas normal berdasarkan indikator penderita thalasemia

·         Keluhan pusing dapat berkurang

·         Risiko jatuh klien memiliki nilai yang rendah

·         Klien mampu melakukan aktivitas secara optimal

Intervensi NIC:

1.    Kolaborasi dengan dokter Sp.A terkait terapi oral yang diberikan untuk klien

2.    Kolaborasi dengan dokter Sp.A terkait kebutuhan transfusi yang diberikan untuk klien

3.    Optimalisasi pola istirahat anak

4.    Dorong anak untuk melakukan aktivitas perawatan diri.

 

DX III hemodinamik Intoleransi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya suplai O2/ Na ke jaringan.

Tujuan NOC : mentoleransi aktifitas yang biasa dilakukan dan ditunjukkan dengan daya tahan.

Intervensi NIC :

1)      Pantau respon kardiorespiratori pasien (misalnya, takikardia, dipsnea, diaforesis, pucat, tekanan dan frekuensi respirasi).

2)      Batasi rangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan) untuk memfasilitasi relaksasi.

3)      Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang teknik perawatan diri yang akan meminimalkan konsumsi oksigen.

4)      Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi.

 

DX IV Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologis (anemia) yang ditandai dengan kulit bersisik kehitaman padabeberapa tempat.

Tujuan NOC : menunjukkan integritas jaringan yang baik.

Intervensi NIC :

 

1)   Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, tanda-tanda dehisensi, atau eviserasi pada daerah insisi.

2)   Lakukan pemijatan disekitar luka untuk merangang sirkulasi.

3)   Ajarkan keluarga tentang tanda kerusakan kulit.

4)    Gunakan TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation) untuk peningkatan penyembuhan luka.

 

DX V Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hemokromatesis.

Tujuan NOC : menunjukkan pola pernapasan efektif.

Intervensi NIC :

1)   Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi.

2)   Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan.

3)   Informasikan kepada keluarga bahwa tidak boleh merokok diruangan.

4)   Rujuk kepada ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan fungsi ventilator mekanis

 

DX VI Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan hipoksia jaringan.

Tujuan NOC : mengoptimalkan tumbuh kembang pada anak

Intervensi NIC :

1)      Beri diet tinggi nutrisi yang seimbang

2)      Pantau tingga dan berat badan gambarkan pada grafik pertumbuhan

3)      Dorong aktivitas yang sesuai dengan usia klien

4)      Konsultasikan dengan ahli gizi.

 

DX VII Resiko terhadap infeksi berhubungna dengan menurunnya imunitas.

Tujuan NOC : faktor resiko infeksi akan hilang dengan dibuktikan oleh keadekuatan status imun pasien.

Intervensi NIC :

1)      Pantau tanda/gejala infeksi

 

2)      Lakukan pemberian transfusi darah.

 

3)        Ajarka kepada keluarga tanda/gejala infeksi dan kapan harus melaporkan kepusat kesehata.

4)        Konsultasikan kepada dokter tentang pemberian transfusi darah.

6.   Implementasi

Melaksanakan rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah sebelumnya, yakni perencanaan asuhan yang menyeluruh dengan menyesuaikan kondisi anak, hal ini dikarenakan adanya keberagaman kebutuhan dan kondisi masing-masing anak.

7.   Evaluasi

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan asuhan yang diberikan kepada pasien, mengacu pada beberapa pertimbangan sebagai berikut :

a.         Tujuan asuhan keperawatan, yaitu integritas jaringan baik, pola pernapasan efektif, tumbuh kembang pada anak optimal, keadekuatan status imun pasien.

b.        Efektivitas tindakan untuk mengatasi masalah yakni seberapa efektif dalam pemenuhan kebutuhan bantuan

c.         Hasil asuhan, bentuk nyata  perubahan kondisi, respon pasien dan keluarga

Selanjutnya pendokumentasian dituliskan dalam bentuk SOAP yakni :

S (Subjektif) : data dari pasien (ri wayat, biodata)

O (Objektif) : hasil pemeriksaan umum, fisik, maupun penunjang.

A (Analisis) : kesimpulan dari data subjektif dan objektif berupa diagnosis, masalah, dan diagnosa dan masalah potensial jika terdapat data-data yang mendukung.

P (Penatalaksanaan) : pelaksanaan dari perencanaan asuhan kebidanan patologi dengan kolaborasi.

 

 

 

BAB 3

TINJAUAN KASUS

Pengkajian

Hari/Tanggal   : Selasa / 05 – 03 – 2019

Pukul               : 09.00 WIB

Tempat            : Poli Hematologi Anak RSUD XXX

Oleh                : Rina Septi Andriani

No Register     : 12.x4.x7.03

 

Data Subjektif

1.      Identitas 

Identitas Anak

Nama                   : An. N

Tanggal lahir        : 18 – 06 – 2009          

Jenis kelamin       : Perempuan

Umur                   : 9 tahun 8 bulan 15 hari

Identitas Orang tua

Nama Ibu        : Ny S                                       Nama Ayah     : Tn T

Umur               : 31 tahun                                  Umur               : 35 tahun

Agama            : Islam                                       Agama            : Islam

Suku                : Jawa                                        Suku              : Jawa

Pendidikan      : SMP                                        Pendidikan      : SMA

Pekerjaan        : Tidak bekerja                          Pekerjaan        : Swasta

Alamat            : Sidoarjo

2.      Keluhan utama

Pusing dan ingin melakukan transfusi darah

3.      Alasan datang

Hasil lab menunjukkan hemoglobin 8,41 gr/dL (normal 12 – 14 gr/dL)

4.      Riwayat saat Bayi

-          Masa pre-natal : ibu rutin memeriksa kehamilan, tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan, dan tidak memiliki kebiasaan yang membahayakan kehamilan.

-          Masa intranatal : lahir spontan pervaginam belakang kepala di Bidan, BBL 3200 gram, PBL 50 cm, menangis spontan. Tidak ada masalah pada bayi saat proses persalinan.

-          Masa postnatal : tidak pernah dirawat di ruang bayi. Diberikan ASI sampai usia 2 tahun dan mulai diberi makanan pendamping ASI usia 6 bulan. Setelah 2 tahun diberi susu formula sampai sekarang

5.      Riwayat Imunisasi

Anak sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap

HB0                     : Sudah

DPT Combo         : 1,2,3

Polio                     : 1,2,3,4

Campak    : Sudah

MR           : Sudah

6.      Riwayat kesehatan

a.       Riwayat penyakit sekarang

Pertama kali diketahui menderita thalasemia pada tahun 2014 saat anak berusia 5 tahun, tanda dan gejala yang dialami keadaan umum tampak sakit, mata tampak ikterus, wajah dan kulit tampak pucat, serta terjadi pembesaran perut karena limpa dan hati membesar. Kemudian anak dirawat di RS Sidoarjo selama 1 minggu dengan kadar Hb 6 gr/dL, golongan darah A (+) dan dilakukan transfusi darah biasa 2 kantong, Hb naik menjadi 11 gr/dL, tidak ada reaksi alergi selama transfusi darah. Tetapi keluarga masih belum mengetahui penyakit apa yang diderita anak. Kemudian anak dirujuk ke RS Dr. Soetomo dan anak di diagnosis thalasemia beta. Kemudian anak diberikan terapi obat asam folat dan ferriprox dan dianjurkan untuk kembali 1 bulan kemudian untuk melakukan transfusi darah rutin. Hb An. N sempat kembali 6gr/dL pada bulan desember 2018 namun menolak untuk MRS.

b.      Riwayat penyakit dahulu

Anak tidak pernah dirawat di RS sebelumnya karena penyakit lain.

c.       Riwayat penyakit keluarga

Anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa.

7.      Riwayat psikososial

Merupakan anak ke-dua, tinggal bersama ayah, ibu, dan kakak perempuan (17 tahun). Tidak ada hewan peliharaan di sekitar rumah. Tidak ada keluarga yang memiliki kebiasaan merokok. Tidak ada kebiasaan atau budaya yang berpengaruh terhadap penyakit yang diderita anak saat ini. Orang tua sudah menerima kondisi anaknya saat ini.

8.      Pola Fungsional Kesehatan

a.       Nutrisi       : Anak biasanya makan 2-3 kali porsi sedang dengan menu cukup karbohidrat, protein, serat dan mineral. Anak memiliki pantangan terhadap makanan yang mengandung zat besi tinggi seperti bayam, daging, telor.

b.      Eliminasi   : BAK ± 5 kali/hari warna cokelat kemerahan jernih dan BAB 1x sehari tidak ada keluhan.

c.       Istirahat     : lebih sering istirahat karena mudah lelah, tidur sekitar 8 – 9 jam/hari tiap malam dan tidur siang sekitar 1-2 jam.

d.      Aktivitas   : dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa gangguan.

 

Data Objektif

  1.      Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum   : cukup

Kesadaran                        : composmentis

Berat Badan         : 26 kg

Tinggi badan        : 130 cm

Tanda Vital          : TD 100/60 mmHg, Nadi: 92 x/menit, pernafasan: 22 x/menit, suhu 36,2°C, SpO 98%

  2.      Pemeriksaan fisik

-         Kepala           : tidak ada benjolan

-         Wajah : pucat, tidak sianosis; sklera putih, konjungtiva anemis; bibir kering, pucat; tidak ada pernapasan cuping hidung

-         Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe

-         Dada  : simetris, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada suara napas tambahan, bunyi jantung vesikuler.

-         Abdomen       : supel, tidak teraba massa abnormal, bising usus (+), tidak terdapat pembesaran hepar, tidak terdapat pembesaran limpa

-         Ekstremitas    : tidak ada oedem, akral hangat, basah, pucat.

  3.      Pemeriksaan penunjang

Tanggal 04 Maret 2019, di RS Dr. Soetomo

-       Hemoglobin     : 8,41 gr/dL

-       Ferritin             : 1.700 mcg/L

                            

Analisis Data

Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

DS:

Ibu mengatakan anaknya sering pusing dan terlihat lemah.

DO:

Wajah pucat, konjungtiva anemis, bibir pucat, ekstremitas pucat, kadar hemoglobin 8,41 gr/dL

 

Proses Penyakit Thalassemia

Anemia

DS:

Anak lebih sering istirahat karena lebih cepat lelah dan pusing

DO:

Wajah pucat, konjungtiva anemis, bibir pucat, ekstremitas pucat, kadar hemoglobin 8,41 gr/dL

Rendahnya kadar Hb yang menyebabkan pusing

Risiko jatuh

DS: -

DO : kadar ferritin 1.700 mcg/L

Proses transfusi terus-menerus memicu penimbunan zat besi.

Ketidakseimbangan kadar zat besi

 

Diagnosa Keperawatan:

1)   Anemia yang berhubungan dengan proses penyakit thalassemia

2)   Risiko jatuh berhubungan dengan rendahnya kadar Hb yang menyebabkan pusing.

3)   Ketidakseimbangan kadar zat besi berhubungan dengan proses transfusi terus-menerus memicu penimbunan zat besi

 

Intervensi

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria

Intervensi

Anemia yang berhubungan dengan proses penyakit thalassemia.

Menjaga kestabilan kadar hemoglobin sesuai dengan indikator pada pasien thalassemia dengan kriteria Hb ≥ 10 gr/dL.

-       Pantau tanda dan gejala anemia dengan menilai kadar Hb, wajah dan ekstremitas pucat, konjungtiva anemis.

-       Menganjurkan ibu untuk memberikan obat pada anak secara teratur agar pengobatan efektif, Ibu mengerti dan bersedia memantau pengobatan anaknya.

-       Menganjurkan ibu untuk menjaga asupan nutrisi sesuai dengan anjuran, keseimbangan istirahat anak dan aktifitasnya.

Risiko jatuh berhubungan dengan rendahnya kadar Hb yang menyebabkan pusing.

 

Meminimalkan atau mengatasi komplikasi anemia dengan kriteria Hb ≥ 10 gr/dL, pusing berkurang atau hilang, konjungtiva tidak anemis, bibir-wajah-ekstremitas tidak pucat.

Kolaborasi dengan dokter Sp.A untuk terapi asam folat 1 x 1, transfusi PRC dengan volume 100 ml/kg BB = 260 ml, kontrol ulang untuk pemeriksaan penunjang darah lengkap.

Melakukan transfusi darah

Jam 08.15 WIB :

-  Identifikasi pasien

-  Identifikasi PRC (no kantong darah 1901922xx) 260 ml

-  Memasang infus NaCl sebelum dilakukan transfusi darah

Jam 08.30 WIB :

-  Mengganti cairan NaCl dengan darah PRC yang sudah di identifikasi, tidak ada reaksi alergi selama proses transfusi

Jam 09.15 WIB

-  PRC yang ditransfusi habis, tidak ada reaksi alergi. Mengganti dengan larutan NaCl dan dilakukan observasi.

Jam 10.15 WIB

Proses transfusi selesai, tidak ada reaksi alergi.

Ketidakseimbangan kadar zat besi berhubungan dengan proses transfusi terus-menerus memicu penimbunan zat besi

Mencegah timbunan zat besi akibat proses transfusi berulang dengan kriteria hasil kadar ferritin tidak lebih dari 1000mcg/L.

Konsul dengan dokter Sp.A untuk terapi ferriprox 3 x 750 mg.

 

Evaluasi

Tanggal 05 Maret 2019 pukul 11.00 WIB

No

SOAP

1.

S: Ibu mengerti dan bersedia mengikutianjuran yang diberikan

O: Ibu dapat menyebutkan tanda dan gejala anemia dan anjuran yang telah diberikan

A: Masalah teratasi sebagian

P:Intervensi dipertahankan

2.

S: Pasien dan keluarga bersedia mengikuti anjuran dokter
O: Pusing mulai berkurang
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dipertahankan

3.

S: Pasien dan keluarga bersedia mengikuti anjuran dokter
O: Ibu akan menebus obat yang diresepkan
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dipertahankan.

 

 


 

 

BAB 4

PEMBAHASAN

 

An. N merupakan pasien RS Dr. Soetomo yang terdiagnosis thalassemia sejak usianya 5 tahun, sudah melakukan transfusi rutin selama ± 4 tahunan. Berdasarkan pengkajian An. N berjenis kelamin perempuan dan berumur 9 tahun 8 bulan 15 hari, datang dengan keluhan pusing dan ingin melakukan transfusi darah dan sehari sebelumnya (tanggal 4 Maret 2019) melakukan pemeriksaan darah dengan hasil hemoglobin 8,41 gr/dL dan dinyatakan anemia. Berdasarkan definisi thalassemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya rantai globin dan merupakan penyakit genetik. Menurut Menkes RI (2018) penyakit ini diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga tubuh tidak membentuk sel darah merah yang normal, mudah rusak, dan berumur kurang dari 120 hari. Oleh karena itu penderita Thalassemia menalami anemia sepanjang hidupnya. Hal ini terjadi pada An. N yang pernah menderita Hb 6gr/dL pada saat usia 5 tahun dan membutuhkan transfusi berulang karena menderita anemia sepanjang hidupnya.

An. N menderita thalassemia beta yang menurut Menkes RI (2018) terjadi akibat mutasi gen globin beta, sehingga produksi globin beta menjadi berkurang atau tidak terbentuk sama sekali. Akibatnya adalah gen globin alfa jumlahnya meningkat dan tidak mempunyai pasangan untuk berikatan yang memicu lisis eritrosit di limpa dan destruksi di sumsum tulang belakang. Menurut epidemiologi thalassemia jenis beta banyak ditemukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Rund, 2005).

Menurut Menkes RI (2018), tanda dan gejala dari penyakit Thalasemia disebabkan oleh kekurangan oksigen di dalam aliran darah. Gambaran klinis yang terjadi pada pasien thalassemia berbeda menurut klasifikasinya. Pada thalassemia carrier umumnya tidak memiliki tanda dan gejala, hanya mengalami anemia ringan sehingga sering disalah artikan sebagai anemia kekurangan zat besi. Penderita thalassemia beta intermedia biasanya akan datang berobat pada usia 4-6 tahun, anak akan mengalami anemia ringan sampai dengan sedang, selain itu muncul masalah kesehatan lainnya seperti pembesaran hati dan limpa, pucat dan lesu, kulit berwarna kekuningan, nafsu makan menurun, urin lebih pekat, masalah pada tulang, dan lain sebagainya. Sedangkan pada penderita mayor akan mengalami anemia dalam tingkat yang berat dan akan muncul dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Pada kasus ini, An. N menunjukkan tanda dan gejala yang dialami saat usia 5 tahun, yaitu mata tampak ikterus, wajah dan kulit tampak pucat, serta terjadi pembesaran perut karena limpa dan hati membesar, serta kadar hemoglobin 6 gr/dL. Sehingga kategori yang sesuai berdasarkan teori adalah An. N termasuk dalam klasifikasi thalassemia beta intermedia.

Thalassemia dapat diturunkan dari ibu maupun ayah. Ibu dan ayah bisa saja terlihat tampak sehat, namun sebenarnya keduanya merupakan carrier atau pembawa. Hal ini karena seorang carrier masih memiliki sebelah gen globin yang normal dan dapat berfungsi dengan baik. Pada kasus ini kedua orangtua tidak melakukan pemeriksaan, sehingga tidak diketahui siapa yang memiliki sifat pembawa. An. N mempunyai 1 orang kakak perempuan yang berumur 17 tahun dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing carrier thalassemia, maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, anak mendapatkan gen globin yang berubah (gen thalassemia) dari ayah dan ibunya, sehingga anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayahnya, maka anak akan menjadi carrier thalassemia. Kemungkinan lainnya adalah anak mendapatkan gen globin normal dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut tidak menderita thalassemia ataupun membawa sifat thalassemia.

Berdasarkan hasil pengkajian, ditemukan tanda-tanda yang menggambarkan thalassemia pada An. N. Hasil anamnesa didapatkan An. N mulai menderita thalassemia sejak usia 5 tahun, hal ini sesuai dengan Menkes RI (2018) yang menyatakan terjadinya pucat pada pasien thalassemia beta terjadi pada usia yang lebih tua. An. N tidak memiliki keluarga yang menderita thalassemia maupun riwayat keluarga yang melakukan transfusi berulang. Selain itu terdapat pembesaran perut pada An. N saat pertama kali terdiagnosis, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada pasien thalassemia akan didapatkan perut yang buncit akibat adanya hepatosplenomegali.

Berdasarkan teori, pemeriksaan fisik pada pasien thalassemia akan menggambarkan pucat, bentuk muka mongoloid, dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, dan splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar. Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit. Pada hasil pengkajian pemeriksaan fisik pada An. N menggambarkan wajah pucat, konjungtiva anemis, bibir kering dan pucat, serta ekstremitas yang pucat, tidak ada pembesaran pada perut. Temuan ini sesuai dengan teori yang ada. An. N merupakan pasien thalassemia yang rutin mengikuti perawatan sesuai dengan anjuran dokter, sehingga masalah yang muncul tidak terlalu parah, seperti adanya facies Cooley, hepatosplenomegali, gagal tumbuh, dan lain-lain.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada An. N adalah pemeriksaan darah lengkap untuk menganalisa hemoglobin, serta pemeriksaan kadar ferritin. Kadar hemoglobin An. N adalah 8,41 gr/dL dan kadar ferritin 1.700 mg/mL. Sesuai dengan teori menkes RI (2018) bahwa kadar hemoglobin An. N adalah dibawah batas normal dan dinyatakan anemia. Ferritin merupakan protein yang mengikat zat besi, kadar ferritin yang tinggi (diatas batas normal) menunjukkan tingginya kadar zat besi dalam tubuh, begitu pula sebaliknya. Kadar ferritinyang sangat tinggi, yaitu > 1000 mg/mL menunjukkan adanya penumpukan zat besi yang disebut hemokromatosis akibat dari thalassemia yang dideritanya. Kadar ferritin yang tinggi ada An. N disebabkan oleh seringnya transfusi yang dilakukan pada An. N.

Tatalaksana yang dilakukan pada An. N adalah dilakukan transfusi darah. Pada saat pertama kali terdiagnosis thalassemia, kadar hemoglobin An. N adalah 6gr/dL, sehingga advise dokter adalah dilakukan transfusi rutin setiap bulan dengan melakukan pemeriksaan darah terlebih dahulu sebelum melakukan transfusi darah. Setelah dilakukan transfusi, kadar Hb An. N >7gr/dL, namun sempat mendapatkan Hb 6gr/dL pada Desember 2018 namun keluarga menolak untuk dirawat. An. N akan terus mengalami penurunan Hb, oleh karena itu tatalaksana yang diberikan adalah dilakukan transfusi darah. Volume darah yang di transfusikan bila kadar Hb >6gr/dL menurut teori adalah 10-15mL/kg/kali. Pada kasus An. N, kadar Hb adalah 8,41gr/dL dengan berat badan 26 kg sehingga dilakukan transfusi dengan volume 26 x 10 = 260mL/kali.

Menurut Kemenkes RI (2018), semua pasien thalasemia harus mendapatkan nutrisi adekuat karena pasien thalassemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat proses hemolitik. Sehingga pada penatalaksanaan diberikan KIE mengenai nutrisi. Selain itu vitamin E 2x200 IU/hari dan Asam folat 2x1 mg/hari diberikan pada semua pasien thalassemia. Asam folat tidak diberikan pada pasien dengan kadar pretransfusi Hb ≥9 gr/dL. Vitamin C 2-3 mg/kg/hari diberikan secara bersamaan pada saat pemberian desferoksamin. Pada kasus An. N hanya diberikan asam folat karena kadar hemoglobin <9gr/dL, hal ini tidak ada kesenjangan dengan teori. Namun An. N tidak diberikan vitamin E dan vitamin C, mungkin karena asupan nutrisi An. N termasuk dalam kategori yang baik. Transfusi darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup akan menimbulkan rasa jenuh dan rasa bosan berobat, pasien dengan thalassemia membutuhkan dukungan mental. Sehingga pasa penatalaksanaan pada kasus ini, diberikan dukungan mental kepada An. N.

Komplikasi akibat penyakit dasar meliputi anemia berat, komplikasi jantung yang berkaitan dengan anemia, fraktur patologis, komplikasi endokrin, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, dan pembesaran organ-organ abdomen yang menekan organ sekitarnya. An. N sejak terdiagnosis thalassemia, mengikuti pengobatan sesuai dengan anjuran yang diberikan oleh dokter, sehingga tidak ada komplikasi yang terjadi dan pertumbuhan An. N dalam kategori yang normal. Hal ini juga didukung dengan penelitian Safitri (2015) yang menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara kepatuhan transfusi dengan pertumbuhan anak dengan thalasemia, sehingga anak thalasemia dapat tumbuh secara normal bila melakukan transfusi sesuai jadwal karena anak thalasemia dapat tumbuh normal apabila kadar hemoglobin dipertahankan di atas 10-11 g/dl dan diikuti terapi kelasi besi yang memadai. Menurut penelitian Arytha (2014) yang melakukan penelitian menggunakan alat ukur IMT/U pada anak thalasemia dan mendapatkan bahwa pertumbuhan responden normal sebanyak 24 orang (75%). Anak thalasemia mayor dapat tumbuh normal jika kadar hemoglobin dipertahankan 8,5 g/dl selama 10 tahun pertama kehidupan (Made & Ketut, 2011).

Thalassemia merupakan suatu penyakit yang belum dapat disembuhkan, namun merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah yaitu dengan melakukan skrining pre dan retrospektif. Dalam hal ini peran bidan sangat dibutuhkan. Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah konseling genetik pranikah yang ditujukan kepada pasangan pranikah apakah mereka carrier atau bukan. Konseling ini khususnya dibutuhkan pada populasi yang berisiko tinggi atau yang memiliki kerabat penderita thalassemia. Maka dari itu dibutuhkan kemahiran seorang bidan untuk menguasai teori mengenai thalassemia agar bisa memberikan konseling secara komprehensif.

 

 

 

 

 

 

BAB 5

PENUTUP

5.1    Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari asuhan pada anak dengan thalassemia yaitu diagnosa yang tepat sesuai teori telah dapat ditegakkan sesuai dengan hasil pengkajian data subyektif dan data obyektif. Sehingga, tidak ditemukan diagnosa atau masalah potensial pada kasus ini. Hal ini disebabkan penatalaksanaan yang disusun telah sesuai dengan prioritas masalah serta kebutuhan anak, khususnya thalassemia. Namun, pasien mengeluh pusing pada kunjungan ini, namun setelah dilakukan tatalaksanayaitu transfusi, pusing berkurang. Peran bidan yang dibutuhkan pada kasus ini adalah dapat melakukan konseling pranikah kepada klienyang berisiko tinggi thalassemia

5.2    Saran

Dokter spesialis anak, bidan, dan perawat anak sebagai tenaga kesehatan anak hendaknya selalu meningkatkan kemampuan dan kapasitas diri dalam memberikan asuhan secara menyeluruh pada anak agar dapat melakukan deteksi dini sehingga akan meminimalisir terjadinya komplikasi akibat thalassemia.

Mahasiswa kebidanan diharapkan mampu memahami dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam memberikan asuhan pada anak, khususnya pada anak dengan thalassemia secara komprehensif dan berkualitas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A., Glader, B., List, A.F., Means, R.T., Paraskevas, F, Rodgers, G.M. Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th edition. Lippincott Williams& Wilkins.

Atmakusumah, T.D. Setyaningsih, I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu jenis hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: InternaPublishing.

Atmakusumah, T.D., Wahidiyat, P.A., Sofro, A.S., Wirawan, R., Tjitrasari, T., Setyaningsih, I., Wibawa, A. 2010. Pencegahan Thalassemia. Hasil Kajian Konvensi HTA. Jakarta: 16 Juni.

Brooker, Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC.

Dimiati, H & Lubis, Y., 2014. Gangguan Jantung pada Anak Penderita Thalasemia Mayor., pp.159-166.

Iams, J.D., Lockwood, C.J, Moore, T.R., Greene, M.F. Creasy & Resnik’s Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition. Elsevier.

Kilpatrick, S.J. 2014. Anemia and Pregnancy. In : Creasy, R.K., Resnik, R.

Made, A., & Ketut, A,. (2011). Profil Pertumbuhan, Hemoglobin Pretransfusi, Kadar Feritin, dan Usia Tulang Anak pada Thalassemia Mayor. Diperoleh tanggal 7 Maret 2019 dari http://saripediatri.idai.or.id.

Menkes RI. 2018. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK.01.07/Menkes/1/2018 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia.

Mitcheel, Kumar dkk. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC.

Old, J. 2013. Hemoglobinopathies and Thalassemias. In: Rimoin, D.L., Pyeritz, R.E., Korf, I. Emery and Rimoin’s Essential Medical Genetics. Elsevier.

Pignatti, C. B., Galanello, R. 2014. Thalassemia and Related Disorders: Quantitative Disorders of Hemoglobin Synthesis. In : Greer, J.P., Arber, D.

Putri, D.M. et all, 2015. Artikel Penelitian Gambaran Status Gizi Anak Talase mia Mayor. Gambaran Status Gizi Anak Thalasemia β Mayor di RSUP Dr. M. Djamil Padang, 4(3), pp.803–807.

Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Rund, D., Rachmileweitz, E. 2005. β-Thalassemia. N Engl J Med, 353: 1135-1146.

Safitri, Rosnia., Ernawaty, Juniar., Karim, D., 2015. 1 , 2 , 3. Hubungan Kepatuhan Transfusi dan Konsumsi Kelasi Besi Terhadap Pertumbuhan Anak dengan Thalasemia, 2(2), pp.1471–1483.

Sullivan, Amanda. 2009. Panduan Pemeriksaan Antenatal. Jakarta : EGC.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.

Komentar

Trending

Evian Brumisateur Facial Spray Review

Pas lagi nyari produk untuk melembabkan wajah, banyak yang saranin buat pakai produk Evian. Aku gak tau produk apa itu dan bagaimana rupa produk tersebut. Aku coba browsing tentang produk ini dan dapet banyak kabar, katanya produk ini bagus banget. Aku tinggal di Kota Serang dan gak tau bisa dapet produknya dimana. Suatu hari nih, hehe, aku ke toko buku di Intermedia yang terletak di Ciceri Kota Serang Banten, kira-kira 15 menit dari rumah aku. Setelah selesai beli buku, aku berniat untuk beli body lotion di toko sebelah, yaitu gerai DAN+DAN. Masuk deh kesitu dan disambut sama mbak-mbak penjaganya yang ramah. Gak lama aku langsung dapet apa yang aku butuhin, namanya cewek, gakbisa banget buat nggak ngepoin produk apa aja yang dijual disana. hehe wahhhh... aku nemu nih produk yang lagi aku cari. kebetulan banget. Tapi di sana gak tertera harga Evian  Facial Spray, akhirnya aku tanya sama mbak-mbak yang nyambut aku pas dateng. Mbaknya bilang "Maaf ya label harganya bel...

Wajah Glowing dengan MS Glow (Review jujur tentang Ms Glow, baca sampai akhir yaa)

Semua perempuan pasti mendambakan wajah glowing, apalagi dengan budget yang pas-pasan. Sebelumnya aku pakai krim wajah dari salah satu klinik kecantikan ditempatku tinggal. Tapi aku ngerasa wajahku kusam, apalagi sekarang aku tinggal di kota Surabaya yang membuat aku harus bersahabat dengan matahari. Aku seorang mahasiswi di salah satu universitas negeri di Surabaya dan saat ini sedang memasuki program KKN pada akhir tahun 2017 di Gresik. Seorang mahasiswa yang sedang KKN harus lebih bersahabat dengan matahari, karena selalu melakukan kegiatan outdoor. Akibatnya wajah aku semakin kusam :( aku posting ini di tahun 2018 karena aku mau kasih review sesuai dengan pengalamanku. Akhirnya aku sharing dengan beberapa teman dan sampailah keputusanku untuk pakai Ms Glow. Awalnya aku belum tahu ternyata Ms Glow sudah buka cabang di Surabaya, aku dapet produknya dikirim temannya temenku yang tinggal di Malang, karena memang kantor pusat Ms Glow berada disana. Setelah aku melakukan konsultasi onlin...

Sudut Pertemuan

    Seseorang yang akan menemuimu di satu hari yang membahagiakan, seolah menjadi saksi bahwa ketetapan-Nya itu nyata. Seseorang yang bersedia untuk datang. Seseorang yang akan menjawab seluruh doa-doa selama masa penantian. Seseorang yang kamu minta kepada yang maha tepat.     Bisa saja ia yang selalu berada disampingmu, bisa juga ia adalah seseorang yang belum pernah kamu temui. Langkahnya dan langkahmu dituntun oleh-Nya, bertemu disatu titik yang sama, dalam waktu yang tepat dan keadaan yang tepat. Tidak ada yang tahu, kecuali Allah.     Waktu akan berjalan dengan sendirinya, sesuai kehendak-Nya. Tidak tergesa apalagi memaksa. Apa yang kita sangka baik, belum tentu sepenuhnya baik, pun sebaliknya. Jalani hari dengan sebaik-baiknya, dengan kesabaran bahwa akan ada jalan ini menemui satu sudut yang berbeda. Sudut yang terbentuk dari pertemuan kamu dan dia.     Jika hari itu datang, kamu akan memintanya untuk mencintaimu. Jika kamu saja tidak dapa...