Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Yuniarto, 2016). Imunisasi sekarang ini diperkirakan mencegah 2 hingga 3 juta kematian setiap tahunnya. Tambahan 1,5 juta kematian dapat dicegah apabila cakupan imunisasi global meningkat. Imunisasi dasar sangat penting diberikan pada bayi berusia 0 – 12 bulan untuk memberikan kekebalan dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) antara lain Tuberkolosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Hepatitis B dan Campak (Kaunang, Rompas and Bataha, 2016). Imunisasi sangat diperlukan demi memberikan perlindungan, pencegahan, sekaligus membangun kekebalan tubuh anak terhadap berbagai penyakit menular maupun penyakit berbahaya yang dapat menimbulkan kecatatan tubuh bahkan kematian (Kaunang, Rompas and Bataha, 2016), sehingga apabila suatu saat terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan (Ardiansyah, 2016).
Imunisasi merupakan upaya untuk
meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit
(Mardiana, 2018). Meskipun hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki seseorang
baik secara pasif maupun aktif (Ardiansyah, 2016). Anak yang tidak mendapatkan
imunisasi tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit infeksi tertentu, hal ini karena penyakit
infeksi dan fungsi kekebalan saling berhubungan erat satu sama lain. Akibatnya
anak akan jatuh sakit dan pada akhirnya akan memengaruhi status gizi berupa
penurunan status gizi pada anak serta memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya (Kaunang, Rompas and Bataha,
2016).
Menurut Yuniarto (2016), imunisasi
dibedakan menjadi 2 golongan. Golongan yang pertama adalah imunisasi yang harus
selesai sebelum usia satu tahun dan golongan yang kedua adalah imunisasi yang
tidak boleh dilaksanakan pada usia di bawah satu tahun. Biasanya imunisasi
diberikan sesuai jadwal yang tercantum di buku-buku kesehatan anak atau dirumah
sakit maupun puskesmas. Imunisasi atau bentuk kekebalan tubuh terhadap sebuah
ancaman penyakit adalah tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Menurut
Adriansyah (2016) proses pembentukan antibodi untuk melawan antigen secara
alamiah disebut imunisasi alamiah. Sedangkan program imunisasi melalui
pemberian vaksin adalah upaya stimulasi terhadap sistem kekebalan tubuh untuk
menghasilkan antibodi dalam upaya melawan penyakit dengan melumpuhkan antigen
yang telah dilemahkan yang berasal dari vaksin. Secara alamiah, sistem
kekebalan tubuh akan membentuk suatu zat anti yang disebut antibodi yang
bertujuan untuk melumpuhkan antigen. Pada saat pertama kali antibodi
berinteraksi dengan antigen, respon yang diberikan tidak terlalu kuat. Hal ini
disebabkan karena antibodi belum mengenali antigen. Pada interaksi
antibodi-antigen yang kedua dan seterusnya, sistem kekebalan tubuh sudah
mengenali antigen yang masuk ke dalam tubuh, sehingga antibodi yang terbentuk
jumlahnya lebih banyak dan dalam waktu yang lebih cepat.
Setelah anak diimunisasi, berarti
diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten
terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.
Karena itu imunisasi harus diberikan secara lengkap. Pada dasarnya, imunisasi adalah
proses merangsang sistem kekebalan tubuh dengan cara memasukkan (baik itu
melalui suntik atau minum) suatu virus atau bakteri. Sebelum diberikan, virus
atau bakteri tersebut telah dilemahkan atau dibunuh, bagian tubuh dari bakteri
atau virus itu juga sudah dimodifikasi sehingga tubuh kita tidak kaget dan siap
untuk melawan bila bakteri atau virus sungguhan menyerang. Beberapa imunisasi
dapat membentuk kekebalan tubuh seumur hidup, seperti campak. Namun ada pula
bentuk imunisasi yang memberikan kekebalan tubuh dalam jangka waktu tertentu.
Misalnya, DPT, dan polio. Apabila bayi mau diimunisasi bayi harus dalam kondisi
benar-benar fit. Sebab, imunisasi yang diberikan pada bayi yang tidak sehat
akan menjadi tidak efektif atau malah berubah menjadi penyakit. Jadi, kita
harus menunggu sampai bayi sembuh dari sakitnya.
Berdasarkan penelitian Mardiana (2018) menunjukkan adanya pengaruh imunisasi dasar
lengkap terhadap prevalensi penyakit difteri di Jawa Timur tahun 2016, dengan hasil anak yang mendapatkan imunisasi difteri
secara lengkap, tidak menderita penyakit difteri dan anak yang terkena difteri
ternyata tidak melakukan imunisasi dasar lengkap. Imunisasi DPT pada
usia bayi dan pemberian vaksin DT pada anak usia sekolah merupakan salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit difteri. Kekebalan terhadap difteri dipengaruhi oleh
adanya antitoksin di dalam darah dan kemampuan seseorang untuk membentuk
antitoksin dengan cepat. Kemampuan ini merupakan akibat dari imunisasi aktif
dari pernah menderita atau vaksinasi (Mardiana, 2018). Selama 2016,
diperkirakan 116,5 juta (sekitar 86%) anak-anak di bawah usia 1 tahun di
seluruh dunia menerima 3 dosis vaksin difteri-tetanus-pertusis (DTP3). Anak-anak
ini terlindungi dari penyakit menular yang dapat menyebabkan penyakit serius
atau kecacatan dan berakibat fatal.
Imunisasi telah terbukti sebagai
salah satu bentuk upaya kesehatan masyarakat yang penting. Program imunisasi
telah menunjukkan keberhasilan yang luar biasa dan merupakan usaha yang sangat
hemat biaya dalam mencegah penyakit menular (Adriansyah,
2016). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi
prevalensi penyakit, salah satunya yaitu pengadaan Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) di beberapa kabupaten/kota. Namun, sekitar 19,5 juta bayi di dunia
masih melewatkan imunisasi dasar. Sekitar 60% anak-anak ini tinggal di 10
negara: Angola, Brazil, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Indan, Indonesia,
Iraq, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan.
Keberhasilan imunisasi dasar lengkap pada anak dipengaruhi oleh berbagai faktor,
salah satunya adalah peran orangtua. Hasil penelitian Triana (2017) menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan orang tua dengan pemberian
imunisasi dasar lengkap pada bayi di Kecamatan Kuranji Kota Padang tahun 2015,
dengan hasil orang tua yang memiliki pengetahuan rendah berisiko 2,02 kali
lebih besar tidak memberikan imunisasi dasar lengkap pada bayinya dari pada ibu
yang memiliki pengetahuan tinggi. Sehingga diperlukan untuk memberikan
informasi kepada orangtua terkait imunisasi dasar lengkap pada bayi.
DAFTAR
PUSTAKA
Adriansyah, A. A. (2016) ‘Efektivitas imunisasi campak
terhadap incidence rate penyakit campak di indonesia’, pp. 2–12.
Kaunang, M. C., Rompas, S. and Bataha, Y. (2016) ‘Hubungan Pemberian
Imunisasi Dasar dengan Tumbuh Kembang pada Bayi (0-1 tahun) di Puskesmas Kembes
Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa’, ejournal Keperawatan, 4(1), pp.
1–8. doi: 10.4104/pcrj.2013.00047.
Mardiana, D. E. (2018) ‘The Influence of Immunization and Population
Density to Diphtheria’s Prevalence in East Java’, Jurnal Berkala
Epidemiologi, 6(2), pp. 122–129. doi: 10.20473/jbe.v6i22018.122-129.
Triana, V. (2017) ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian
Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Tahun 2015’, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas, 10(2), pp. 123–135. doi: 10.24893/jkma.10.2.123-135.2016.
Komentar
Posting Komentar